Tunjukanlah Bukti Patuh Setiamu Pada Allah Pada Rasulullah dan Ulil Amrimu Tepatnya Ulil Amri Islam, Itulah Jihad Fisabilillah

Minggu, 03 Januari 2010

ILMU HADITS

Hadits adalah pensyarah yang menjelaskan kemujmalan (keglobalan) Al-qur’an. Misalnya di
dalam Al-qur’an ada perintah untuk mengerjakan sholat, akan tetapi di dalamnya tidak
dijelaskan bagaimana cara mengerjakan sholat. Semua hukum-hukum yang berkaitan dengan
sholat seperti waktu sholat, rukun-rukun sholat, gerakan-gerakan sholat, pembatal-pembatal
sholat, dan hukum-hukum lainnya dapat kita temukan penjelasannya di dalam Hadits
Rasulullah shollollahu’alaihiwasallam.
Materi di dalam tulisan ini hanya memfokuskan pembahasan pada istilah-istilah dalam ilmu
Hadits. Dengan mengetahui istilah-istilah tersebut semoga dapat membantu kaum muslimin
yang awam dalam ilmu Hadits memahami buku-buku karangan para ahlul ilm (ulama). Ilmu
Hadits adalah ilmu yang sangat luas dan ilmiah. Oleh karena itu, tidak cukup dengan hanya
mengetahui istilah-istilahnya, akan tetapi jika ingin mendalami ilmu ini, seorang tholabul ilm
(penuntut ilmu agama) hendaknya membekali dengan ilmu-ilmu ushul terlebih dahulu, seperti
bahasa arab (nahwu, shorof, dan balaghoh), Tauhid, Mustholahul Hadits, ushul tafsir, dan ushul
fiqh.
Semoga tulisan ringkas ini memotivasi kita semua untuk menekuni ilmu agama yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Sehingga kita tidak berbicara mengenai masalah
agama ini dengan kebodohan, karena sering kali saya temukan berapa banyak orang-orang
bodoh yang berbicara ngawur tentang permasalahan agama tanpa dilandasi dengan ilmu dan
pemahaman yang benar. Orang-orang bodoh tersebut dengan sombongnya berpendapat begini
dan begitu tentang agama serta menolak kebenaran yang datang dengan hujjah (argumentasi)
kepada mereka. Ketahuilah bahwa agama ini diturunkan dengan wahyu dari Robbul ‘alamin
Allah subhanahuwata’ala, dan kita beragama juga dilandasi dengan wahyu (Al-qur’an dan
Sunnah), sehingga kita wajib mendahulukan wahyu dibandingkan dengan akal dalam
membahas masalah-masalah keagamaan.

PENDAHULUAN
1) Pada awalnya Rasulullah shollollahu’alaihiwasallam melarang para sahabat menuliskan
Hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-qur’an.
2) Perintah untuk menuliskan Hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin abdul
aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin
amr hazm al-alsory untuk membukukan Hadits.
3) Ulama yang pertama kali mengumpulkan Hadits adalah Ar-robi bin sobiy dan Said bin abi
arobah, akan tetapi pengumpulan Hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih
dengan, dhoif, dan perkataan para sahabat.
4) Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-muwatho di Madinah, di Makkah Hadits
dikumpulkan oleh Abu muhammad abdul malik bin ibnu juraiz, di Syam oleh imam Al-auza i, di
Kuffah oleh Sufyan at-tsauri, di Basroh oleh Hammad bin salamah.
5) Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad (seperti musnad Na’im ibnu
hammad).
6) Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shohih Bukhori dan Muslim.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadits :
ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah
diterima atau ditolak.
Hadits :
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah shollollahu’alaihiwasallam, berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).
Sanad :
Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.
Matan :
Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.
PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya :
1) Hadits Maqbul (diterima) : terdiri dari Hadits sohih dan Hadits Hasan
2) Hadits Mardud (ditolak) : yaitu Hadits dhoif

HADITS SOHIH :
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini :
1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.
Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan
menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya
kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan
kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain
musik).
3. Tsiqoh (yaitu hapalannya kuat).
4. Tidak ada syadz
(syadz adalah seorang perawi yang tsiqoh menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh darinya.
5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits sohih : dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN :
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan soduq
(tingkatannya berada dibawah tsiqoh).
Soduq : tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqoan-nya.
Soduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqo-an seorang perawi adalah dengan memberikan
ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu
menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqoh.
Hukum Hadits Hasan : dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHOHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shohih sering disebutkan oleh imam Thirmidzi. Hadits hasan
shohih dapat dimaknai dengan 2 pengertian :
- Imam Thirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih.
Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shohih, maka jadilah dia Hadits hasan shohih.
- Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shohih oleh
ulama yang lainnya.

HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhori dan imam Muslim pada kitab shohih
mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHOHIH
- Hadits muttafaqqun ‘alaihi
- Hadits shohih yang dikeluarkan oleh imam Bukhori saja
- Hadits shohih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada
kitab-kitab shohih mereka.
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhori
- Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
- Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim
Syarat Bukhori dan Muslim : perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhori dan
Muslim dalam shohih mereka.

HADITS DHOIF
Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shohih dan Hasan.
Hukum Hadits dhoif : tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dhoif kecuali
dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut.Hadits dhaif berbeda dengan hadits palsu
atau hadits maudhu`. Hadits dhaif itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di
beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan
hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau
al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah
masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang
hadits.
Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana
hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah SAW. Wlau
yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru
dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan adalah
dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana
sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya.
Namun menurut iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan
hadits-hadits dhaif dalam fadailulamal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
*Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadist, silahkan merujuk pada kitab "Mushthalahul Hadits"




SANAD :
Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.Matan:
Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya:
1) Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits sohih dan Hadits Hasan
2) Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dhoifPenjelasan:HADITS SOHIH:
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini :
» Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
» Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim,
baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari
sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya
kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok,
mencukur jenggot, dan bermain musik).
» Tsiqoh (yaitu hapalannya kuat).
» Tidak ada syadz (syadz adalah seorang perawi yang tsiqoh menyelisihi perawi yang lebih
tsiqoh darinya.
» Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits sohih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan soduq
(tingkatannya berada dibawah tsiqoh).
Soduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqoan-nya.
Soduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqo-an seorang perawi adalah dengan memberikan
ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu
menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap
tsiqoh.Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.HADITS HASAN SHOHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shohih sering disebutkan oleh imam Thirmidzi. Hadits hasan
shohih dapat dimaknai dengan 2 pengertian :
» Imam Thirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih.
Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shohih, maka jadilah dia Hadits hasan shohih.
» Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shohih oleh


HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhori dan imam Muslim pada kitab shohih
mereka masing-masing.TINGKATAN HADITS SHOHIH
» Hadits muttafaqqun ‘alaihi
» Hadits shohih yang dikeluarkan oleh imam Bukhori saja
» Hadits shohih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
» Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada
kitab-kitab shohih mereka.
» Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhori
» Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
» Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim. Syarat Bukhori dan Muslim:
perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhori dan Muslim dalam shohih mereka.

HADIST DHOIF:
Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shohih dan Hasan.
Hukum Hadits dhoif: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dhoif kecuali
dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. (Mediamuslim)


Kitab-kitab itu menerangkan keadaan hadits yang terdapat dalam kitab-kitab bukan ahli hadits,
dan menerangkan hadits yang tidak ada asalnya. Seperti kitab : "Nasbu ar-Rayati li ahaditsil
hidayah" yang dikarang oleh al-Hafidz az-Zaila’i, dan kitab : "al-Mughni an hamlil asfar fi
al-Asfar fi Takhriji ma fil ihyai minal akhbar" yang dikarang oleh al-Hafidh al-Iraqi, dan kitab :
"at-Talhis al-Habir fi Tahrij ahadits ar-Rafi'i al-Kabir", yang dikarang al-Hafidh Ibnu Hajar
al-Asqalani, dan juga kitab : "Tahriju ahadits al-Kassyaf", yang juga dikarang al-hafidh Ibnu
Hajar Asqalani dan juga kitab : "Tahriju ahadits as-Syifaa" yang dikarang oleh Syekh
as-Suyuthi. Dan semua kitab-kitab tersebut diatas tercetak.
Padahal ulama-ulama ahli hadits tersebut, (semoga Allah membalas kebaikan mereka) telah
memudahkan jalan bagi para ulama dan penuntut ilmu setelah mereka, sehingga mereka
mengetahui derajat suatu hadits pada kitab-kitab itu dan kitab-kitab yang semisalnya. Akan
tetapi kami melihat mereka (ulama’ dan penuntut ilmu) “dengan rasa prihatin”, telah berpaling
dari membaca kitab-kitab yang tersebut di atas, mereka tidak mengetahui (dengan sebab
berpaling dari membaca kitab-kitab tersebut diatas) keadaan hadits-hadits yang mereka
hafalkan dari Syeikh-Syeikh mereka, atau yang mereka baca dari kitab-kitab yang tidak
“memeriksa” hadits-hadits yang shahih atau dha’if, oleh karena itu hampir-hampir kita
mendengarkan suatu nasihat dari orang-orang yang memberi nasihat, pengajian dari salah
seorang ustadz atau khutbah dari seorang khathib, melainkan kita dapati hadits-hadits lemah
atau palsu (disampaikan), dan ini adalah perkara yang membahayakan, (karena) dikhawatirkan
atas mereka termasuk orang-orang yang diancam oleh Rasulullah dengan sabdanya : “Barang
siapa berdusta dengan sengaja atas namaku maka hendaknya ia menempati tempat duduknya
di Neraka


Hadits shahih mutawatir :
Karena sesungguhnya mereka walaupun tidak berniat berdusta secara langsung tetapi telah
melakukan perbuatan dosa, karena mereka menukil hadits-hadits semuanya (tanpa
menyeleksi), sedang mereka mengetahui bahwa dalam hadits-hadits itu terdapat hadits dha’if
dan maudhu’. Dan mengenai hal ini Rasulullah telah memberi isyarat dengan sabdanya :
“Cukuplah seorang dianggap pendusta karena menceritakan perkataan yang ia dengar” (HR.
Muslim)

Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau berkata : “Ketahuilah tidak akan selamat
seorang lelaki yang menceritakan apa saja yang ia dengar, dan selamanya seorang tidak akan
menjadi pemimpin jika ia menceritakan setiap perkataan yang ia dengar”.
Imam Ibnu Hibban berkata dalam shahihnya halaman 27 tentang bab : “Wajibnya masuk
neraka bagi seseorang yang menyandarkan sesuatu ucapan kepada Nabi, sedangkan ia tidak
mengetahui kebenarannya”.

Kemudian ia menukil dengan sanadnya dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Barang siapa
berkata atasku apa yang tidak aku katakan,maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di
neraka ”. Sanad
hadits ini hasan, dan asalnya dalam shahih Bukhari dan Muslim.
Dan Imam Ibnu Hibban berkata tentang bab “khabar yang menunjukkan benarnya apa yang
kami isyaratkan padanya pada bab yang lalu”. Lalu ia menukil dengan sanadnya dari Samrah
bin Jundub, ia berkata : Rasulullah bersabda : “Barang siapa menceritakan dariku suatu hadits
dusta, maka ia termasuk seorang pendusta ”.
Hadits riwayat Muslim
Maka jelaslah dengan apa yang disebutkan (diatas), bahwa tidak diperbolehkan menyebarkan
hadits-hadits dan riwayat-riwayatnya tanpa tasabbut (mencari informasi tentang kebenarannya).
Dan barang siapa melakukan perbuatan itu (menyebarkan hadits tanpa mencari kejelasan
tentang kebenarannya terlebih dahulu) maka ia terhitung berdusta atas Rasulullah. Dan beliau
bersabda : “Sesungguhnya berdusta kepadaku, tidak sebagaimana berdusta kepada salah
seorang (di antara kalian), barang siapa berdusta kepadaku secara sengaja, maka hendaknya
ia menempati tempat duduknya di neraka ”. (HR. Muslim)
Oleh karena bahayanya perkara ini, saya berpendapat untuk memberi andil dalam
“mendekatkan” pengetahuan tentang hadits-hadits yang kita dengar pada masa kini, atau
hadits-hadits yang kita baca dalam kitab-kitab yang telah beredar, yang (tidak jelas
kedudukannya) menurut ahli hadits, atau (hadits-hadits itu atasku palsu). Semoga hal ini
menjadi peringatan dan mengingatkan bagi orang yang mengambil pelajaran sedang ia takut
(kepada Allah). (lihat silsilah hadits dhaifah halaman 47-51 ).







HADITS DHO’IF DAN MAUDHU’ DALAM SHOLAT


Sesungguhnya pujian itu milik Allah swt. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan
maunah-Nya. Kami berlindung kepada Allah swt. dari jahatnya diri dan jeleknya amal. Siapapun
yang telah Allah swt. berikan petunjuk, pasti tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapapun
yang telah Dia sesatkan, pasti tidak ada seorangpun yang dapat membimbingnya. Saya bersaksi bahwa
tidak ada ilah yang haq kecuali Allah swt. yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi
bahwa Muhammad itu hamba dan Rasul-Nya.
Allah swt. telah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah swt. dengan sebenar-benar takwa, dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan kamu berserah diri.” (Q.S. Ali Imran: 102)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang talah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan darinya Allah swt. menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah swt.
memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah swt.
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah swt. selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-
Nisa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman ! Bertakwalah kamu kepada Allah swt. dan katakanlah perkataan yang
benar, niscaya Allah swt. memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosadosamu.
Dan barangsiapa mentaati Allah swt. dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab: 70-71)1
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada sebaik-baik tauladan ummat ini,
Muhammad saw. beserta keluarganya dan para sahabat yang telah tanpa kenal lelah menyampaikan
dakwah Islam sehingga kita dapat mengetahui jalan yang haq, yaitu jalan yang diridlai Allah swt., jalan
Islam dan mudah-mudahan kita dimatikan tetap dalam keadaan beragama Islam.
Amma ba’du :
Rasulullah saw. bersabda sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah, sebaikbaik
petunjuk adalah petunjuknya Nabi Muhammad saw. dan seburuk-buruk masalah adalah masalah
yang diada-adakan dalam agama ini, dan masalah yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap yang
bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat di naar.
Para pembaca yang dirahmati Allah swt., buku “Kumpulan Hadits Dha’if dan Maudhu’
Tentang Sholat “ ini saya persembahkan kepada anda semua sebagai wujud rasa keterpanggilan saya
untuk menyampaikan informasi yang saya terima, walaupun masih sangat sedikit informasi yang
saya miliki karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada diri saya akan tetapi tidak menjadikan
saya tidak untuk menyampaikannya kepada masyarakat luas. Selain karena realitas yang ada di
masyarakat, bahwa masih sedikitnya masyarakat dewasa ini yang memiliki kitab seperti yang akan kita
bahas nanti, yaitu kumpulan hadits dha’if dan maudhu’ terutama tentang shalat.
Di samping itu, buku mengenai hadits dha’if dan maudhu’ ini sangat membantu kita dalam
usaha memurnikan akidah dan pemikiran kita. Kita tidak akan menerima dan membangun sosok
pribadi muslim yang dilandasi oleh hadits-hadits palsu dan dha’if. Dengan begitu kita tidak akan
menerima dan mengamalkan kecuali hadits-hadits yang sahih. Apabila setiap amalan yang kita
lakukan dilandasi pada petunjuk dan bimbingan Rasulullah saw. yang tertuang dalam riwayat dan
hadits-hadits sahih, maka seketika itu akan jernih jiwa kita. Lubuk hati dan benak kita pun akan
bersinar. Kita akan terbebas dari bentuk penyakit yang tersembunyi yang pernah membuat kita
menderita. Penyakit yang diakibatkan oleh hadits-hadits palsu dan dha’if yang meracuni peribadatan
atau bahkan akidah serta pemikiran dan amalan dalam kehidupan kita.2
Perlu pembaca ketahui, bahwa penyebaran hadits lemah (dha’if) dan palsu (maudhu’) telah
merasuki berbagai literatur keagamaan seperti sebagian kitab tafsir dan syarah hadits, buletin, buku
ilmiah, dan sebagainya. Penggunaan hadits dha’if dan maudhu’ tersebut menimbulkan kerancuan
pemahaman di berbagai unsur umat Islam, baik penguasa, ulama, apalagi masyarakat awam. Hal ini
memang sangat pelik, karena bisa jadi seorang ulama secara tak sengaja menyertakan hadits dha’if dan
maudhu’ dalam karyanya, karena ia bukanlah seorang ahli hadits. Selain itu, memang ada yang
memalsukan hadits dengan sengaja karena hendak mencapai tujuan politis, ekonomi, atau fanatisme
mazhab. Sehingga, pemecahan masalahnya adalah mengembalikan masalah tersebut kepada pakar.

yang mempunyai otoritas di bidang ini, yakni ulama ahli hadits. Salah seorang dari mereka,
Muhammad Nashiruddin Al-Albani telah meneliti, membahas, dan menulis Silsilah Hadits Dha’if dan
Maudhu’.3 Buku ini berisikan hadits-hadits dha’if dan maudhu’ khusus tentang shalat yang terdapat
dalam kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ karya Syeikh Al-Albani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dan di terbitkan oleh penerbit GIP, Jakarta.
Kenapa saya memilih tentang shalat, karena sebagaimana yang ada dalam kitabus Shalah wa
Hukmu Taarikiha (hal. 16) oleh al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah disebutkan bahwa termasuk
perkara yang tidak diperselisihkan lagi oleh kaum Muslimin adalah bahwasannya meninggalkan shalat
wajib secara sengaja termasuk dosa-dosa yang paling besar dan lebih besar daripada dosa membunuh
jiwa (tanpa hak), merampas harta orang lain, berzina, mencuri, maupun minum khamr. Pelakunya akan
disiksa dan dimurkai oleh Allah swt. serta mendapat kehinaan di dunia dan di akherat.
Firman Allah swt. :
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan menuruti
hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat ...” (Q.S.
Maryam : 59-60).
Dan firman-Nya juga :
“Celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya dan orang-orang yang
berbuat riya’ serta enggan (menolong dengan) barang yang berguna.” (Q.S. al-Ma’un: 4-7).
Serta dalam Q.S. al-Muddatsir : 42-43 :
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam (neraka) Saqar ? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”
Juga sabda Rasulullah saw. dari Jabir Radhiallahu anhu bahwa :
“Pemisah antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (H.R. Muslim).
Dan sabdanya, dari Buraidah radhiallahu anhu bahwa :
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka benarbenar
dia telah kafir.” (H.R. Ahmad (5/346), Tirmidzi (no. 2623), Ibnu Majah (no. 1079), dan lain-lain.
Syaikh Al-Albani dalam komentarnya terhadap Kitabul Iman (hal. 15) karya Ibnu Abi Syaibah,
mengatakan : “Isnadnya shahih menurut syarat Muslim.”
Serta sabda beliau Rasulullah saw. :
“Barangsiapa sengaja meninggalkan shalat maka dia telah terlepas diri dari tanggungan Allah swt. .”
(H.R. Ibnu Majah (no. 4034), Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 18) dan lain-lain. namun dalam
sanadnya ada kelemahan. Akan tetapi, hadits ini memiliki syawahid (penguat) yang mendukungnya.
Lihat kitab at-Talkish al-Habir karya al-Hafish Ibnu Hajar dan Irwa’ul Ghalil (7/89-91) karya syaikh
Al-Albani.4
Selain itu, menjadi keyakinan kita juga bahwa hadits-hadits tentang shalat yang ada5 sama
sekali tidak memerlukan yang dha’if, sebab hal itu tidak memberi manfaat kecuali hanya bersifat
meraba-raba, sedangkan keyakinan yang bersifat meraba-raba adalah lemah sebagaimana Allah
berfirman :
“Persangkaan itu sedikit pun tidak bermanfaat bagi kebenaran” (Q.S. An-Najm 53: 28).
Dan Nabi saw. juga bersabda :
“Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling
dusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Cara-cara semacam itu tidak boleh kita gunakan untuk menjalankan ibadah kita kepada Allah swt.,
bahkan Rasulullah saw. melarang kita berbuat semacam itu dengan sabdanya :
“Hati-hatilah kamu terhadap hadits dari aku kecuali yang benar-benar kamu ketahui.” (H.R. Tirmidzi,
Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, tetapi Syekh Muhammad Sa’id al-Halabi dalam kitab Musalsah-nya
menyebutkan sebagai hadits Bukhari. Hal ini keliru !)6
Bila meriwayatkan hadits dha’if saja dilarang, lebih-lebih lagi mempraktekkannya.7



KEUTAMAAN SHALAT

1. “Barangsiapa sholatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak
menambah sesuatu pun dari Allah swt. kecuali kejauhan.”

Derajat hadits : Batil
Penjelasan :
Syeikh Al-Albani mengatakan, walaupun hadits tersebut sangat dikenal dan sering menjadi
pembicaraan, namun sanad maupun matannya tidak shahih.
1. Dari segi sanad, telah diriwiyatkan oleh :
a. ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al Kabir,
b. al-Qudha’i dalam kitab Musnad asy-Syihab (II/43),
c. Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir (II/414) dan kitab al-Kawakib ad-Darari
(I/2/83), dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbas r.a..
Mauquf (berhenti) sampai kepada Ibnu Mas’ud r.a. dan Ibnu Abbas r.a.8


2. “Barangsiapa shalatnya tidak menjadikannya mencegah dari perbuatan keji dan munkar, maka
tidak ada shalat baginya (tidak mengerjakan shalat).”

Derajat hadits : Munkar
Penjelasan :
1. Diriwayatkan oleh :
a. Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, dengan sanad dari Muhammad bin Harun al-
Makhrami al-Falas, dari Abdur Rahman bin Nafi’ Abu Ziad, dari Umar bin Abi
Utsman, dari al-Hasan, dari Imran bin Hushain r.a., ia berkata, “Rasulullah saw.
ditanya …”
Syeikh Al-Albani mengatakan,”Sanad riwayat ini dha’if dan memiliki dua kelemahan. Pertama,
terputusnya sanad antara al-Hasan Bashri dengan Imran bin Hushain. Kedua, kemajhulan biografi


3. “Segerakanlah shalat sebelum terlambat dan segerakanlah tobat sebelum wafat.”

Derajat hadits : Maudhu’
Penjelasan :
Syeikh Al-Albani katakan, Ash-Shaghani meriwayatkannya dalam deretan hadits-hadits
maudhu’, halaman 4 -5.”


4. “Dua rakaat dengan memakai sorban lebih baik dari tujuh puluh rakaat tanpa memakai sorban.”


Derajat hadits : Maudhu’
Penjelasan :
1. Diriwayatkan oleh
a. As-Suyuthi dalam kitab al-Jamius’sh Shaghir dengan perawi Dailami dalam
musnadnya al-Firdaus dengan sanad dari Jabir r.a.
b. Abu Naim dari Jabir r.a. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Thariq bin
Abdur Rahman yang oleh adz-Dzahabi telah ditempatkan dalam deretan dhu’afa.”
Kemudian Imam Nasa’i berkata,’ia bukan perawi kuat.” Adapun al-Halim
menyatakan,”Ia jelek sekali hafalannya.”
Syeikh Al-Albani katakan, nama Thariq bin Abdur Rahman ini ada dua orang. Pertama, al-
Bajali al-Kufi yang telah meriwayatkan dari Said bin Musayyab dan lain-lain. Ia sangat kuat dan dapat
dipercaya serta termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Kedua, al-Quraisyi al-Hijazi yang telah
meriwayatkan dari Ala bin Abdur Rahman. Adz Dzahabi berkata,”Orang ini nyaris tidak
dipedulikan kalangan pakar hadits.” An-Nasa’i berkata, “Ia bukan perawi kuat dan tidak dapat
dipercaya.”
Tentang riwayat Abu Naim Syeikh Al-Albani katakan mendapatkan riwayat itu dalam bentuk
tulisan tangan (khath) al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali dalam lembaran Syarah Sahih Tirmidzi (II/83).
Dalam syarah ini disebutkan ketika Imam Ahmad ditanya riwayat tersebut ia menjawab,’ini adalah
riwayat batil dan dusta.””11

5. “Shalat dengan memakai sorban sederajat dengan sepuluh ribu kebaikan.”

Derajat hadits : Maudhu’
Penjelasan :
1. Diriwayatkan oleh :
a. As-Suyuthi dalam Dzail Ahadits al-Maudhu’ah (halaman 111), dengan perawi ad-
Dailami dengan sanad Aba’an dari Anas r.a. sambil berkata, “ Aba’an ini tertuduh.”
Pernyataan serupa diutarakan oleh Ibnu Iraq dalam kitab Tanzih asy-Syari’ah
(II/257).
Al-Hafizh as-Sakhawi yang mengikuti jejak gurunya (Ibnu Hajar) menyatakan,” Ini adalah
hadits maudhu’.” (lihat kitab al-Maqashid (halaman 124)).


6. “Tidak (sah) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.”

Derajat hadits : Dha’if
Penjelasan :
1. Diriwayatkan oleh
a. Daruquthni (halaman 161),
b. Al-Hakim (I/246), dan
c. Baihaqi (II/57),
dengan sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamani, dari Yahya bn Abi Katsir, dari Abi
Salamah, dari Abu Hurairah r.a.
2. Imam Baihaqi berkata, “ Ini hadits dha’if.”
Syeikh Al-Albani katakan, kelemahan riwayat ini terletak pada Sualiman bin Daud. Ibnu Muin
menyatakannya sebagai perawi yang riwayatnya tidak diperhitungkan, sedangkan Imam Bukhari
mengatakannya sebagai perawi munkar. Bahkan dalam keterangan adz-Dzahabi, Imam Bukhari
menambah kata-katanya dengan,”Karena itu, tidak sah riwayatnya.”


Allahu'alambishowab.

Tidak ada komentar:

AKSI NYATA MODUL 3.3 GURU PENGGERAK

AKSI NYATA MODUL 3.3 GURU PENGGERAK