Tunjukanlah Bukti Patuh Setiamu Pada Allah Pada Rasulullah dan Ulil Amrimu Tepatnya Ulil Amri Islam, Itulah Jihad Fisabilillah

Senin, 14 Desember 2009

CATATAN MASA LALU BANTEN

BAB. I

PENDAHULUAN


Ibnu Khaldun (1322 - 1406) seorang cendekiawan muslim berpendapat bahwa sejarah pada hakekatnya adalah kisah masyarakat atau kisah kebudayaan yang merupakan perubahan-perubahan manusia secara sadar sebagai usaha untuk menyempurnakan perikehidupannya. Dalam perubahan-perubahan itu termasuk perubahan pada lingkungan alam sekitarnya yang merupakan hukum yang ditetapkan oleh Al- Khalik untuk manusia ciptaan-Nya. Sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah, teratur (sistematik) dan diusahakan selengkap mungkin, meliputi urutan fakta dalam ruang dan waktu, beserta penafsiran (interpretasi) dan penjelasan (eksplanasi), berdasarkan sumber-sumber sejarah yang terseleksi dan teruji. Dengan menggunakan metode-metode baku dalam penulisan sejarah, diharapkan produk yang dihasilkan merupakan penulisan tentang sejarah yang sebenarnya telah terjadi. Segala hal yang berkaitan kuat atau pun hanya berhubungan pada bukti-bukti sejarah, dapat juga dijadikan keterangan sejarah. Bukti-bukti sejarah itu dapat terdiri dari berbagai ragam, mulai dari segala jenis dokumen, arsip, peta kuno, silsilah, mata uang, prasasti, pada berbagai media (termasuk nisan), peralatan, pemukiman kuno, pelabuhan kuno, sisa-sisa pertahanan/perbentengan, sisa bangunan, teknologi, natulasi, dan sebagainya.

Para sejarawan juga diminta perhatiannya terhadap berbagai sumber, seperti berita perjalanan, catatan harian, hikayat, tambo, legende dan sebagainya, karena sekali pun sebagian dari sumber-sumber itu mengalami reduksi mau pun imbuhan, secara keseluruhan mengandung fakta sejarah tentang sesuatu peristiwa, gejala, atau sesuatu hal. Hanya perlu diingat, bahwa transformasi data dan keutuhannya dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi serta proses pewarisan data tersebut. Dimensi ruang, waktu dan budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif sejarah, senantiasa memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan kemanusiaannya. Hal ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang apa pun, manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan sejarah.

Masih dalam hal sumber sejarah, Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary menyatakan bahwa lingkup bahasan sejarah antara lain meliputi kajian terhadap sumber-sumber literer, khususnya produk yang semasa atau berdekatan dengan terjadinya sesuatu peristiwa sejarah (1991: 6). Oleh karenanya sejarawan haruslah memberikan perhatian dan penghargaan sepantasnya terhadap babad, hikayat dan tambo, yang juga memiliki fungsi sebagai salah satu sumber sejarah. Hal demikian tidak dimiliki oleh sejarawan barat. Ambary mengemukakan contoh, bahwa Prof. C.C. Berg amat mengenyampingkan kitab-kitab babad untuk diperhitungkan sebagai salah satu sumber sejarah (1938, II). Berg menganggap bahwa babad tidak dapat dipercaya, bohong, penuh khayal, tahayul, artifisial dan sebagainya. Ini tentunya (boleh jadi) dipengaruhi oleh kurangnya penguasaan atau pemahaman informasi yang ia peroleh mengenai psikologi dan persepsi orang Jawa (khususnya) terhadap kekuasaan dan penguasa.

Ambary dengan cermat mengamati bahwa Babad Tanah Jawi (yang ditulis sejak abad XVI M. dan seterusnya), mengandung banyak paparan mengenai sejumlah peristiwa sejarah, yang notabene dapat diuji silang terhadap sumber-sumber lain, yang (dianggap) lebih otentik dan shahih. Kitab-kitab babad sebagai produk sastra, mungkin memang berlebihan dalam menggambarkan raja dan kekuasaannya. Tetapi seorang raja dalam persepsi rakyat yang dipimpinnya, adalah seorang primus inter pares dan sah (legitimate), sekali pun misalnya ia mencapai tahta melalui makar, tetap ia memiliki "simpanan" legitimasi dalam bentuk lain, yakni: kesinambungan. Untuk itu ia mengawini anak dan/atau istri raja terdahulu, mendapat pulung/nurbuat. Dalam banyak kitab babad/ hikayat banyak tokoh sejarah yang dikemas dalam citra magis-religius, sakral, sekti, dewa dunia, kalipatullah dan sebagainya.

Ambary juga mengutip Prof. Soetjipto Wirjosoeparto (1963) dan kemudian Soemarsaid Moertono (1985), bahwa dalam kitab-kitab babad dan sejenisnya terkandung peristiwa-peristiwa yang layak diperhatikan, bernilai setara dengan sumber-sumber sejarah dalam bentuk yang lainnya. Begitu pula, penyusunan-penyusunan dinasti/ keluarga/ wangsa perlu mendapat perhatian yang wajar, seraya membandingkannya terhadap daftar-daftar yang dimuat dalam sumber lainnya.

Sejarah masa lalu, dapat menjadi "sesuatu" yang "dekat" terhadap kita dan hari-hari ini. Seorang tokoh sejarah yang muncul di panggung peristiwa 1-2 abad lalu, boleh jadi terasa amat dekat dengan kelompok dan suasana batin masa kini. Ini tentunya merupakan dampak dari pengaruh faktor-faktor emosi, ikatan genealogi, besarnya dampak peristiwa di seputar sang tokoh, apresiasi dan sebagainya. Ini pun secara gegabah dapat dianggap sebagai bias, yang menjadi salah satu sumber subyektivitas sejarah. Subyektivitas sejarah dapat pula bersumber dari pra-sangka kelompok, trauma, ideologi, ras/etnisitas dan sebagainya, tetapi bagaimana pun, subyektivitas sejarah adalah bagian yang memang ada dalam upaya kita mencapai obyektivitas sejarah.

Karena sumber-sumber sejarah tidak lepas dari keterkaitannya dengan (antara lain): ikatan keagamaan, kesukuan/etnisitas, kepentingan/interest, politik/ideologi dan sebagainya, maka tidak jarang penulis sejarah terjebak dalam produk penulisan sejarah yang dapat dipandang sebagai sejarah yang dikehendaki oleh si penulis. Merekam kejadian masa lalu yang seratus prosen benar, bukanlah suatu perbuatan mudah atau tidak dikatakan tidak mungkin. Karena manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki konsekuensi bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan, secara maksimal, untuk menjadi se-obyektif mungkin.

Ke-subyektif-an sejarah itu akan selalu muncul, sebagaimana diakui oleh Mr. A.K. Pringgodigdo: " . . . barangkali akan terlihat pula bahwa yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali terdapat pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ." (1949: 13). Dan sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho Notosoesanto: " . . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia, karenanya tidak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata di masa lampau (1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang menyebabkan terjadinya perbedaan visi, misalnya, Belanda menyatakan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak, sebalik-nya, para sejarawan dan rakyat Indonesia dengan kacamata nasionalnya menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan dan pejuang (1987:47). Prof. Dr. Haryati Soebadio mengingatkan, bahwa: "Sejarah apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan karena memang selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan dan bahkan kemusnahan." (1991 a: 69). Karena itu ia sekali lagi mengingatkan agar: " . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap menjaga integritasnya sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmiawan tidak diharapkan memberi tafsiran yang melanggar etika ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu menghadapi sekalian peristiwa dan kejadian-kejadian di sekitarnya dengan sikap seobyektif mungkin dan serasional mungkin . . ." (1991 b: 7-8).

Namun demikian, haruslah disadari bahwa kajian sejarah beserta peninggalan/warisan budaya masa lalu atau dikenal dewasa ini dengan istilah benda cagar budaya mempunyai arti penting secara nasional. Di dalam penjelasan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Presiden Soeharto menegaskan bahwa:

"Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa."

Maka sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya diperlukan. Memang diakui seringkali terjadi kesenjang-an pemahaman antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau dengan perkataan lain terdapat perbedaan nuansa antara sejarah yang benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi yang penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi kesejarahan, tetap harus meng-hindari segala kemungkinan penyusunan "sejarah yang sebaiknya", karena hal itu adalah "penipuan sejarah".

Bagaimana pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan, dan karena itu tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan G.J. Reiner yang sungguh membesarkan hati :

" . . . it is better, therefore, far better, that he should confess, to himself and to his readers, the nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174)

Keterbukaan sikap tersebut jelas amat diperlukan, mengingat bahwa:

"Reality is not 'rational' or 'realistic' in the sense that everything which exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).



Di samping itu, rekaman sejarah -- seperti yang dinyatakan oleh Binford (1983:23) -- merupakan bentuk statik dari dinamika yang terjadi di masa lalu, sebagaimana halnya dinamika masa kini yang dapat diamati pada kehidupan sehari-hari. Melalui kerangka pikir yang dinamik, maka rekaman sejarah masa lalu (yang bersifat statik) akan dapat dimengerti dan dijelaskan secara dinamik pula. Oleh karenanya, untuk lebih memahami tentang kejadian dan dinamika kehidupan masa lalu, maka fakta sejarah yang berasal dari rekaman sejarah haruslah didekati secara kritis.

Dalam kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaran yang pada umumnya memiliki relevansi terhadap peng-ujian kebenaran fakta sejarah, yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran korespondensi (correspondance theory of truth) dan teori kebenaran koherensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).

Walsh menyatakan bahwa teori korespondensi mengacu pada: sesuatu (pernyataan) itu benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (yakni apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila cocok (coherence) dengan pernyataan-peryataan lain yang pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka dalam pemakaian data sejarah, terlebih dahulu, harus diteliti baik secara intern maupun ekstern. Pendekatan intern adalah dilakukan dengan penelitian fisik dan tingkat dapat dipercayanya naskah sebagai sumber sejarah, sedangkan pendekatan ekstern dilakukan dengan menguji-silang sumber-sumber utama yang akan digunakan dengan sumber-sumber lain. Nanti dalam analisis data diterapkan metode deskriptif, dan analogi komparatif. Dalam hal pengujian data sejarah ini, sikap kritik para penulis sejarah adakalanya sampai pada tahapan skeptik (ragu) dalam memandang informasi yang terkandung dalam suatu rekaman sejarah, tanpa maksud meremehkannya. Karena seperti yang dijadikan sikap oleh Prof. Nugroho Notosoesanto, ialah bahwa setiap rekaman sejarah, apa pun wujudnya, memiliki kesempatan yang sama untuk diteliti.

Karena itulah dalam penyusunan Catatan Masalalu Banten ini, khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan dihindari sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun tidak mungkin seratus prosen. Salah satu misal, kehebatan sesuatu pertempuran akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik dan strategi yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran, jumlah korban atau kerusakan dan sebagainya. Bukan dengan dramatisasi berlebihan yang mengarah pada retorika. Diusahakan, supaya dalam penulisan sejarah ini, tidak terjerat dalam "keinginan" tertentu, maka haruslah diperhatikan kaidah-kaidah disiplin ilmu sejarah, baik sejarah dalam pengertian sebagai kisah dari peristiwa atau pengalaman serta ikhwal manusia masa lampau, mau pun sejarah sebagai aktualitas atau sebagai peristiwa itu sendiri. Untuk mencapai maksud di atas, teori sejarah akan diterapkan membantu menjelaskan sejarah dalam pengertian sebagai aktualitas, dan menyusun kembali sejarah sebagai kisah (historiografi), dengan pemaparan yang mendatar tanpa melupakan pendalaman data. Di samping itu pula, dalam penulisan Catatan Masalalu Banten, data-data yang bersumber dari tradisi lisan, akan disebut tetap sebagai tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber memang berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut sebagai dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya; sehingga pembaca dapat menilai lebih obyektif.

Untuk memenuhi kriteria penulisan sejarah seperti yang disebutkan di atas, maka dalam penulisan Catatan Masalalu Banten digunakan seperangkat metode dan teknik penulisan yang tentu tidak akan terlepas kait dari cara-cara menghimpun dan mengolah bahan-bahan atau sumber yang menjadi materi penulisan. Karena itu dilakukan sinkronisasi dan integrasi antara metode dan teknik penelitian dengan metode dan teknik penulisan. Metode-metode yang digunakan dalam penyusunan risalah ini, meliputi :

1. Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun jejak/bekas/ peninggalan masa lampau, baik yang bersifat literer/ artifaktual, ipsefaktual dan ekofaktual.

2. Kritik, yaitu kegiatan pemeriksaan dan pengujian menyeluruh bagi sumber data yang telah terhimpun itu, secara:

a. intern, yakni pengujian terhadap materi dari setiap sumber meliputi: keruangan/spatial, pertanggalan/ temporan, bentuk/formal, struktur, konteks, serta fungsi dari pada setiap sumber.

b. ekstern, yakni meneliti kelengkapan, kebenaran, otentisitas, orisionalitas, termasuk pengujian terhadap sumber lain secara silang.

3. Interpretasi, yaitu menafsirkan setiap sumber baik secara individual maupun korelasional, baik dengan analisis maupun dengan analogis. Analisis diarahkan pada aspek-aspek kontek, struktur, fungsi dan latar belakang dikeluarkannya setiap produk sumber sejarah. Sementara analogi secara terbatas diarahkan pada kesejamanan dokumen lain dalam aspek ruang/geografi, etnisitas, kultural dan bentang waktunya.

4. Eksplanasi, yaitu menjelaskan secara berstruktur fakta-fakta sejarah, penganalisaan serta rekontruksi sejarah, baik sejarah sebagai peristiwa mau pun sejarah sebagai kisah;

5. Presentasi/Penulisan akan dilakukan dengan teknik paparan (eksposisi) secara mendatar (horizontal/synchronic), mau pun secara vertikal (diachronic).



Sebagai pengantar kepada uraian selanjutnya, pemahaman kesejarahan Banten tidak bisa dilepaskan dari keadaan situasi kemasyarakatan yang terjadi jauh di belakang dan dalam lingkup yang lebih luas. Sebelum para penyiar agama Islam datang, di Indonesia sudah berkembang berbagai kepercayaan, baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun agama-agama Hindu dan Buddha yang berasal dari Asia Selatan, malah semacam percampuran (sinkretisme) dari berbagai kepercayaan dan agama-agama tersebut. Hal ini mengandung pengertian bahwa bagian masyarakat tertentu mencampur adukkan unsur-unsur dari ajaran serta upacara-upacara dari kepercayaan dan agama di atas.

Nieuwenhuijze (1958:2) menyebutkan adanya latar belakang yang bagus bagi masuknya Islam di Indonesia, yaitu bahwa masyarakat Nusantara yang dimasuki unsur-unsur budaya Islam sejak abad XIII M. itu dilukiskan sebagai "masyarakat tertutup" yang merupakan sekelompok manusia yang saling padu, terisolir dan bebas, serta merupakan kelompok swasembada yang dipisahkan dari seluruh ummat manusia, dimana menurut Nieuwenhuijze selanjutnya:

1. penguasa dan atau kekuasaan adalah peran yang dimiliki masyarakat itu di alam semesta;

2. manusia sebagai pribadi pertama-tama adalah anggota masyarakat dan bukan individu;

3. penyerapan unsur asing secara sinkretik.



Selanjutnya, Agama Islam tampil menggantikan ideologi komunitas Nusantara, sehingga ideologi tersebut terakhir menjadi:

1. di depan Tuhan manusia adalah sama, dan ini secara diametral bertentangan dengan sistem stratifikasi sosial berkasta dalam agama Hindu;

2. iman memegang tempat utama dalam Islam dan bukan pendekatan kritis analitis terhadap setiap permasalahan semesta; dan

3. konsep "ummah" dalam Islam berhasil menggantikan kesatuan komunal masyarakat sederhana, dan sekaligus memberikan rasa tentram bagi para warga ummat.

Secara politis tampak bahwa masuknya agama Islam tidak mengubah hubungan agama dengan kekuasaan (Arbi Sanit, 1976:14). Seperti raja-raja terdahulu, kerajaan-kerajaan Islam sesuai dengan ajaran agama Islam menggunakan agama sebagai landasan kekuasaan dan legitimasi kekuasaan para sultan daulat Islam di Nusantara.

Selama hampir 300 tahun di bawah kekuasaan kolonial Belanda, pandangan masyarakat mengenai hubungan antara kekuasaan dengan agama hampir tidak berubah. Hal ini terjadi karena kekuasaan kolonial Belanda berdiri di atas dua sistem yang sama sekali berbeda, yakni:

1. Belanda membangun sistem kekuasaan yang "prinsipnya" sekuler dengan segala aparat birokrasinya; sebaliknya

2. di lain pihak masyarakat dikukuhkan ke dalam sistemnya yang semula telah mereka kenal dan tumbuhkan, di mana perkaitan agama dengan organisasi dan sistem kekuasaan di dalam masyarakat begitu erat.

Struktur masyarakat di Indonesia pada masa permulaan kedatangan Islam, dalam beberapa hal masih melanjutkan tradisi budaya Indonesia pra-Hindu. Hal ini dapat diketahui karena budaya Hindu di Indonesia hanya menyentuh lapisan kaum bangsawan dan raja-raja, itupun hanya mengambil beberapa aspek kehidupan saja (Tjandrasasmita et al., 1975:62). Ketika corak pemerintahan Islam menjadi mapan, struktur sosial pun tak banyak mengalami perubahan berarti. Papan bawah dalam struktur masyarakat Jawa tetap menjalani sejarah tanpa perubahan. Namun demikian perubahan sosial tetap ada, berkat adanya konsep "ummah" dalam Islam, yang berhasil dijembatani oleh peran-peran para kyai dan ulama, kesenjangan dalam struktur tersebut -- walau pun tetap ada dan ini alamiah -- berhasil dikurangi.

Namun ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat biasa melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh berlebih-lebihan, dan berbagai peraturan yang menindas, maka dirasakan realitas kekuasaan kolonial tidaklah cocok dengan realitas sosial ekonomi dan stabilitas yang dicita-citakan masyarakat tradisional (Kartodirdjo, 1984: 3-4). Lebih celaka lagi ketika kekuasaan kolonial "merambah" ke daerah peka, yakni agama. "Pesan" kekolonialan "memaksa" pemerintah penjajah mendukung usaha kristenisasi bagi penduduk pribumi yang beragama Islam, karena di samping sebagai "penjinakan" ummat Islam juga untuk missi suci yang dibawa mereka sejak awal. "Pemurtadan" inilah yang akhirnya menjerat pemerintah penjajah kepada maraknya perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama Islam.

Banten tumbuh dan dibesarkan oleh peran pedagang, mulai dari strata terendah, menengah (perantara) sampai pada elite priyayi pedagang di strata paling atas. Penetrasi kekuasaan militer dan armada dagang Belanda, menghapus perdagangan perantara dan berbagai jenis industri. Onghokham menyatakan, bahwa masyarakat kemudian hanya mengenal dua golongan, yakni golongan penguasa dan golongan petani penghasil agrikultur, yang harus menyerahkan hasil mereka kepada penguasa sebagai upeti (1983:10).

Banten yang pernah mencapai puncak keandalan pola ekonomi eksternal (perdagangan jarak menengah dan jauh) dan internal (agro-ekonomi), diluluh-lantakkan oleh berbagai peristiwa politik dan ekonomi yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial dengan segala akibat dan dampaknya. Sebaliknya, pada masa puncak kejayaannya, Banten yang dihuni oleh sekitar 30.000 -- 40.000 jiwa (Valentijn, 1858: 353-255) didatangi oleh para pedagang dari India, Cina, Jepang, Siam, Philipina, Pegu, Persia, Arab, Syria, Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugis (Tjandrasasmita, 1975:193). "Keramaian" dan potensi Banten pada masa puncak kejayaannya, antara lain tampak pada catatan Jourdain bahwa pada tahun 1619 perahu Cina rata-rata berukuran 300 ton, dan catatan J.P. Coen tentang adanya perahu Cina yang membawa dagangan senilai 300.000 real (Wibisono, 1985:793-794).

Pada tahun 1598 terdapat catatan export lada dari Banten dengan perahu Cina sebanyak 18.000 karung (5 jung), perahu Gujarat 3.000 karung dan Perahu Belanda sebanyak 9.000 karung lada (Keuning, 1938:92).

Tetapi sebaliknya kehancuran Banten dan kesengsaraan rakyat Banten -- setelah penetrasi kekuasaan militer, ekonomi dan politik VOC dan kemudian dilanjutkan oleh Belanda -- adalah tak terperikan. Kesengsaraan rakyat ini kemudian berlanjut dengan akibat tanam paksa, resesi ekonomi (maleise) pendudukan bala tentara facis Dai Nippon, dan bahkan oleh bencana alam, wabah penyakit dan perang kemerdekaan itu sendiri.

Pada perjanjian tahun 1609 antara Banten dengan VOC, Banten harus memberikan konsesi/pembebasan pajak dan kebolehan VOC boleh tetap mukim di Banten; pada perjanjian tahun 1658 Banten harus membayar pampasan perang, menjamin keamanan armada dagang VOC di Banten dan membebaskan segala pajak dan cukai bagi VOC; sedang pada perjanjian tahun 1684 ditambah lagi dengan larangan bepergian bagi rakyat Banten dan sebaliknya ke Batavia (Uka Tjandrasasmita, 1975). Tahapan-tahapan perjanjian "damai" yang disodorkan kompeni inilah yang akhirnya membawa kesultanan Banten "terpuruk" ke tangan penjajahan berkelanjutan. Maka sejak tahun 1752, secara de facto Banten berada di bawah kuasa VOC. Melalui perjanjian yang ditandatangani VOC dan Sultan Abulma'ali Zainul'alimin, setiap tahun Sultan harus menghadap/membayar upeti kepada VOC di Batavia, hanya VOC yang boleh mendirikan benteng di Banten, VOC pun memonopoli perdagangan (juga penanaman) komoditas kopi dan tebu.

Abad XVII-XVIII M., Banten dan Indonesia pada umumnya penuh dengan pergolakan berskala menengah dan besar, sementara pada abad XIX-XX terjadi pula perang-perang lokal yang sama dan berakhir dengan perang-perang kecil, yang dalam 1-7 hari telah dapat dipadamkan Belanda.

Belanda dengan politik devide et empera, tak selamanya berperang dalam pengertian yang sungguh-sungguh berperang dengan penguasa/ kekuasaan pribumi. Lebih sering terjadi Belanda (sebelumnya VOC), senantiasa memanfaatkan atau bahkan menumbuhkan intrik istana, atau adu-domba di kalangan elite kekuasaan, yang biasanya berkembang dengan internal conflict, yang bermuara pada perjanjian- perjanjian yang antara lain meminta bantuan Belanda. Perjanjian dalam rangkaian internal conflict tersebut, senantiasa amat merugikan penguasa pribumi, dan akan berakibat semakin dalamnya campur tangan kekuasaan Belanda terhadap urusan-urusan intern/otoritas kerajaan.

Taufik Abdullah menyatakan bahwa pembuatan perjanjian-perjanjian apapun dilihat sepanjang perjanjian tersebut menguntungkan telah menjadi muslihat yang sering dipakai oleh VOC. Dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda hanyalah mewarisi kebiasaan VOC ". . . Setiap perjanjian baru yang dibuat, tidak hanya sekedar mengukuhkan kembali isi perjanjian terdahulu yang oleh Belanda dipandang telah dilanggar tetapi juga, dan ini yang paling sering, menyodorkan hal yang lebih lanjut akan melemahkan kesultanan . . ." (1984:16).

Contoh-contoh mengenai hal tersebut di atas amat lengkap, baik yang telah dialami oleh Banten, Mataram, Aceh, Palembang, Banjar, Gowa-Tallo, Buton, Ternate dan Tidore. Perjanjian yang pernah dilakukan oleh Kesultanan Banten dengan VOC/Belanda, antara lain:

Tahun 1609 : antara Mangkubumi dengan VOC dimana (1) Belanda bersedia membantu Banten apabila Banten diserang oleh negara lain, tetapi sebaliknya Belanda tidak akan membantu Banten apabila Banten menyerang negara lain (2) Belanda boleh berniaga di Banten dan orang Belanda yang menetap di Banten tidak dikenakan pajak, dan (3) bangsa Eropa selain Belanda tidak boleh bertempat tinggal di Banten.

Tahun 1658 : perjanjian perdamaian yang dipaksakan oleh Belanda kepada Sultan Abdulfath, antara lain: (1) pengembalian tawanan perang dari kedua belah pihak, (2) kewajiban membayar pampasan perang oleh Banten pada pihak Belanda, (3) jaminan keamanan Banten terhadap kepentingan Belanda di Banten, (4) pembebasan pemeriksaan bagi kapal-kapal Kompeni Belanda yang datang ke Banten, (5) serta dibebaskan dari segala pungutan bea masuk, (6) larangan pelintasan batas bagi rakyat Banten dan Batavia.

Tahun 1684 : perjanjian yang dipaksakan Belanda kepada Sultan Haji sebagai kompensasi bantuan militer Belanda bagi Sultan Haji dalam menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa (ayahnya), Syekh Yusuf dan Pangeran Purbaya, antara lain: (1) tetap berlakunya perjanjian tahun 1658, (2) larangan bepergian bagi rakyat Banten ke Batavia dan sebaliknya, (3) penetapan perbatasan wilayah Banten dan wilayah Kompeni Belanda, (4) pembayaran kerugian perang dan akibat perampokan kepada Belanda, (5) pelepasan tuntutan Banten atas wilayah Cirebon, dan sebagainya.



Dari contoh perjanjian yang dilakukan oleh penguasa-penguasa pribumi dengan VOC/Belanda, tampak jelas bahwa isi perjanjian-perjanjian, biasanya bermula pada konsesi perdagangan, monopoli oleh Belanda dan berakhir pada campurtangan terhadap kedaulatan, dan tidak jarang berakhir dengan penghapusan administrasi politik sesuatu kerajaan.

Akibat perjanjian-perjanjian inilah akhirnya Kesultanan Banten yang pernah berjaya selama hampir 200 tahun mengalami kepudarannya sampai tenggelam dalam kegelapan. Hingga Deandels dengan leluasa mengobrak-abrik keraton kebanggaan rakyat Banten.



Masyarakat Banten selama abad XIX, boleh dikata cukup menderita khususnya sejak dihapuskannya Kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1812. Struktur kekuasaan di Banten menjadi sangat labil oleh karena kehilangan tulang punggungnya. Meski pun berstatus tinggi dan sangat terpandang dalam masyarakat, namun para bangsawan sudah tidak berkuasa lagi. Sementara itu unsur-unsur pemerintah kolonial, terutama elite birokrasinya belum berakar, maka suasana pengaruh lebih berpusat pada para ulama. Kyai dan Haji. Di samping itu, di desa-desa para jawara berperan sebagai kepalanya.

Dalam keadaan seperti itu, di mana-mana sering timbul vakum kekuasaan, yang membuka ruang bergerak bagi pelbagai unsur masyarakat, yang terpaksa berjuang di bawah tanah untuk survivalnya, antara lain: para petualang, bandit sosial, pemberontak dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1988: 47).

Sejak tahun 1840 gerakan-gerakan mulai reda, di satu pihak secara sporadik keamanan masih diganggu oleh perbanditan dari Sahab, Conat, Ija, Sakan dan Kemodin; sementara itu secara berkala meletus huru-hara yang berpusat pada tempat tertentu seperti: Cikande Udik (1845), affair Pungut (1862), geger Haji Wahia (1850), affair Usup (1851), peristiwa Kolelet (1866) dan peristiwa Jayakusuma (1869).

Kiranya tepat apabila dikatakan bahwa Banten memiliki tradisi memberontak. Segala macam gejolak, besar-kecil, dicetuskan secara individual atau kolektif, kesemuanya dapat dipandang sebagai manifestasi protes terhadap kekuasaan asing yang memaksakan orde politik baru kepada masyarakat Banten.

Sartono Kartodirdjo pun pernah mengkonstantir, bahwa: "Ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat biasa melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebih-lebihan, dan peraturan yang menindas, pada umumnya dirasakan bahwa realitas sosial harmoni dan stabilitas yang dicita-citakan masyarakat tradisional jauh dari harapan (1984: 3).

Hasan Muarif Ambary (1991:17), mengamati kecenderungan sosial-politik abad-abad XVIII-XIX M., dengan munculnya mitos ratu adil, imam mahdi atau bahkan sang messiah, boleh jadi merupakan obsesi bahkan mungkin apologia terhadap ketidakberdayaan dan kehilangan referensi lingkungan budaya yang sesuai dengan keyakinan. Bersamaan dengan gejala itu, orientasi nilai berpindah dari keraton-keraton ke pesantren-pesantren. Pesantren pada abad XVIII-XIX semakin kuat kedudukannya sebagai pusat harapan di antara sempitnya pilihan.

Pendapat Ambary, kiranya paralel dengan pernyataan dari Kartodirdjo, yang telah memberikan gambaran bagaimana pesantren dan kyai menjadi panutan ummat ketika elite birokrasi pribumi semakin kehilangan peran dan kekuasaan. Ia berasumsi, kalau rakyat pada umumnya lebih condong kepada pihak kaum berprotes, namun keadaan yang terpecah belah serta tidak adanya koordinasi yang tidak mampu memobilisasi rakyat bahkan ideologi nativisme, yaitu yang bertujuan merestorasi kesultanan tidak berdaya lagi (1988: 48). Di samping itu, kebijaksanaan serta tindakan penguasa kolonial sekitar tahun 1880 terhadap wabah hewan, bahaya kelaparan serta epidemi sakit panas, hanya menambah kesengsaraan serta keresahan di kalangan rakyat.

"Reportase" Kartodirdjo terhadap keadaan rakyat Banten pada tahun 1880-an, antara lain mengemukakan bahwa sebagai akibat pembantaian kerbau secara massal dan kehadiran kuburannya di mana-mana, di seluruh Banten rakyat menderita sakit panas, yang pada Agustus 1880 mencapai ± 210.000 orang penderita di mana ± 40.000 orang di antaranya menemui ajalnya.

Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, padi di sawah dibiarkan membusuk karena kekurangan tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak sangat tinggi. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a.

Dapat diduga bahwa wabah penyakit hewan dan wabah sakit panas membawa akibat serius dalam keadaan hasil pertanian dan bahan-bahan makanan. Suatu himbauan kepada Pemerintah Batavia agar Banten termasuk Lebak diberi bantuan, segera mendapatkan tanggapan positif, baik berupa dropping bahan makanan, maupun dalam bentuk program-program pembangunan jalan dan irigasi.

Rakyat Banten lambat-laun memulihkan kehidupannya menuju ke arah normal. Namun letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter yang melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tanjur dan Carita. Kesemuanya sirna tanpa meninggalkan bekas, korban jiwa mencapai ± 21.500 orang tenggelam disapu gelombang.

Musibah yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meskipun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.

Sementara itu, pihak pemerintah melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Pada tahun berikutnya, setahun setelah letusan G. Krakatau, pajak tanah dikurangi f. 124.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, dan di Banten terkumpul lebih besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988: 55).

Pada tahun 1886 dalam masyarakat yang penuh keresahan timbul kekeruhan yang disebabkan oleh merajalelanya gerombolan perampok di bawah pimpinan Sakam. Karena sukar ditangkap, pada rakyat timbul kepercayaan bahwa ia berjimat dan memiliki kekebalan. Dan banyak lagi contoh keresahan/kemelut akibat meluasnya perbanditan dengan segala dampak penanganannya.

Menurut hasil kajian Kartodirdjo, di Banten Utara pada tahun 1887 dan 1888 kekuatan-kekuatan sosial lambat laun mulai terkristalisasi serta mewujudkan diri sebagai gerakan perlawanan di bawah tanah bagaikan api di bawah sekam (1988: 57). Di Banten Utara terlaksana konsolidasi kekuatan tersebut oleh karena di daerah ini tersedia basis yang kokoh serta sistem kepemimpinan yang memiliki otoritas tidak hanya besar, tetapi juga kharismatik.


BAB II

BANTEN SEBELUM ISLAM



A. TINGKAT KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH

Wilayah Banten yang terletak di ujung barat pulau Jawa, tepatnya antara 105°6` sampai 106°46` BT dan 5°46` sampai 7°1` LS. Dikelilingi Laut Jawa di sisi utara, Selat Sunda di sisi barat dan Samudra Hindia di sisi selatan. Pulau-pulau di sekitarnya antara lain: Pulau Panaitan, Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang, Pulau Dua, Pulau Deli dan Pulau Tinjil. Secara administratif kepemerintahan melingkupi daerah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Berdasarkan keadaan lingkungan alamnya, daerah Banten dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Daerah pantai;

2. Daerah pedataran dan kaki perbukitan;

3. Daerah Gunung Karang, Gunung Salak, Gunung Gede Gunung Honje, Gunung Polasari dan Gunung Batur;

4. Daerah pegunungan.

1). Daerah pantai

Daerah pantai merupakan daerah yang kering dan tidak subur, meliputi daerah pantai utara sekitar Teluk Banten, pantai Pontang, pesisir Tangerang, dan pantai Selat Sunda. Seperti umumnya daerah-daerah pantai utara Jawa, di daerah pantai ini banyak sungai-sungai bermuara dan banyak membawa lumpur hasil erosi dari daerah pedalaman. Banyaknya pengendapan lumpur di daerah pantai ini menyebabkan garis pantai makin bergeser ke arah laut. Daerah ini berketinggian kurang dari lima meter di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata kurang dari 1500 milimeter/tahun. Karena tanahnya tidak subur, maka tanah persawahan sangat sedikit dan kebanyakan digunakan untuk tambak pemeliharaan ikan dan ditanami palawija dan kelapa.

2) Daerah pedataran dan kaki perbukitan

Daerah ini meliputi wilayah-wilayah Kota Cilegon, Kabupaten Serang utara dan timur, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang. Tanahnya merupakan tanah pedataran yang sangat luas (hampir meliputi 50% dari seluruh wilayah Kabupaten Serang dan Tangerang) dengan sedikit daerah kaki perbukitan di sebelah selatannya. Berketinggian kira-kira 100 meter dari permukaan laut. Curah hujan rata-rata 1500 - 2000 milimeter/tahun. Daerah ini merupakan daerah pertanian yang sangat luas dan subur.

3) Daerah Gunung Karang, Gunung Salak, Gunung Gede, Gunung Honje, Gunung Polasari dan Gunung Batur

Daerah ini merupakan daerah bergunung walaupun letaknya di daerah pantai. Tanahnya sangat subur. Berketinggian sampai 600 meter di atas permukaan laut dan merupakan daerah perkebunan. Curah hujan rata- rata 1500 - 2000 milimeter/tahun.

4) Daerah pegunungan

Daerah ini merupakan tanah pesawahan dan perkebunan yang sangat subur dan meliputi wilayah selatan Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Berketinggian 200 - 2000 meter di atas permukaan laut. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi, rata-rata 2000 - 3000 milimeter/tahun.



Rekonstruksi tingkat kehidupan prasejarah di wilayah Propinsi Banten, mungkin harus ditarik paling tidak ke bentang waktu antara 10.000 - 5.000 tahun lalu, sebagaimana acuan bukti-bukti hadirnya bekas-bekas habitasi kelompok-kelompok manusia di wilayah ini. Titimangsa tersebut boleh bersifat hipotetis dan sangat sementara, mengingat di wilayah Banten selain ditemukan sisa-sisa teknologi tingkat kehidupan masa bercocok tanam, juga ditemukan sisa-sisa budaya gua, dan tradisi pembuatan alat-alat batu inti dan serpih bilah di Cigeulis, Pandeglang.

Salah satu hal yang agak kurang menguntungkan dalam kajian tingkat kehidupan masa prasejarah di wilayah Banten, adalah masih kurangnya penelitian arkeologi secara intensif dan berkesinambungan di wilayah dimaksud. Penelitian-penelitian belum dilakukan secara menyeluruh dan masih bersifat sepotong-sepotong.

Pada Kala Plestosin (± 3 juta – 10.000 tahun sebelum Masehi) dimana terjadi penurunan drastis suhu bumi sehingga es yang biasanya hanya ada di daerah kutub telah meluas, dan permukaan air laut turun drastis, disamping terjadi pengangkatan daratan sehingga juga terbentuk gunung/ pegunungan baru. Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan menjadi satu dataran dengan benua Asia dan Eropa, yang disebut dengan paparan Sunda (Sunda shelf), sedangkan pulau-pulau di bagian timur Indonesia bersatu dengan Australia yang disebut paparan Sahul (Sahul shelf). Masa inilah yang diduga sebagai masa penyebaran penduduk Nusantara. Baru setelah adanya perubahan iklim yang diikuti dengan pencairan es, pulau-pulau tersebut menjadi terpisah oleh lautan. Selat Sunda yang dulunya merupakan sungai besar, berubah menjadi selat yang memisahkan Sumatra dan Jawa. Dengan ditemukannya singkapan endapan tanah formasi plestosen di Banten, maka diyakini bahwa daerah ini muncul semasa dengan munculnya benua Asia (Kartodirdjo, 1975: 33).

Secara umum, perkembangan budaya manusia pada masa prasejarah digambarkan berupa 3 tahapan yang masing-masing memiliki ciri tertentu: masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa kemahiran teknik (perundagian). Masa berburu dan mengumpulkan makanan, ditandai dengan kepandaian berburu binatang hutan, menangkap ikan, kerang dan siput di lat atau di sungai dan mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya, misalnya umbi-umbian seperti keladi, buah-buahan atau biji-bijian dan daun-daunan. Hidup berburu dan mengumpul makanan adalah cara hidup yang pokok pasa masa itu. Mungkin merekapun telah mengenal pertanian, walau dengan cara yang sangat sederhana dan dengan cara berpindah-pindah sesuai dengan kesuburan tanah dan alam lingkungannya. Biasanya mereka sudah mempunyai tempat tinggal di goa-goa alam di dekat sumber air atau sungai walau tidak tetap. Mereka akan berpindah tempat apabila keadaan alam atau persediaan makanan sudah makin berkurang. Dalam hal alat-alat penopang hidupnya pun sangat sederhana yang dibuat dari batu, tulang ataupun bambu, berupa batu atau tulang yang ditajamkan, seperti kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, kapak genggam dan alat serpih. Dalam keadaan yang lebih maju, mereka juga membuat mata anak panah yang terbuat dari batu atau tulang yang diberi gerigi untuk keperluan berburu binatang. Walaupun mereka sudah hidup berkelompok, namun dalam ukuran yang sangat sederhana, tergantung dari keadaan tempat yang ditinggalinya. Peninggalan masa ini di Banten dapat ditemukan di Cigeulis, Pandeglang berupa kapak perimbas, kapak penetak, pembelah dan serpih bilah. Di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon juga ditemukan lukisan gua yang kemungkinan besar dibuat oleh penghuni gua pada masa itu.

Masa kehidupan bercocok tanam (neolitik), masa ini ditandai dengan mulai cara hidup menetap di suatu perkam-pungan yang terdiri dari tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Populasi mulai meningkat, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan mulai diatur antar anggota masyarakat. Kegiatan bercocok tanam, pemeliharaan hewan ternak sudah mulai dibiasakan di samping kegiatan berburu dan menangkap ikan masih terus dilakukan. Unsur kepercayaan dalam kehidupan perkampungan sangat dipentingkan untuk membina, mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan dalam hidup bersama. Pemujaan kepada benda-benda alam yang besar seperti gunung-gunung, matahari, bulan, laut, pohon-pohon besar, arwah nenek moyang yang dianggap sakti dan keramat yang akan dapat menolong dan mencegah kemurkaan alam menjadi dasar kepercayaan mereka. Teknologi pembuatan pakaian, gerabah (alat yang dibuat dari tanah liat), alat-alat kerja, dan perhiasan mulai dikenal; pembuatan alat berburu seperti kapak, beliung persegi dan mata tombak atau anak panah mulai ditingkatkan dengan diasah halus dan spesifik. Pada tahun 1980 ketika Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan perluasan dan perbaikan irigasi DAS Cibanten Hilir tepatnya di plot Kampung Odel, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang sekitar 2 km di selatan Masjid Agung Banten, ditemukan berbagai benda berciri prasejarah, seperti serpih, bilah, alat batu inti, beliung persegi, belincung, fragmen gerabah "cord-marked", manik-manik, fragmen gelang dan cincin perunggu, yang seluruhnya bercampur dengan temuan-temuan yang berciri Banten-Islam.

Hasil survey dan ekskavasi yang dilakukan di Karadenan, Odel dan Kenari yang masih termasuk DAS Cibanten, memperlihatkan jenis-jenis temuan sebagai berikut:

alat batu 186 buah

tatal batu 600 buah

batu apung 9 buah

pecahan batu (chunk) 17 buah

pecahan gerabah 5.280 buah

pecahan keramik 581 buah

manik-manik 43 buah

k a c a 24 buah

fragmen logam 29 buah

fragmen tulang 73 buah

fragmen gigi 17 buah

Dari ketiga plot penelitian di sepanjang DAS Cibanten Hilir tersebut, terlihat akumulasi data yang menampakkan kecenderungan membentuk pola linear, yaitu pola huni di sepanjang aliran sungai. Sungai merupakan lingkungan mikro yang dianggap penting, baik sebagai prasarana transportasi atau pun sumber daya untuk keperluan industri, rumah tangga dan sebagainya.

Mengingat salah satu kondisi situs telah teraduk, yang berdampak tercampurnya unsur-unsur budaya berciri prasejarah dan Banten-Islam, menimbulkan permasalahan apakah situs Odel merupakan situs prasejarah yang kemudian langsung sinambung dengan situs Banten-Islam, ataukah situs Odel merupakan multi component-site. Apabila sebagai situs yang berkesinambungan, diasumsikan akan ditemui tingginya tingkat persamaan dalam perbandingan unsur-unsur budaya prasejarah dan Banten-Islam. Namun pada kasus situs Odel ini, yang dijumpai adalah tingginya tingkat perbedaan kedua budaya tersebut, yang mana ini berarti bahwa situs Odel di DAS Cibanten Hilir merupakan multi component-site.

Pada tingkat kehidupan berikutnya, wilayah Banten memasuki masa proto sejarah yang antara lain ditandai oleh kehadiran, pembuatan dan penggunaan benda-benda logam, yang secara tipologis di masa-masa lalu sering dikaitkan dengan Budaya Dongson. Penemuan berbagai kapak perunggu tipe kapak corong di Pamarayan, Kopo, Pandeglang, Cikupa dan Cipari. Selain itu ditemukan pula benda-benda perunggu dan besi dari jenis senjata dan alat-alat pertanian, menunjukkan jenis penggunaan dan pengenalan terhadap teknologi pembuatan benda-benda logam itu sendiri.

Salah satu temuan penting ialah sebuah nekara perunggu dari Banten dengan tipe Heger IV. Seperti halnya penemuan nekara dari Waleri (Jawa Tengah), maka temuan nekara tipe Heger IV ini termasuk langka di Indonesia, karena biasanya yang ditemukan adalah nekara-nekara tipe Heger I (Soerjono et al, 1984: 246).

Nekara tipe Heger IV berbentuk seperti dandang terbalik, bagian atas datar dan bagian bawah terbuka. Nekara ini mempunyai bidang pukul menutup badan nekara, bahu berbentuk cembung dan bagian tengahnya hanya sedikit membentuk cekungan pinggang dan selanjutnya melurus ke bawah. Pada nekara ini tampak bentuk seolah-olah bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Tipe ini juga disebut dengan tipe Cina.

Proto-sejarah wilayah Banten semakin lengkap dengan ditemukannya situs yang mengandung sistem penguburan di Anyer. Tempayan kubur Anyer berisi tulang belulang manusia yang mayatnya dikuburkan secara primer beserta benda-benda gerabah dan atau perunggu yang berfungsi sebagai "bekal kubur". Situs Anyer ditemukan pada tahun 1954, dan pada tahun berikutnya (1955) diselidiki oleh Hendrik Robert van Heekeren dan Basuki, dan baru pada tahun 1980-an dilanjutkan penelitiannya oleh Haris Sukendar dan Joyce Ratna Indraningsih. Diduga kebudayaan demikian adalah sisa dari kebudayaan megalitik tua (4500 - 2500 SM) yang berkembang di sana.

Benda-benda gerabah dari situs Anyer belum banyak diperoleh sebagai sample penelitian. Di antaranya adalah sebuah cawan berkaki (pedupaan) seperti yang ditemukan pada situs-situs kompleks budaya Buni (Jawa Barat Timur), serta sebuah kendi tanpa cerat berleher panjang, tanpa hiasan. Tempayan dan benda gerabah Anyer, pada umumnya merupakan gerabah berwarna coklat kehitaman dan diupan. Masa perkembangan gerabah Anyer diduga antara 200 - 500 Masehi.

Di antara masa-masa akhir neolitik-perundagian (logam awal), bahkan sampai pada masa sejarah, tumbuh dan berkembang budaya dan tradisi megalit, yang beresensi pada kultus/pemujaan leluhur, yang diwujudkan melalui pendirian bangunan-bangunan batu, baik secara mengelompok (kompleks) maupun individual.

R. von Heine Geldern (1945: 151), menganggap bahwa tumbuh-berkembangnya budaya megalit ke Indonesia berlangsung dalam dua aliran, yakni:

1) Megalit tua; yang dalam perkembangannya dibawa oleh aliran etnik atau kultural, yang datang pada tingkat kehidupan bercocok tanam, dengan komunitas manusia yang memperkenalkan budaya beliung persegi. Budaya ini berlangsung antara 2.500 - 1.500 SM, dengan memperkenalkan adat pendirian menhir[1] (tunggal maupun kelompok), dolmen [2] (bukan berupa kuburan), pelinggih batu, undakan batu[3], patung-patung simbolik monumental, dan lain-lain.

2) Megalitik muda; rangkaian migrasi yang berlangsung pada masa berkembangnya kebudayaan Dongson[4] dan Logam Awal, memperkenalkan adat pendirian kubur peti batu, kubur dolmen, sarkopagus[5] dan kubur bejana batu (stone vats).



Menurut Rumbi Mulia (1980: 609), penemuan-penemuan bangunan arca/area megalit di wilayah Banten, antara lain ditemukan di:

1) Tenjo, Pandeglang: arca dengan teknik pahat dasar, seluruh bagian utama tubuh lengkap, bentuk-bentuk dan ukuran mata, telinga tidak proporsional. Arca ini sekarang disimpan di Museum Nasional (Inv. no. 480n), digambarkan dalam posisi duduk.

2) Candi, Lebak: bangunan megalit dengan 11 arca di atasnya, yang seluruhnya kini disimpan di Museum Nasional (Inv. No. 4222 s/d 4232).

3) Kerta, Parengkujang, Lebak: ditemukan arca dari batu tanah liat (clay-stone), disimpan di Museum Nasional (Inv. No. 3865).

4) Kosala, Lebak: bangunan berundak dan di dekatnya ditemukan arca yang dikenal sebagai arca Kosala, pahatan menggambarkan posisi sedang duduk.

Bangunan megalit Kosala dan Arca Domas mem-perlihatkan adanya hubungan dengan orang-orang Baduy yang kini hidup meng-isolir diri di daerah Banten Selatan. Monumen-monumennya berupa bangunan batu berundak lima tingkat, dan pada setiap undak terdapat menhir (Soejono et al., 1984: 219). Dalam kompleks tersebut dijumpai batu berbentuk segi lima, di bagian bawah yang tertanam dalam tanah terdapat sejumlah batu bulat bergaris tengah antara 10 - 15 cm.

Di situs ini pula terdapat arca kecil melukiskan tokoh yang duduk bersila, ditemukan dekat bangunan berundak. Kedua tangan arca ini digambarkan dilipat ke depan, dan salah satu tangannya mengacungkan ibujari. Arca Domas memiliki 13 undakan batu, dan undak paling atas didirikan sebuah menhir berukuran besar. Menurut kepercayaan orang Baduy, menhir ini merupakan lambang dari Batara Tunggal sang pencipta roh, dan kepadanya pula roh-roh tersebut kembali.

Peninggalan megalit di Lebak Sibedug berupa bangunan berundak empat, yang seluruhnya setinggi 6 meter. Di depan undakan batu ini terdapat lahan datar dan di sini pula terdapat sebuah menhir yang ditunjang batu-batu berukuran kecil.

Bangunan berundak di Kosala, Arca Domas dan Lebak Sibedug tersebut, masih dipuja dan dikeramatkan, dan karenanya bangunan-bangunan megalit di Banten Selatan ini termasuk kategori living megalithic culture, yang berarti benda-benda arkeologi/megalit yang masih berada dalam konteks sistem perilaku pendukungnya.

Hasan Muarif Ambary (1991: 397), menyatakan bahwa peninggalan kolosal bangunan megalitik di Lebak Sibedug (Cibedug) merupakan salah satu prototipe tempat pemujaan tradisi megalit yang umum terdapat di Asia Tenggara. Sementara itu Halwany Michrob (1988) melihat kemungkinan adanya persamaan-persamaan unsur arsitektur Lebak Sibedug dan Arca Domas terhadap berbagai bangunan di Madagaskar dari bagian barat sampai Rupa-nui, P. Paskah, Pekan, Formosa, Campa, Aoteraroa, New Zealand.

Khusus mengenai "orang Baduy" yang masih melakukan pemujaan/pengeramatan Arca Domas dan Lebak Sibedug, sebenarnya terbagi dalam kelompok Baduy Luar yang menghuni habitat seluas ± 2606 ha, dan Baduy Dalam yang menghuni habitat seluas ± 2515 ha, yang seluruhnya berada pada ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut.

Keterpencilan pemukiman orang Baduy, hendaknya dilihat dalam perspektif paling resen/modern. Karena dari perspektif orang Baduy sendiri, "isolasi" (jika pun istilah ini tepat untuk digunakan), sekaligus menampakkan keberhasilan orang Baduy dalam mengelola teknik adaptasi mereka terhadap lingkungan alam di mana mereka hidup dan tinggal.

Penemuan-penemuan unsur bangunan megalit dari wilayah Banten akhir-akhir ini, antara lain menghasilkan informasi mengenai adanya punden berundak di gunung Cupu, jajaran menhir di puncak Gunung Karang, dolmen di situs Sang Hyang Dengdek, menhir (Sirit Bedug) di Pandeglang, dan sebagainya (Michrob, 1988: 18).

Peninggalan prasejarah agaknya pernah ada di sekitar Banten Girang (Banten Hulu), sejak di tempat tersebut di situs itu ditemukan pula keramik Cina yang berasal dari masa Dinasti Han (206 SM - 220 M), serta undakan-undakan di atas gua Banten Girang.

Namun demikian agaknya memang perlu hati-hati dalam menafsirkan periodisasi bangunan-bangunan berundak. Agus Aris Munandar (1992: 284) menyatakan bahwa bangunan berundak di Jawa Barat tidaklah selalu berasal dari masyarakat yang mendukung tradisi megalit, karena ada juga bangunan-bangunan berundak yang dapat dihubungkan dengan kegiatan keagamaan masyarakat kerajaan Sunda (Hindu), bahkan pada periode akhir masa Hindu-Budha di Jawa.

Sebagai contoh bangunan berundak Kosala, yang pada jarak sekitar 100 meter ditemukan sebuah arca. Oleh beberapa sarjana arca tersebut dinyatakan sebagai arca Budha, tinggi 50 cm, dipahat dalam relief tinggi, sikap tangan menunjuk pada mudra tertentu. Menurut Rumbi Mulia (1980: 616-618), arca Kosala ini dihubungkan persamaannya dengan arca perwujudan jaman klasik akhir yang melambangkan pengruwatan, dan mungkin menggambarkan arca leluhur.

Peringatan ini kemudian diulangi oleh Satyawati Suleiman (1992: 318), yang menyatakan bahwa arca-arca tipe Pajajaran yang ditemukan di Jawa Barat memiliki bentuk yang sangat mirip dengan arca-arca yang ditemukan di wilayah Polynesia, maka dahulu arca-arca tipe Pajajaran sering disebut dengan arca tipe Polynesia. Ditambah lagi dengan lokasi penemuan yang seringkali di dekat/sekitar bangunan berundak, maka orang sering pula menafsirkannya sebagai arca prasejarah. Salah satu arca yang pernah disebut dengan tipe Polynesia ini, ada yang berinskripsi angka tahun antara 1263 - 1341 Masehi.

Betapa pun demikian, sungguh jelas bahwa wilayah Banten telah intensif dihuni sejak masa-masa paling tua untuk wilayah ini, yakni sejak masa pertanian awal, mungkin lebih awal lagi sejak masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, seperti jika benar pada lukisan gua di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon, atau pun alat-alat batu, kulit kerang dan pecahan gerabah yang ditemukan di dasar-dasar gua Kampung Candi, pantai Bojonegara, yang malangnya telah diruntuhkan untuk "pemburuan batu" bagi keperluan pembuatan landasan pacu dan pembangunan bandara Sukarno Hatta.

Jika benar bahwa keramik masa Dinasti Han telah ditemukan di Banten Girang, setidaknya wilayah ini telah terjangkau hubungan internasional, lebih awal dari pertumbuhan komunitas nelayan di pantai utara Bekasi, dimana di komplek budaya Buni pernah ditemukan pecahan gerabah romano-roulette yang bertitimangsa abad-abad I - II Masehi.

Wilayah Banten tumbuh dan berkembangnya tak lepas kait dengan vitalitas Selat Sunda sebagai alur alternatif perdagangan dan pelayaran samudra India - Laut Cina Selatan -- selain melalui Selat Malaka. Kesinambungan habitasi berbagai pusat pemukiman di wilayah Banten, adalah sekedar kelanjutan tradisi mengoptimalkan wilayah-wilayah pemu-kiman yang memiliki daya dukung potensial, sejak masa prasejarah, sejarah dan resen.





B. KESINAMBUNGAN BUDAYA PRA-SEJARAH PADA MASA HINDU-BUDHA DI BANTEN

Ketika turun tirai kehidupan nirleka di wilayah Banten, menyusul kemudian tumbuhnya tata-kehidupan yang mendapat pengaruh anasir-anasir budaya Hinduistik dari India, wilayah Banten telah eksis di panggung sejarah dan tetap memainkan peran sejarahnya dalam dimensi ruang dan budaya. Masa-masa awal berkembangnya anasir-anasir Hinduistis di wilayah Banten, sama halnya dengan bentang waktu kehidupan masa prasejarah, masih belum tergali secara tuntas dan dalam eksplanasi yang belum menyeluruh. Pengungkapan periode awal berkembangnya Hinduisme di wilayah Banten belum banyak didasarkan pada fakta-fakta arkeologis, meski pun beberapa di antaranya memiliki signifikansi hubungan dengan berbagai pusat politik, seperti Tarumanagara dan Pakuan Pajajaran. Salah satu usaha untuk menembus stagnasi dalam rekonstruksi periode-periode ini, antara lain melalui kajian sumber asing.

Tetapi karena kurangnya data-data, kita belum dapat mengetahui apakah mereka pun sudah mengenal bentuk kerajaan. Yang pasti mereka telah mengenal hubungan dengan luar negeri, terutama dengan kerajaan-kerajaan di India dan Asia Tenggara (Ambary, 1977: 447). Bukti-bukti tentang hal ini dapat dilihat dari ditemukannya bangunan berupa pundan berundak di Lebak Sibedug, Banten Selatan, yang merupakan bangunan-pengantar antara bangunan prasejarah dengan candi berundak, seperti Borobudur, yang juga terdapat di beberapa tempat di Asia (Michrob, 1988: 4).

Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).

Hal ini dimungkinkan karena memang menurut penyelidikan Prof. Ir. Anwas Adiwilaga, di Pulau Panaitan pada kira-kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat. Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya bernama Dewawarman I (130 - 168 M). Daerah kekuasaannya meliputi: Kerajaan Agrabinta (di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan daerah ujung selatan Sumatra. Dengan demikian seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari Haji Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa Gerbang Lautan) (Yogaswara, 1978:38). Dengan diketemukannya patung Ganesha dan patung Shiwa di lereng Gunung Raksa, Pulau Panaitan, dapatlah diduga bahwa masyarakatnya beragama Hindu Shiwa.

Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda -- yang bersama Pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha -- termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada sejak ± 26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis-jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial.

Data arkeologi dari Pulau Panaitan berupa arca Siwa, Ganesha dan lingga semu/lingga patok. Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981. Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik.

Arca Shiwa ini sering dikatakan berbentuk statik dan sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa Shiwa pada umumnya. Hal lain dari arca ini ialah tangan belakang yang memegang trisula dipahat langsung pada sandaran arca di belakang kepala. Kedua tangan bagian depan bersikap varadamudra dan memegang padma memakai selempang pola pita lebar.

Arca Dewa Shiwa Pulau Panaitan ini bermahkota tanpa candrakapala, mata terpejam, besaran kepala tidak proporsional apabila dibandingkan dengan postur tubuh, dalam posisi duduk di atas nandi yang juga menghadap frontal. Sikap duduknya digambarkan kurang lazim -- bukan yogamudra atau semi-yogamudra -- karena kedua telapak kaki dipertautkan dalam posisi bersila dengan ujung-ujung jari kaki "jinjit" di atas kepala nandi. Arca Siwa tersebut diduga oleh para arkeolog berasal dari abad ke-7 Masehi, suatu abad memuncaknya kesenian Hindu di pesisir utara Jawa Barat (Cibuaya) dan pedalaman (Cangkuang).

Sementara itu, arca Ganesha Pulau Panaitan meski pun digambarkan tanpa mahkota, namun penggambaran bagian-bagian utama/ umum tubuhnya cukup lengkap. Ganesha ini digambarkan dalam ukuran tidak proporsional, duduk di atas batur. Belalainya menjuntai kemudian lengkung ke arah tangan kiri. Sedangkan pada lingga semu tidak didapati atribut sebagai salah satu lambang emanasi Shiwa, sehingga lingga Pulau Panaitan ini dianggap berfungsi sebagai patok batas tanah.

Kehadiran anasir-anasir budaya Hinduistis di Pulau Panaitan, mengarahkan pemikiran bahwa pulau ini amat boleh jadi pernah jadi pulau tempat persinggahan para pelayar/musafir, atau lebih buruk lagi sebagai pulau tempat terdamparnya kapal-kapal yang melintasi Selat Sunda. Beberapa di antara para pelayar itu diduga beragama Hindu Shiwa, yang terutama memuja Dewa Shiwa, Ganesha dengan segala atributnya. Shiwa dikenal sebagai dewa penguasa dan perusak alam, sementara Ganesha dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan serta pembantu memecahkan halangan/ persoalan.



Bukti-bukti arkeologi masa Hindu_Indonesia di Banten antara lain juga tampak pada jajaran/kelompok lingga di Baros (Serang), lingga di Pulau Handeuleum, lingga dan yoni di situs Sang Hyang Heuleut, dan arca nandi di Karangantu. Hinduisme di wilayah Banten agaknya memang berpuncak dan berpusat di Banten Girang, ketika menjadi Kawasan Prabu Pucuk Umun, salah satu bawahan Pakuan Pajajaran yang beribukota di Bogor.

Situs Banten Girang terletak di tepi sungai Cibanten berjarak 13 km dari Banten Lama. Di tempat ini masih memperlihatkan beberapa temuan arkeologis, yang menampakkan ceruk (gua) pertapaan, benteng keliling, saluran yang mengelilingi benteng (nampak setelah diekskavasi), makam Ki Jong dan Mas Jo, serta sejumlah temuan artefak yang tersebar hampir di seluruh situs, seperti: mata-kail, bandul jaring, uang kepeng, pecahan keramik lokal dan keramik asing (Ming, Yuan, Song, Swankalok dan sebagainya), perhiasan emas, manik-manik, serta berbagai fragmen alat dari logam. Hal ini menunjukkan bahwa pada masanya Banten Girang merupakan suatu area kota yang penting.

Dalam penelitian Ambary (1985), dilihat dari tipe nisan dan artefak kijing yang dipakai dalam makam kuno Ki Jong dan Mas Jo di Banten Girang, maka dalam tipologi nisan makam Islam dimasukkan kelompok tipe Demak-Troloyo. Selanjutnya, Montana (1988:71) mencatat kekunoan situs ini dari gundukan tanah sekitar 300 meter di sebelah utara makam, yang ternyata di bawah permukaannya terdapat batu berundak, dan di bawah batu berundak itu lah terdapat dua buah gua ceruk di tebing padas sebelah timur Cibanten. Apabila dilihat dari tipologi ceruk-ceruk/gua yang ada di sana, paling tidak Banten Girang telah muncul pada sekitar abad XI-XII M (Guillot, 1990: 12). Lebih menarik lagi, dari data babad, Banten Girang masih difungsikan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (abad XVII), dimana pada waktu-waktu tertentu sultan berwisata dengan kegiatan memancing ikan di tempat itu. Dan menurut keterangan Caeff, di tempat ini Sultan Tirtayasa menyuruh membuatkan sebuah istana sebagai tempat mengungsi kaum wanita di masa perang (Djajadiningrat, 1983: 125).

Dari penelitian arkeologis tahun 1989, 1990, 1991 dan 1992 Lukman Nurhakim (1992) berhasil mengungkap berbagai aspek penting dari situs Banten Girang. Tempat ini merupakan situs pemukiman dalam skala kota pra-industri, yang dikelilingi benteng dari tanah -- baik pada sisi dalam maupun luar tanggul -- untuk keperluan pertahanan. Tanggul tanah sebagai benteng di Banten Girang, sebagaimana halnya di situs-situs lain, sudah dikenal luas baik pada masa prasejarah akhir dan klasik, yang kemudian berlanjut pada kota-kota kuno periode Indonesia-Islam; seperti di Pugung Raharjo (Lampung), Pasir Angin (Bogor),Aceh, Barus (Sumatra Utara), Rao (Sumatra Barat), Muara Takus (Riau), Muara Jambi (Jambi), Biting (Lumajang), dan Surosowan (Banten, Serang).

Dari hasil ekskavasi diketahui bahwa situs Banten Girang berfungsi sebagai: (a) pusat pemukiman -- terlihat dari banyaknya sebaran artefak, teknofak dan sosiofak, (b) pusat upacara -- adanya dua gua persemedian/pemujaan, dan (c) benteng untuk melindungi keduanya. Selanjutnya, Lukman Nurhakim memandang adanya fase-fase kehidupan di Banten Girang yang meliputi:

1) Fase I; fase subordinasi Pakuan-Pajajaran dimana gua dijadikan pusat upacara keagamaan bercorak Hinduistik (Hindu-Budha);

2) Fase II; fase pendudukan/ administrasi politik Islam masa Maulana Hasanuddin;

3) Fase III; fase surutnya Banten Girang karena pusat administrasi politik dipindahkan ke Banten Lama di pesisir, tetapi Banten Girang masih tetap digunakan bahkan sampai masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1652 - 1671), sultan Banten kelima;

4) Fase IV; fase akhir, ketika Banten Lama sudah dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1815, dimana diduga frekwensi penggunaan Banten Girang semakin menurun;

5) Fase V; fase resen, okupasi lanjut oleh penduduk Banten Girang masa sekarang yang digunakan untuk lahan pertanian dan lahan pemukiman.



Melalui perbandingan dengan berbagai bentuk fisik benteng di berbagai tempat, atas dasar penemuan keramik masa Dinasti Han (206 SM - 220 M) dan struktur berundak di atas gua dan lingkungan benteng, amat boleh jadi okupasi Banten Girang sudah berlangsung lama sekali, bahkan sejak ketika berlangsung masa kehidupan prasejarah dan proto-sejarah.

Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanksekerta antara lain berbunyi:

vikrantayam vanipateh

prabbhuh satyaparakramah

narendraddhvajabutena crimatah

purnnavarmmanah

Terjemahannya:

(ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman

Prasasti ini menunjukkan bahwa bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten, dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan.

Berita atau sumber-sumber sejarah mengenai Banten dari masa sebelum abad ke-16 memang sangat sedikit kita temukan. Tapi setidak-tidaknya pada abad XII-XV, Banten sudah menjadi pelabuhan kerajaan Pajajaran.

Untuk selanjutnya keadaan Banten dari abad VII sampai dengan abad XII tidak ditemukan berita sejarah yang meyakinkan. Demikian juga, tidak diketahui siapakah penguasa daerah Banten waktu itu, padahal benda-benda peninggalan dari masa itu sudah banyak ditemukan.

Berita tentang Banten baru muncul kembali pada awal abad XIV dengan diketemukannya prasasti di Bogor. Prasasti ini menyatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, dan Banten sampai awal abad XVI termasuk daerah kekuasaannya (Ambary, 1980: 447). Memang, Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan besar, yang daerah kuasanya meliputi: seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon, ditambah pula daerah Tegal dan Banyumas sampai batas Kali Pamali dan Kali Serayu.

Daerah-daerah ini dibagi dalam empat Kerajaan bagian yang merupakan wilayah otonom, yaitu:

1) Kerajaan Indramayu; dikuasai oleh Prabu Indra Kusumah.

2) Kerajaan Raja Galuh; dikuasai oleh Prabu Cakraningrat.

3) Kerajaan Luragung; dikuasai oleh Prabu Luragung.

4) Kerajaan Talaga; dikuasai oleh Prabu Pucuk Umun, salah seorang putra Prabu Siliwangi.



Kerajaan-kerajaan bagian tersebut mempunyai kuasa penuh atas daerahnya sendiri. Raja Pajajaran hanya menuntut pengakuan kekuasaan dipertuan oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Untuk membuktikan kesetiaannya itu, setahun sekali mereka diharuskan membawa kuwerabakti serta sowan ke ibukota Kerajaan Pajajaran. Kuwerabakti ini berupa barang-barang keperluan upacara keagamaan serta kebutuhan sehari-hari.

Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan memberi-kan keterangan-keterangan yang cukup jelas mengenai adanya kelompok masyarakat kerajaan Sunda sebelum Islam. Kelompok itu tidak disebutkan berdasar tata jenjang di dalam sistem birokrasi pemerintahan; pembagiannya didasarkan kepada fungsi yang dimiliki masing-masing kelompok tersebut. Oleh sebab itu, dijumpai adanya kelompok rohani dan cendekiawan, kelompok alat negara, dan kelompok ekonomi yang kemudian terbagi ke dalam beberapa golongan.

Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (=dalang) yang mengetahui berbagai lagu dan nyanyian, hempul yang mengetahui berbagai macam permainan, prepantun yang me-ngetahui berbagai macam pantun dan ceritera, marangguy yang mengetahui berbagai macam ukiran ukiran, pangoyok yang me-ngetahui berbagai macam pakaian, paratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, berahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, janggan yang mengetahui berbagai macam pertanda zaman, pandita yang mengetahui berbagai macam buku pustaka keagamaan, paraloka yang mengetahui berbagai macam tingkah para dewa, juru basa darmamurcaya yang mengetahui berbagai macam bahasa yang diketahui orang pada masa tersebut (=juru bahasa), dan barat katiga peramal cuaca?. Disamping itu, ada kelompok yang sama sekali tidak jelas identitasnya, seperti belamati, juru moha. Semua kelompok masyarakat yang disebutkan itu, di dalam melaksanakan dharma atau tugas masing-masing sesuai dengan fungsinya, disebut ngawakan tapa di nagara (=melaksanakan tapa di tengah negara).

Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi antara lain pangalasan (=orang utas), juru lukis (=pelukis), pande dang (=pandai tembaga, pembuat perabot dari tembaga), pande mas (pandai mas), pande glang (=pandai gelang), pande wesi (=pandai besi), guru wida(ng) medu wayang (=pembuat wayang), kumbang gending (=penabuh gamelan, pembuat gamelan?), tapukan (=penari), banyolan (=pelawak), pahuma (=peladang), panyadap (=penyadap), panyawah (=penyawah), panyapu (=penyapu), pamanah (pemanah), pangulang desa calagara (=pemungut pajak di pelabuhan), rare angon (=penggembala), pacelengan (=peternak babi), pakotokan (=peternak ayam), palika (=nelayan, penangkap ikan), pretolom (=penyelam), pahuwang (=pawang, pelaut), harop catra (=juru masak). Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara ialah mantri (=menteri), bayangkara (=penjaga keamanan), prajurit (=prajurit, tentara), pam(a)rang (=pemerang, tentara), nu nangganan (=nama jabatan di bawah mangkubumi). Kepala prajurit disebut hulu jurit.

Yang tidak kurang menariknya ialah keterangan yang menyatakan bahwa di kerajaan Sunda juga sudah terdapat orang-orang yang memperoleh penghasilan dengan jalan yang tidak disukai masyarakat umumnya. Pekerjaan itu ialah antara lain meor (=?), ngodok (=merogo, mencopet?), nyepet (=mencopet?), ngarebut (=merebut), ngarogoh (=merogoh saku), papanjingan (=memasuki (rumah orang, mencuri), maling (=mencuri), dan ngabegal (=membegal). Pekerjaan seperti itu termasuk cekap carup, sesuatu yang pantang diturut, dan hal-hal seperti itu disebut sebagai guru nista, yaitu hal-hal yang dianggap sangat nista atau hina.

Ibukota Kerajaan Sunda/Pajajaran ini disebut dengan nama Pakwan atau menurut berita dari Barros -- seorang pelaut Portugis -- dengan nama Daio/ Dayo (Djajadiningrat, 1983: 84). Kota Pakwan/Pakuan ini terletak kira-kira di daerah Bogor sekarang. Agama yang dianut oleh raja dan rakyat Pajajaran adalah agama Hindu-Budha. Dan untuk penyembahan terhadap dewa-dewanya, mereka banyak mendirikan kuil dan biara. Di antaranya ada biara yang dikhususkan untuk menampung wanita- wanita yang ditinggal mati suaminya -- tetapi tidak mau dibakar bersama jenazah suaminya, dan ada juga biara untuk wanita tua yang belum mendapatkan suami (Djajadiningrat, 1983:84).

Bandar-bandar kerajaan Sunda, oleh Tome Pires, inspektur pajak Portugis di Malaka yang ikut dalam ekspedisi ke Pulau Jawa (1512 - 1515) digambarkan sebagai berikut:

1) Banten, merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sebuah sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang Kapten (=Syahbandar?), sedangkan wilayah niaganya mencapai Sumatra dan bahkan kepulauan Maladewa. Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan besar dan merupakan pula bandar untuk beras, bahan makanan, dan lada.

2) Pondang (Pontang?), merupakan sebuah kota yang besar, tetapi pelabuhannya tidak sepenting Banten. Jalur niaga dan barang- barang yang diperdagangkannya sama dengan Banten.

3) Cheguide (Cikande?), juga sebuah kota besar. Perniagaan dari bandar ini dilakukan dengan Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, dan lain-lain. Barang dagangannya sama dengan Banten dan Pondang.

4) Tangaram (Tangerang), yang merupakan kota besar, barang dagangannya juga sama dengan bandar-bandar yang disebutkan terdahulu.

5) Calapa (atau Xacatra = Jakarta, merurut Joao de Barros), merupakan sebuah kota yang sangat besar, serta terbaik. Hubungan niaganya juga lebih luas, antara lain dengan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura. Pelabuhan ini letaknya kira-kira dua hari perjalanan dari ibukota kerajaan Pajajaran, yang disebut Dayo (=dayoh, kota), tempat raja bersemayam. Para pedagang dari seluruh kerajaan (Pajajaran) selalu berdatangan ke Kalapa. Pelabuhan ini diperintah secara teratur, lengkap dengan hakim dan klerek. Raja mengeluarkan peraturan tertulis untuk setiap pelanggaran yang dilakukan penduduk setempat.

6) Chi Manuk/ Chemano (Cimanuk), merupakan bandar kerajaan Sunda yang paling timur, sekaligus sebagai batas kerajaan. Walaupun bandar itu dikatakan sebagai bandar yang besar dan cukup ramai, tetapi jung tidak dapat merapat. Di Cimanuk, sudah banyak berdiam orang-orang yang beragama Islam, walaupun syahbandarnya sendiri beragama Sunda (Cortessao, 1944: 166-173).

Di samping memiliki bandar pelabuhan yang cukup ramai, seperti yang disebutkan di atas, kerajaan Sunda juga memiliki jalan lalulintas darat yang cukup penting, yang sedemikian jauh sedikit sekali diketahui oleh para pedagang asing di masa yang lebih kemudian. Jalan darat itu, ada dua jurusan yang semuanya berpusat di Pakuan Pajajaran; satu menuju ke arah timur, dan yang lainnya menuju ke arah barat.

Jalan yang menuju ke timur, menghubungkan Pakuan dengan Karangsambung yang terletak di tepi Cimanuk -- batas kerajaan di sebelah timur -- melalui Cilongsi dan Cibarusa, lalu dari sana, membelok ke arah utara sampai di Karang, di tepi Citarum (desa Tanjungpura). Dari Tanjungpura, ada sambungannya melalui Cikao dan Purwakarta, kemudian berakhir di Karangsambung (Dam, 1957: 299). Barangkali dari Karangsambung jalan itu masih ada terusannya ke arah timur dan selatan. Yang ke timur sampai Cirebon, lalu berbelok ke selatan lewat Kuningan, dan akhirnya sampai di Galuh dan Kawali. Sedangkan jalan satunya lagi, dari Karangsambung ke arah selatan, melalui Sindangkasih dan Talaga sampai di Galuh dan Kawali. Jalan lainnya yang menuju ke barat, bermula dari Pakuan Pajajaran melalui Jasinga dan Rangkasbitung, menuju Banten Girang (girang = hulu)[6] dan berakhir di Banten yang merupakan bandar kerajaan Sunda yang paling barat. Jalan darat lainnya dari Pakuan Pajajaran menuju Ciampea dan Rumpin, berakhir di situ, karena perjalanan selanjutnya dilakukan dengan melalui sungai Cisadane, -- yang memang cukup baik alirannya sejak muara Cianten -- menuju ke Pontang, Cikande dan Tangerang (Dam, 1957: 297). Melalui jalan-jalan darat dan sungai itulah hasil bumi kerajaan Pajajaran diangkut, dan melalui jalan yang sama itu pula keperluan penduduk di pedalaman dikirimkan.

Untuk ke Kalapa, dipakai jalur sungai Ciliwung yang dapat dilayari dari Pakuan dalam waktu dua hari. Karena itulah Pelabuhan Kalapa dapat dianggap gerbang masuk ke Pakuan (Ayathrohaedi, 1979: 336).

Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun[7] dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Ambary, 1982: 2). Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari (Ayathrohaedi, 1976 : 37), disamping masih ada jalan darat yang melalui Klapadua (Djajadiningrat, 1983 : 124).

Pada waktu Tome Pires mengunjungi Banten pada tahun 1513, Banten merupakan pelabuhan yang belum begitu berarti, tetapi sudah disebutkan sebagai pelabuhan kedua terbesar dari kerajaan Sunda setelah Kalapa. Hubungan dagang telah banyak dilakukan antara Banten dengan Sumatra, dan juga Maladewa. Pada waktu itu, Banten sudah merupakan pelabuhan pengekspor beras, bahan makanan dan lada (Cortessao, 1941: 168-169; Melink - Roeslofsz, 1962: 124). Sedangkan sekitar tahun 1522 Banten sudah merupakan pelabuhan yang cukup berarti, yang setiap tahunnya kerajaan Sunda mengekspor 1000 bahar lada melalui pelabuhan Banten dan Kalapa (Chijs, 1881: 4).

Ketika kerajaan Islam berdiri, pusat kekuasaan di wilayah ini, yang semula berkedudukan di Banten Girang, dipindahkan ke kota Surosowan, di Banten Lama dekat pantai. Dari sudut politik dan ekonomi, pemindahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Utara Jawa dengan pesisir Sumatra, melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia. Situasi ini berkaitan dengan kondisi politik Asia Tenggara masa itu, dimana Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang segan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda.

Secara arkeologis, rangkaian perubahan-perubahan kultural di Banten ketika masa pra-kesultanan ditandai oleh artefakta Sunda yang Hindu-Budhistik. Miksic (1989: 6) menyatakan bahwa ketika perubahan tersebut menyentuh tataran sosialisasi Islam, maka terhadap perubahan ikutan unsur kultural yang berasal dari pengaruh Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta panggantian simbol-simbol keagamaan Hindu-Budha dengan Islam. Selanjutnya John N. Miksic menganjurkan agar dikembangkan kajian terhadap himpunan gerabah yang berasal dari masa Hindu Pajajaran.



BAB III

PROSES ISLAMISASI DI BANTEN



A. MASUKNYA ISLAM KE BANTEN

Islam adalah agama yang mula-mula tumbuh di jazirah Arab, tepatnya di kota Mekkah. Disampaikan oleh seorang rasul yang bernama Muhammad yang lahir pada tahun 570 M. Pokok ajaran agama Islam adalah Tauhid, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang ada di dunia ini; oleh karenanya manusia hendaknya hanya tunduk kepada Yang Menciptakannya saja, tidak kepada yang lain. Sang Pencipta ini bernama Allah, yakni Tuhan yang Maha Satu, Pencipta seluruh alam semesta, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Hanya kepada-Nya sajalah manusia menyembah dan mengabdikan diri, serta menuruti segala perintah dan larangan-Nya; dan hanya dengan jalan itulah kehidupan manusia akan damai dan bahagia. Sebagai petunjuk dan bimbingan hidup manusia di dunia ini, Allah menurunkan al-Qur'an -- yakni kitab yang berisi segala perintah, larangan dan petunjuk bagi kehidupan manusia -- kepada rasul (nabi, utusan)-Nya, yaitu Muhammad bin Abdullah. Islam, mengajarkan bahwa manusia berasal dari satu keturunan, sehingga semuanya mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, semuanya harus saling tolong-menolong untuk bersama-sama mendapat keridaan Allah.

Semula, agama ini hanya dipeluk oleh sekelompok kecil saja bahkan karena tekanan-tekanan dari pembesar negeri, Muhammad dan pengikutnya dua kali pindah atau hijrah; yaitu pada tahun 615 M hijrah ke Abesinia dipimpin oleh Ja'far ibn Abi Thalib, dan sekitar tahun 622 M hijrah ke Yatsrib (Madinah sekarang). Tapi tidak lama kemudian yakni pada tahun 630 M, kota Mekkah dapat dikuasainya bahkan seluruh jazirah Arab bernaung di bawah bendera Islam. Muhammad wafat pada tahun 632 M.; kemudian digantikan -- sebagai khalifah (pemimpin negara) -- oleh Abubakar Siddiq, selanjutnya Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.

Pada masa kekhalifahan Abubakar dan Umar, terjadilah perluasan daerah kekuasaan negara Islam. Damsyik dikuasai pada tahun 629, Syam dan Irak pada tahun 637, Mesir terus sampai ke Maroko pada tahun 645. Demikian juga Parsi (646), Samarkand (680), dan seluruh Andalusia (719). Sehingga pada tahun 732, kekuasaan negara Islam telah membentang dari teluk Biskaya di sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India di sebelah timur (Paradisastra, 1981: 8 - 9).

Sejalan dengan perkembangan daerah kekuasaan negara Islam, perdagangan dan kegiatan ekonomi lainnya pun maju dengan pesat. Kapal-kapal dagang Islam dari bangsa Arab dan Turki telah biasa berniaga ke Afrika Utara, India, Malaka sampai Cina dan Eropa. Sehingga dikatakan bahwa pada abad IX tidak ada kapal bangsa asing lain yang ada di jalur yang menghubungkan Eropa dan Cina selain pedagang yang beragama Islam (Salim, 1962: 10). Pedagang-pedagang muslim inilah yang membawa barang dagangan dari daerah timur (Asia) ke barat (Eropa).

Disebutkan bahwa jalur pelayaran ke timur adalah sebagai berikut: Sesudah menyusuri pantai Semenanjung India sampai ke Quilon di Malabar, kemudian terus ke Ceylon. Dari sana terus ke ujung Sumatra (Aceh) dan dengan melalui Selat Malaka sampailah ke Palembang. Selanjutnya menyusuri pantai utara pulau Sumatra, kembali lagi dengan melalui jalur yang sama sampai di Kamboja. Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri pantai Cochin (Cina) sampai di pesisir negeri Cina. Setelah keadaan angin baik, mereka kembali ke negerinya dengan melalui rute yang sama (Salim, 1962 : 10 - 13).

Di samping berdagang, mereka pun aktif menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri yang mereka singgahi; sebab menurut ajaran Islam, menyebarkan agama merupakan kewajiban setiap pemeluknya sebagaimana juga menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Dengan cara demikian maka pada abad ke-7, sudah banyak penduduk negeri Cina yang beragama Islam (Bukhari, 1971: 10). Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Masjid Chee Lin Se dan Masjid Kwang Tah Se di Kanton pada masa Dinasti Tang (618 - 905 M) (Tien Ying Ma, 1979: 29).

Demikian pula dengan kepulauan Nusantara. Diper-kirakan, pada abad ke-7 dan ke-8 M (abad pertama Hijriah), pedagang-pedagang Muslim telah singgah di nusantara, sehingga agama Islam sudah banyak dikenal dan dianut oleh beberapa penduduk pribumi di nusantara (Tjandrasasmita, 1981: 362). Banyak sudah bukti sejarah yang diperoleh para ahli tentang masuknya ajaran agama Islam di nusantara ini (Ambary, 1981: 522). Bahkan pada tahun 840, umat Islam di Peureulak (Aceh) sudah dapat mendirikan satu negara bercorak Islam dengan Sayid Maulana sebagai raja pertamanya (Toynbee, 1981: 324). Demikian juga, sejak masa Sriwijaya, Kediri, Daha, Janggala dan Majapahit, sudah ada kelompok-kelompok umat Islam (perkampungan muslim), terutama di daerah pesisir (Ambary, 1981: 552) [1].

Sejarah telah mencatat, bahwa hubungan nusantara, terutama Sumatra, dengan tanah Arab telah berlangsung lama sejak zaman sebelum Islam. Para pedagang Arab mencari rempah-rempah, yang waktu itu hanya dijumpai di Sumatra, yaitu berupa kemenyan (styrax sumatrana) dan kapur barus (dryobalanops aromatica) ─ sehingga dalam khazanah bahasa Arab pun dikenal kata "barus" sebagai nama kapur-barus. Dengan keadaan ini, tidaklah mengherankan, apabila kronik Cina Hsin Tang Shu (Sejarah Dinasti Tang) mencatat bahwa pada tahun 674 M. sudah ada pemukiman pedagang Arab dan Cina muslim di Sriwijaya; Palembang dan Kedah. Keadaan di atas, juga berkaitan dengan adanya aktifitas perdagangan dan pelayaran yang meningkat antara Dinasti Umayyah (660-749 M.), Dinasti T'ang (618-905 M.) dan Dinasti Sriwijaya (abad ke-7 s.d 14 M.) (Tjandrasasmita, 1975: 85-86).

Dengan melihat eratnya hubungan perdagangan antara Arab, Cina, India dan kepulauan Nusantara, dan, ditunjang dengan keaktifan penyebaran agama Islam oleh pedagang muslim ini kepada penduduk pribumi, maka Thomas W. Arnold (1979: 209) menyatakan bahwa agama Islam datang di Nusantara dibawa oleh para pedagang Arab yang muslim pada permulaan tahun Hijriah.

Di Pulau Jawa, bukti tentang adanya masyarakat Islam baru ditemui pada abad ke-11 M. Sebuah batu nisan bertuliskan huruf Arab Kufi ditemukan di Leran, dekat Gresik, Jawa Timur. Batu ini menerangkan tentang wafatnya seorang muslimah yang bernama Fathimah binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijriah, bertepatan dengan 2 Desember 1082 Masehi (Salam, 1977: 5). Bahkan dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh ditulis abad ke-12 M, sudah ditemukan beberapa istilah Arab. Hal ini menunjukkan bahwa istilah-istilah Arab itu sudah diserap menjadi bahasa negeri (Kurnia, 1980).

Banten, ─ yang berada di jalur pelayaran internasional ─ diperkirakan pada abad pertama Masehi sudah dikunjungi oleh bangsa lain: India, Cina dan Eropa. Dan bahkan pada abad ke-7 menjadi pelabuhan ramai yang dikunjungi oleh pedagang-pedagang internasional, ─ seiring dengan meningkatnya volume perdagangan antara barat dan timur [2] ─ tidaklah terlepas dari keadaan di atas. Pedagang-pedagang dan, mungkin mubalig-mubalig dari Arab, Cina ataupun India dan Peureulak singgah di Banten dan mengajarkan agama Islam di sana. Walaupun belum diadakan penelitian lanjutan, besar kemungkinan, di Banten pun kegiatan penyebaran Islam ini sudah dimulai jauh sebelum abad ke-15.

Tentang keberadaan orang-orang Islam di Banten, Tome' Pires, menyebutkan bahwa di daerah Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan Cirebon, banyak dijumpai orang Islam. Ini berarti bahwa pada akhir abad ke-15 M. di wilayah kerajaan Sunda Hindu sudah ada masyarakat yang beragama Islam. Karena hubungan yang didorong oleh faktor ekonomi, maka mereka umumnya tinggal di kota pelabuhan, seperti juga di Kalapa dan Banten. Yang jelas, sewaktu Sunan Ampel Denta pertama datang ke Banten, sudah didapatinya banyak penduduk yang beragama Islam walaupun Bupatinya masih beragama Hindu. Bahkan di Banten sudah berdiri satu masjid di Pecinan, yang kemudian diperbaiki oleh Syarif Hidayatullah (Purwaka, 20).

Dalam Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa Syarif Hidayat beserta 98 orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, banyaklah yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah ini. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.

Karena tertarik akan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari pernikahan ini Syarif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberinya nama Ratu Winaon dan Hasanuddin [3] (Djajadiningrat, 1983:161). Tidak lama kemu-dian, karena panggilan uwaknya, Cakrabuana, Syarif Hidayat berangkat ke Cirebon. Di sana ia diangkat menjadi Tumenggung yang memerintah daerah Cirebon, menggantikan uwaknya yang sudah tua. Sedangkan tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Hasanuddin.

Dengan ketekunan dan kesungguhan serta kelembutan hatinya, usaha Hasanuddin ini membuahkan hasil yang menakjubkan. Diceritakan bahwa di antara yang memeluk agama Islam adalah 800 orang pertapa/ resi dengan sebagian besar pengikutnya (Toynbee, 1981: 335) [4]. Sehingga di Banten telah terbentuk satu masyarakat Islam di antara penduduk pribumi yang masih memeluk ajaran nenek moyang.



B. PROSES BANTEN MENJADI KERAJAAN BERCORAK ISLAM

Rempah-rempah merupakan barang yang sangat dibu-tuhkan orang Eropa untuk dijadikan bumbu, campuran minuman dan obat-obatan. Rempah-rempah itu mula-mula sampai di pasaran Eropa melalui pedagang-pedagang Arab di Timur Tengah. Pedagang-pedagang Portugis, Spanyol dan Belanda merupakan pedagang perantara dalam perdagangan rempah-rempah itu. Mereka membeli rempah-rempah itu di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah, yang kemudian mereka pasarkan di Eropa Barat.

Tapi setelah Constantinopel, ibukota Kerajaan Romawi Timur, jatuh ke tangan Kesultanan Turki Usmani pada tanggal 29 Mei 1453, terjadilah perubahan besar. Paus, pemimpin keagamaan Kristen Katolik, yang berpusat di Vatikan, Roma, mengumumkan "perang suci" dengan umat Islam, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib (Soeroto, 1965: 59-76). Dalam keadaan perang ini dimintakan supaya seluruh umat Katolik membantu tentara yang sedang berperang mengusir tentara Islam di Eropa. Demikian juga dalam bidang perdagangan, mereka dilarang berhubungan dengan umat Islam kecuali dengan tujuan menghancurkan kekuatan Islam. Mengindahkan seruan Paus ini, para pedagang dari Portugis, Spanyol dan negeri Eropa lainnya, memutuskan hubungan perniagaan mereka dengan para pedagang muslim, sehingga mereka tidak lagi membeli rempah-rempah dari orang Islam. Akibatnya, harga rempah-rempah di Eropa menjadi sangat mahal karena memang sukar didapat. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk menemukan tempat di mana rempah-rempah itu ditanam.

Dengan memperalat Mualim Ibn Majid, seorang ilmuwan muslim dalam bidang kelautan, akhirnya bangsa Portugis berlayar sampai di Calikut, India, pada tahun 1498 M di bawah pimpinan Vasco da Gama (Tjandrasasmita, 1975: 5-7). Berawal dari sinilah bangsa Asia dikenalkan dengan praktek kolonialisme barat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Dalam ekspedisi selanjutnya, beberapa pelabuhan penting di pantai India dikuasai Portugis. Dan untuk melebarkan kekuasaannya dibangun benteng yang kuat di Goa, pesisir barat India. Dari kota pelabuhan Goa inilah Portugis selanjutnya meluaskan daerah jajahannya ke arah barat dengan memerangi Turki dan ke arah timur dengan menduduki daerah-daerah di Nusantara.

Pada tanggal 5 Agustus 1511 pasukan Portugis dapat merebut Malaka dari kekuasaan Sultan Malaka, Makhmudsyah. Disusul dengan penaklukan Samudra Pasai pada tahun 1521, dan pada akhirnya Maluku pun dapat didudukinya. Semua tindakan itu mereka lakukan demi untuk kekuasaan, kekayaan dan tugas sucinya dalam menghancurkan umat Islam di mana pun berada. Tujuan dagang mereka telah dicampuri dengan maksud dan tujuan lain, yaitu penguasaan di segala sektor kehidupan masyarakat, dan juga pelampiasan rasa dendam pada umat Islam, sehingga di samping berdagang mereka pun memperdaya, merampas dan akhirnya menjajah, termasuk pemaksaan agama kepada rakyat yang dikuasainya (Suminto, 1985:13).

Dengan menguasai Malaka, Portugis mengharapkan dapat memonopoli semua perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. Dengan cara monopoli ini, mereka menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mematikan bangsa lain.

Sikap dan tingkah-laku bangsa Portugis di Malaka yang memaksakan monopoli perdagangan dan bahkan cenderung selalu memusuhi pedagang-pedagang yang beragama Islam tadi menimbulkan rasa benci dan permusuhan; padahal pada umumnya, pedagang di Asia Tenggara beragama Islam. Karena sikap Portugis yang tidak bersahabat itu, maka para pedagang muslim tadi segan dan tidak singgah di bandar Malaka. Bahkan, banyak pedagang muslim yang tinggal di Malaka pindah ke Aceh, Banten, Cirebon dan Demak. Sikap angkuh bangsa Portugis ini pula yang menyebabkan akhirnya kapal-kapal dagang Arab, Parsi, Cina dan bangsa lainnya tidak sudi melewati Selat Malaka.

Memang di Malaka, Portugis membuat peraturan baru yang dianggap kurang adil, sehingga terjadilah keadaan sebagai berikut:

1) Pedagang-pedagang dari kepulauan Nusantara harus menjual dagangannya hanya kepada orang Portugis. Demikian juga bagi bangsa lain yang akan membeli rempah-rempah harus melalui orang Portugis dengan harga yang sudah ditentukan.

2) Perlakuan orang Portugis yang kasar dan bahkan mempersulit dengan bea-bea tinggi, terutama bagi pedagang yang beragama Islam.

Keadaan dan situasi yang tidak menguntungkan itu, akhirnya mendorong para pedagang dari India, Parsi, Arab, Cina dan bangsa lainnya, walaupun melalui jalan yang sulit, dapat berhubungan langsung dengan pelabuhan-pelabuhan di kepulauan Nusantara melalui Selat Sunda. Hal ini menye-babkan jalur pelayaran niaga beralih dari Selat Malaka. Mereka tidak menyinggahi Malaka tetapi menyusur pantai utara Sumatra terus membelok ke Aceh Barat, Barus, Singkel, Padang Pariaman dan Salida, kemudian terus ke pelabuhan Banten. Dari pelabuhan inilah barang-barang perniagaan yang ke dan dari kepulauan Nusantara didistribusikan. Dengan perubahan jalur perniagaan laut di Asia Tenggara ini, kedudukan pelabuhan Banten menjadi begitu penting, sehingga menjadi ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing dan dari kepulauan nusantara



1. Perluasan Pengaruh Islam Di Banten

Sejalan dengan perkembangan pelabuhan Banten, maka semakin banyak orang-orang Islam yang berkunjung dan menetap di kota pelabuhan ini, sehingga lama kelamaan Banten menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Untuk penyebaran agama Islam kepada penduduk pribumi Banten, peran Hasanuddin beserta pengikut-pengikutnya sangat menentukan. Dengan kehalusan akhlak dan ketinggian ilmu keislamannya, Hasanuddin mendapat sambutan baik, yang akhirnya beberapa pembesar negri dan bahkan 800 ajar beserta pengikutnya memeluk Islam. Dalam pada itu, di wilayah timur, pusat pengembangan agama Islam didorong oleh kerajaan Demak. Trenggono, raja Demak ke-3 pengganti Dipati Unus, bercita-cita meluaskan pengaruh Islam ke seluruh Pulau Jawa ─ yang berarti juga perluasan hegemoni Demak.

Melihat perkembangan kekuatan Islam di barat dan timur yang cukup pesat ini, menimbulkan kekhawatiran raja Pajajaran kalau-kalau agama Hindu ─ yang menjadi agama negara ─ akan makin terdesak, dan Pajajaran akan kehilangan kewibawaannya di daerah pantai.

Untuk menanggulangi bahaya ini maka raja Pajajaran mengambil kebijaksanaan, antara lain:

Pertama, membatasi pedagang-pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Pajajaran.

Kedua, mengadakan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan kuasa Portugis yang berkedudukan di Malaka, dengan maksud agar Portugis dapat membantu Pajajaran kalau diserang Demak.



Dalam pada itu, sampai tahun 1521 yang berkuasa di Pajajaran adalah Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata atau disebut juga Prabu Silihwangi. Untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan orang Portugis di Malaka itu raja mengutus putra mahkota, Ratu Sangiang atau Surawisesa [5].

Ajakan kerja sama di bidang militer ini sudah tentu diterima baik oleh Jorge d'Albuquerque, penguasa tertinggi Portugis di Malaka, yang memang berkeinginan menguasai kerajaan Pajajaran yang kaya dengan lada. Bahkan maksud yang lebih jauh lagi yaitu untuk menghancurkan dan menguasai kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Jawa.

Pada tanggal 21 Agustus 1522, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka menandatangani perjanjian persahabatan dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga, yang isinya antara lain:

1) Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kalapa.

2) Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang-barang kebutuhan Pajajaran.

3) Portugis bersedia akan membantu Pajajaran apabila diserang tentara Demak atau yang lainnya.

4) Sebagai tanda persahabatan, raja Pajajaran menghadiahkan 1000 karung (1000 x 10600 caxas Jawa = 160 bahar = 351 sentenar) lada setiap tahun kepada Portugis.

Untuk memperingati dan sebagai tanda adanya perjanjian tersebut, dibuatlah tugu batu di pinggir kiri muara sungai Ciliwung.

Tindakan raja Pajajaran ini bukannya menyelesaikan masalah, melainkan membuat situasi semakin tidak menentu. Rakyat kerajaan Pajajaran, yang sudah banyak beragama Islam, menyambut perjanjian persahabatan Portugis ini dengan ketidakpuasan. "Pamor" raja di mata rakyat semakin menurun. Beberapa daerah pesisir berusaha pula melepaskan diri dari pengawasan Pajajaran. Terjadilah perlawanan rakyat yang antara lain dipimpin oleh Hasanuddin yang menentang perjanjian itu.

Dalam pada itu, mendengar perjanjian persahabatan antara Pajajaran dengan Portugis ini, yang salah satunya ditujukan langsung kepada Demak, Trenggono, raja Demak, menjadi marah. Karena itu ia berusaha untuk menghancurkan kekuasaan Portugis di Nusantara, berikut Pajajaran yang berani mengadakan perjanjian dengan bangsa asing yang dibencinya. Peristiwa inilah, salah satunya, yang menjadi momentum perluasan pengaruh Islam ke wilayah Jawa Barat.

Kemarahan raja Demak kepada Pajajaran ini dapat dimaklumi, karena perjanjian itu diadakan tidak lama setelah kegagalan Demak, secara beruntun, dalam usahanya mengusir bangsa Portugis di Malaka. Demak berusaha menghancurkan kekuasaan Portugis di Malaka, tapi di lain pihak Pajajaran mengadakan perjanjian persahabatan [6]. Masuknya Portugis ke Pulau Jawa akan berakibat fatal bagi kemerdekaan nusantara secara keseluruhan. Dalam kondisi dan situasi psikologis kekalahan yang masih membekas di kalangan para pemimpin Demak ini, maka kerjasama militer Pajajaran dengan Portugis itu dianggap sebagai serangan balasan terhadap Demak, dan karenanya merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup kerajaan Demak. Dari aspek ekonomi, penguasaan Portugis atas jalur pelayaran ke Selat Malaka, dapat mematikan sumber ekonomi Demak ─ karena di Malaka, hasil bumi Demak dipasarkan untuk nanti ditukarkan dengan barang kebutuhan rakyat. Di samping itu, pembatasan pedagang muslim di kota-kota pelabuhan Pajajaran, menimbulkan rasa permusuhan antara dua kerajaan bertetangga yang berlainan pandangan hidup tersebut. Peristiwa inilah yang mendorong makin besarnya hasrat Trenggono untuk segera menguasai Pajajaran. Atas pertimbangan-pertimbangan ini, Trenggono menugaskan Fatahillah, saudara ipar dan juga panglima perang Demak, bersama dengan 2000 pasukan pilihan untuk segera menyerang Pajajaran.

Sebelum mengadakan penyerbuan ke Pajajaran, pasukan Demak yang dipimpin Fatahillah, dengan menggunakan kapal-kapal besar berangkat ke Cirebon untuk mendengar nasehat Syarif Hidayatullah (Djajadiningrat, 1983:87). Dari Cirebon inilah direncanakan strategi penyerangan. Sesuai dengan saran Syarif Hidayatullah, pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati Keling dan Dipati Cangkuang berangkat ke Banten (Purwaka, tt: 23). Dan tanpa mengalami banyak kesulitan yang berarti, pasukan gabungan ini dapat menguasai Banten pada tahun 1525 (Djajadiningrat, 1983: 125). Hal ini bukan saja karena kuatnya pasukan gabungan Demak-Cirebon, tapi juga berkat bantuan dari pasukan pribumi yang dipimpin oleh Hasanuddin. Selanjutnya, untuk pemantapan keamanan di daerah yang baru dikuasai ini maka diangkatlah Hasanuddin menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang. Sesuai dengan penetapan Syarif Hidayatullah, pusat pemerintahan di Banten Girang ini kemudian dipindahkan ke dekat pelabuhan yang kemudian disebutnya Surosowan. Pemindahan ibukota Banten ini terjadi pada tahun 1526 (Djajadiningrat, 1983: 123-124).

Setahun kemudian, yakni tahun 1527 terdengar berita bahwa pasukan Portugis dengan enam buah kapal besar dan persenjataan lengkap telah meninggalkan Malaka dengan tujuan Sunda Kalapa. Mendengar berita ini, Fatahillah dan Hasanuddin mengumpulkan para senapati untuk merun-dingkan tindakan selanjutnya; dan diputuskan untuk segera menguasai Sunda Kalapa. Maka disiapkanlah pasukan gabungan Demak, Cirebon dan Banten untuk berangkat ke Sunda Kelapa melalui jalan darat dan laut. Penyerbuan ini dipimpin oleh Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati Keling dan Dipati Cangkuang dengan tentara berkekuatan 1452 orang (Purwaka, tt: 23). Dengan bantuan penduduk setempat, yang memang sudah banyak beragama Islam, maka dengan mudah Sunda Kelapa dapat dikalahkan pada tahun 1527. Atas persetujuan Sultan Demak dan Syarif Hidayatullah, maka Fatahillah diangkat menjadi Adipati di Sunda Kelapa. Dan untuk menyatakan rasa syukur atas kemenangan ini, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta yang artinya "kota yang menang".

Tidak lama kemudian, armada Portugis dari Malaka yang dipimpin oleh Francisco de Sa sampai di bandar Sunda Kelapa dengan maksud semula untuk membangun benteng, sesuai dengan perjanjian tahun 1522. Pasukan Portugis ini terdiri dari dua buah galyun, sebuah gale, sebuah galeota, sebuah caravella dan sebuah brigantin dengan persenjataan lengkap berupa meriam-meriam besar dan senjata api lainnya (Djajadiningrat, 1983:80). Mereka tidak mengetahui bahwa Sunda Kelapa sudah dikuasai tentara Islam. Tentu saja maksud Portugis itu ditolak Fatahillah. Hal ini membuat Francisco de Sa marah dan mengancam hendak meng-hancurkan Sunda Kelapa. Maka terjadilah perang terbuka di pelabuhan Sunda Kelapa. Tentara Portugis mendapat perlawanan hebat dari tentara Islam yang dipimpin oleh Pangeran Cirebon, sehingga mereka semuanya kembali ke kapal dan meminta bantuan dari kapal-kapal perang mereka yang masih menunggu di lepas pantai. Akhirnya, karena didorong semangat jihad, pasukan Islam dapat mengusir Portugis dari perairan Jayakarta. Diceritakan pula, bahwa sebelum pasukan Portugis itu sampai di Teluk Jakarta, di tengah perjalanan terjadi angin ribut, sehingga sebuah kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho terpisah dari kapal yang lain dan kandas di pelabuhan Banten. Kapal Portugis ini pun dapat dikuasai prajurit Banten, sehingga banyak tentaranya terbunuh (Djajadiningrat, 1983: 81-82).

Setelah berhasil mengamankan Sunda Kalapa dari ancaman Portugis, Hasanuddin dan Fatahillah bekerja sama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hasanuddin bertanggung jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan kamasyarakatan, sedangkan Fatahillah menangani bidang keamanan dan pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar dengan pesat dan keamanan negara terjamin. Kedua penguasa wilayah ini memerintah atas nama Sultan Demak (Hamka, 1976:178).

Penguasaan Banten dan Sunda Kalapa ini mempunyai arti yang sangat penting bagi kerajaan Demak, karena antara lain:

1) Dengan dikuasainya Banten dan Sunda Kalapa, akan memudahkan pengembangan pengaruh Islam ke Pajajaran di kemudian hari.

2) Banten dapat dijadikan tempat yang strategis bagi perluasan wilayah Demak ke pantai selatan Sumatra, Lampung dan Palembang yang kaya akan cengkeh dan lada.

3) Dengan dikuasainya pantai utara Jawa Barat yaitu Banten, Sunda Kalapa dan Cirebon, maka kekhawatiran Demak atas pengaruh Portugis di Pulau Jawa dapat diatasi.

4) Banten juga dapat dijadikan pusat penyebaran agama Islam untuk masyarakat Jawa Barat dan sebagian Sumatra Selatan yang masih animis.

Melihat perkembangan kemajuan daerah Banten yang pesat, maka pada tahun 1552 Kadipaten Banten ditingkatkan statusnya menjadi Kerajaan di bawah pengawasan Demak, dengan Hasanuddin sebagai raja Banten pertamanya. Sedangkan Fatahillah pada tahun yang sama (1552) diangkat menjadi penguasa di Cirebon mewakili Syarif Hidayatullah, karena Pangeran Pasarean yang memerintah sebelumnya telah meninggal pada tahun 1552 itu. Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus Angke, menantu Hasanuddin (Purwaka, tt: 27).



2. Berdiri Kota Banten Tanggal 8 Oktober 1526

Tentang tarikh berdirinya Kasultanan Banten di Surosowan ini dituliskan sebagai berikut:

"Inkang kalang Banten nagari sedengnyan haro hara ikang nunaya jeng sisa Sabakingkin anak ira susuhunan Jatipurba lawan pra saparisharanya teka wong muslim prasiya sira, wiweha kahanan ika wadya Demak lan Charbon teka ta prahwa nira mandeg ing labuhan Banten nagari, irika tang ayuddha mwang anggepuk wadya bala Budha-Prawa. Bopatya Banten nagari lawan saparicharyanya lumayu menjing wanantara paran ira mangidul ngetan ringkitha-gung Pakuan Pajajaran, witan ikang pramatya Banten nagari. Ri huwuws ika binu patyakna ta sira Sabakingkin Banten nagari lawan nawastwan ngaran Hasanuddin deng rama nira Susuhunan Jatipurba kang lungguh raja paditha atahwa Sang Kamastwing sarat Sunda, kang tamolah ing Puserbumi nagari ya ta Charbon, kithaya sinebut Garage (Purwaka Caruban Nagari, pupuh 162 - 168).



Terjemahan teks tersebut adalah:

(162) Pada waktu itu di Banten sedang timbul huru-hara yang di-sebabkan oleh Pangeran Sabakingkin, putera Susuhunan Jatipurba dengan para pengikutnya. (163) Orang-orang muslim dan para muridnya, bertambah-tambah dengan kedatangan angkatan bersenjata Demak dan Cirebon yang telah berlabuh di pelabuhan Banten, kemudian menyerang dan memukul (164) angkatan bersenjata Budha-prawa. Adipati Banten dan para pengikutnya melarikan diri masuk hutan belantara menuju ke arah tenggara ke kota besar Pakuan Pajajaran. (165) Setelah itu dinobatkanlah Pangeran Sabakingkin di negeri Banten dengan gelar (168) Pangeran Hasanuddin oleh ayahnya dipertuan bagi seluruh daerah Sunda, yang berpusat di Puserbumi yaitu negeri Cirebon atau Garage (Atja, 1972: 57-58).

Djajadiningrat (1983:123-124) menuliskan tentang tarikh penaklukan Banten Girang ini ada dua sangkala yang keduanya berbeda. Brasta gempung warna tunggal tidak mempunyai nilai angka selain daripada 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sangkala kedua berbunyi Ilang kari warna lan nagri; kata kari adalah suatu kesalahan penurunan naskah yang ditulis dalam pegon, karena kata ini tidak pernah ditemui dalam bahasa sangkala. Mungkin kata itu berasal dari kata kadi = kaya = 3. Sehingga seharusnya berbunyi: ilang kadi warna lan nagri, dan ini berarti angka tahun 1480 Saka atau 1558 Masehi.

Selanjutnya, dari keterangan Caeff, wakil VOC di Banten (1671), menyebutkan bahwa "Banten Lama" (dimaksudkan Banten Girang) yang letaknya sedikit di atas Clappadoa, kira-kira enam jam perjalanan kaki dari Tirtayasa ke Pontang dan tiga jam dari Banten. Sultan Ageng telah menyuruh mendirikan sebuah istana di sana, yang digunakan sebagai tempat mengungsi kaum wanita di masa perang. Kelapadua sekarang masih merupakan sebuah kampung kira-kira di barat laut Serang. Oleh karenanya, ibukota lama Banten haruslah letaknya di bagian barat atau barat daya Serang; yaitu Banten Girang (Banten Hulu). Tempat inilah yang dilaporkan Joao de Barros pada tahun 1525 Faletehan mendapat sambutan yang ramah dan selanjutnya menjadi tuan. Kemudian, masih menurut de Barros, pada tahun 1527 dari Banten yang letaknya lebih ke hilir sungai di tepi laut, Faletehan dapat menguasai Sunda Kalapa. Dari berita ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dua sangkala di atas haruslah diabaikan, karena tidaklah mungkin terjadi. Pemerintahan Banten tidak akan membiarkan "musuh" yang eksis di dekat-dekat dirinya, sementara Pinto [7], menceritakan bahwa pada tahun 1546 Tagaril mengirimkan sebagian besar tentaranya untuk membantu Demak menggempur Pasuruan. Demikian pula pemindahan ibukota dari Banten Girang ke Banten yang diceritakan Sajarah Banten, tak dapat terjadi oleh Hasanuddin. Yang demikian itu haruslah dilakukan oleh ayahnya, dan barangkali segera setelah direbutnya Banten Girang; dan yang paling memungkinkan adalah antara tahun 1525 dan 1527(Djajadiningrat, 1983: 127).

Jika penaklukan Banten Girang terjadi pada tahun 1525 M, maka pendirian Banten Pesisir (Surosowan) sesuai bukti arkeologis dengan berita asing dan Purwaka Caruban Nagari terjadi tidak lain pada tahun 1526 M. Mengenai ketepatan waktu yang berupa tanggal, meskipun tidak ada berita pasti, namun dapat dianalogikan dengan hari mulia yaitu Muharram tanggal satu sebagaimana juga gambaran menuju peperangan ke Pakuwan Pajajaran yang dilakukan pada Muharram, tahun Alip 1579 (Djajadiningrat, 1983: 145-146).

1 Syuro atau 1 Muharram adalah hari baik untuk melakukan peristiwa penting yang dipercayai oleh masyarakat pada waktu itu, maka untuk pemindahan ibukota Banten dari Banten Girang ke Surosowan (Banten pesisir) itu dimungkinkan terjadi pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah yang, menurut Tabel Wuskfeld, bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 Masehi.



3. Sekitar Syarif Hidayatullah dan Fatahillah

Untuk lebih memperluas keterangan di atas, penulis menganggap perlu, secara singkat, menguraikan riwayat tokoh Syarif Hidayatullah dan Fatahillah. Karena, kedua tokoh inilah yang memegang peran menentukan dalam kesejarahan kerajaan Banten khususnya, dan penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat.

Dalam Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang silsilah keturunan Syarif Hidayatullah, sebagai berikut:

Prabu Siliwangi raja Pakuan Pajajaran dari perkawinannya dengan Nhay Subang Larang mempunyai 3 orang anak: Raden Walangsungsang, Nhay Lara Santang dan Raden Jaka Sangara. Nhay Lara Santang, yang kemudian memeluk agama ibunya yaitu agama Islam, pergi ke Makkah bersama Raden Walangsungsang untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu agama di sana. Mereka berguru pada Syekh Abdul Jadid yang kemudian Nhay Lara Santang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah seorang raja di Mesir. Dari pernikahan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah, yang lahir dua tahun kemudian.

Setelah Syarif Hidayatullah berumur 20 tahun, dia pergi ke Makkah untuk belajar ilmu agama pada Syekh Tajmuddin al-Kubri selama dua tahun, dan kepada Syekh Athaullahi Sajali selama dua tahun pula. Syarif Hidayat tidak mau menggantikan ayahnya yang telah wafat untuk menjadi raja di Mesir, tetapi jabatan tersebut diserahkan kepada adiknya, Syarif Nurullah. Syarif Hidayat sendiri pergi ke Pulau Jawa untuk menyiarkan agama Islam. Daerah pertama yang dikunjunginya adalah Pasai dan dua tahun kemudian singgah di bandar Banten. Di sana didapati sudah banyak penduduk yang beragama Islam, hasil usaha Sayid Rakhmat atau Sunan Ampel, yang juga masih terhitung keluarga. Dari Banten, barulah Syarif Hidayat pergi ke Jawa Timur yakni ke Ngampel. Oleh Sunan Ampel, Syarif Hidayat ditetapkan sebagai da'i di Pesambangan (Sembung) bersama uwaknya Haji Abdullah Iman, nama lain dari Raden Walangsungsang. Syarif Hidayat membuat pondok di Bukit Sembung, Gunung Jati, sehingga dikenal dengan nama Maulana Jati atau Syekh Jati.

Istri dan anak Syarif Hidayat(ullah) adalah sebagai berikut:

1) Nhay Babadan seorang putri dari Ki Gedheng Babadan. Pernikahan ini tidak berlangsung lama karena Nhay Babadan meninggal dunia, tanpa dikaruniai anak.

2) Nhay Lara Bagdad atau Syarifah Bagdad, adik dari Maulana Abdurahman Bagdadi atau Pangeran Panjunan. Dari pernikahan ini dikaruniai dua orang anak: Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana.

Pangeran Jayakelana kemudian kawin dengan Ratu Pembayun putri Raden Fattah, sultan Demak pertama. Pangeran Jayakelana meninggal dunia pada usia muda, selanjutnya, Ratu Pembayun menikah dengan Fatahillah atau Fadilah Khan seorang pemuda asal Pasai.

Sedangkan Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa, adik dari Prabu Trenggono. Dalam perjalanan menuju Cirebon, Pangeran Bratakelana gugur dalam pertempuran melawan bajak laut, dan karenanya ia disebut dengan nama Pangeran Sendang Lautan atau Pangeran Gung Anom.

3) Nhay Tepasari, putri dari Ki Gedheng Tepasari dari Majapahit. Dari pernikahan ini Syarif Hidayat dikaruniai dua orang anak: Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mahmud Arifin, yang kemudian disebut Pangeran Pasarean.

Nhay Ratu Ayu kemudian menikah dengan Pangeran Muhammad Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, putra tertua Raden Fattah. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak, karena Muhammad Yunus mati muda ─ memerintah Demak selama tiga tahun saja. Nhay Ratu Ayu kemudian menikah lagi dengan Fatahillah dan dikaruniai dua orang anak: Ratu Wanawati Raras dan Pangeran Sedang Garuda. Adapun Pangeran Mahmud Arifin atau Pangeran Pasarean menikah dengan Ratu Nyawa, yaitu janda dari Pangeran Bratakelana atau Pangeran Gung Anom. Dari pernikahannya dikaruniai 6 orang anak, yaitu:

(1.) Pangeran Kesatrian, yang kemudian menikah dengan seorang putri asal Tuban.

(2.) Pangeran Losari, yang menjadi Panembahan Losari.

(3.) Pangeran Suwarga, yang kemudian menjadi Adipati di Cirebon dengan gelar Pangeran Adipati Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning. Pangeran ini kemudian menikah dengan Ratu Wanawati Raras, putri dari Fatahillah dengan Nhay Ratu Ayu.

(4.) Ratu Emas, yang kemudian menikah dengan Tubagus Banten di Banten.

(5.) Pangeran yang berkeluarga di Panjunan.

(6.) Pangeran Weruju.

4) Nhay Kawunganten, adik Adipati Banten.

Dari pernikahan ini lahirlah dua orang anak: Ratu Winaon atau Putri Wulung Ayu dan Hasanuddin atau disebut juga Pangeran Sabakingkin. Ratu Winaon kemudian menikah dengan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja Laut, yang kemungkinan nama lain dari Sunan Kalijaga.

5) Pada tahun 1478, Syarif Hidayatullah menikah dengan Nhay Pakungwati, putri uwaknya, Raden Walangsungsang dengan Nhay Indhang Geulis. Pernikahan ini tidak membuahkan keturunan, sehingga Nhay Pakungwati mengambil Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Pasarean menjadi anak angkatnya ─ karena ibunya, Nhay Tepasari, meninggal dunia sewaktu mereka masih kecil.

6) Pada tahun 1481, Syarif Hidayat menikah dengan Putri Ong Tien, seorang putri raja Cina yang datang ke Pulau Jawa dengan rombongan yang besar. Dengan putri Cina ini Syarif Hidayat beroleh seorang putra tetapi meninggal pada saat dilahirkan. Empat tahun kemudian Putri Ong Tien pun wafat.



Di Cirebon, Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Tumenggung yang menguasai daerah Cirebon dan sekitarnya, menggantikan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabhumi. Adapun tugasnya di Banten, yakni menyebarkan agama Islam diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin.

Semenjak Cirebon dikuasakan kepada Syarif Hidayatullah, Cirebon tidak pernah lagi mengirimkan kuwerabhakti atau upeti kepada Raja Pajajaran. Hal inilah yang menyebabkan Pajajaran mengirimkan enam puluh orang prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya untuk menagih upeti tersebut. Tapi akhirnya prajurit-prajurit tersebut tidak berani memerangi Cirebon, dan, bahkan semuanya memeluk agama Islam dan menjadi murid Syarif Hidayatullah yang setia.

Pada saat di Cirebon, Syarif Hidayatullah diangkat oleh para wali atau pimpinan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa untuk menjadi Penetap panatagama Rasul Saerat Sunda yang berkuasa penuh di seluruh daerah Sunda, menggantikan Syekh Nurul Jati yang sudah mangkat. Dan untuk mengkhususkan pemikirannya kepada penyebaran agama Islam, Syarif Hidayatullah pada tahun 1528 mengangkat putranya, Pangeran Pasarean, menjadi Tumenggung di Cirebon sebagai wakil dirinya. Dan setelah Pangeran Pasarean mangkat (1552), pemangku kuasa di Cirebon diserahkan kepada Fatahillah atau Pangeran Pasai, menantu Syarif Hidayatullah.

Pada tahun 1568, Syarif Hidayatullah meninggal dunia pada usia lanjut, yang kemudian dimakamkan di puncak Bukit Sembung, komplek Gunung Jati, tempat dia mengajar. Dengan meninggalnya Syarif Hidayatullah, maka Fatahillah menjadi pemegang kuasa penuh di Cirebon sampai meninggalnya pada tahun 1570. Jenazahnya dikubur di Gunung Jati, sejajar dengan makam Sunan Gunung Jati.

Sebenarnya antara Syarif Hidayatullah dan Fatahillah masih ada hubungan kekerabatan. Fatahillah atau Fadhilah Khan lahir pada tahun 1490 di Samudra Pasai. Dia adalah putra Makhdar Ibrahim dari Gujarat yang menetap di Pasai sebagai Imam Agama. Makhdar Ibrahim adalah putra dari Maulana Abdul Gafur alias Maulana Malik Ibrahim seorang putra dari Barkat Zainul Alim adik dari Ali Nurul Alim kakek Syarif Hidayatullah dan juga kakek Ibrahim Zainul Akbar (ayah Sunan Ampel). Sunan Ampel adalah guru dan mertua Raden Fatah pendiri kerajaan Demak. Jadi Jelaslah bahwa Fatahillah masih terhitung keponakan Syarif Hidayatullah dari garis ayah. Kekerabatan ini kemudian dipererat lagi dengan perkawinan. Fatahillah memperistri Nhay Ratu Ayu, putri Syarif Hidayatullah (janda Pangeran Sabrang Lor) dan juga menikah dengan Ratu Pembayun (janda Pangeran Jayakelana), putri Raden Fatah. Dengan demikian Fatahillah adalah mantu, keponakan dan murid dari Syarif Hidayatullah, juga mantu dari Raden Fatah.



BAB IV

MASA PEMERINTAHAN KESULTANAN BANTEN



A. MAULANA HASANUDDIN (1552 - 1570)

Dalam Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin, datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mula-mula mereka datang di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar yang kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin. Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin sudah dianggap cukup, Sunan Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama Islam kepada penduduk negeri.

Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan tugasnya itu, Hasanuddin bertemu kembali dengan ayahnya, yang kemudian membawanya pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah (Djajadiningrat, 1983:34).

Dalam menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan, bahwa dalam acara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak pembesar negri, dua orang ponggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo --- disebut juga Ki Jongjo --- memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.[1]

Setelah Banten dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1525, atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah, pada tanggal 1 Muharram 1526 M. atau 8 Oktober 1526 M, pusat pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman yakni di Banten Girang (3 km dari kota Serang) dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Syarif Hidayatullah pulalah yang menentukan dimana tempat dalem (istana), benteng, pasar, dan alun-alun harus dibangun. Semakin besar dan majunya daerah Banten, maka pada tahun 1552 Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan Hasanuddin sebagai rajanya, dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.



1. Konflik Bersenjata antara Banten dan Pajajaran

Masalah yang dianggap cukup penting dalam kesejarahan Banten adalah bagaimana usaha Maulana Hasanuddin dalam menjaga kestabilan politik dan keamanan negaranya. Hal ini ada kaitannya juga dengan keadaan negara tetangga, yakni Kerajaan Pajajaran, yang jaraknya tidak begitu jauh. Dari proses berdirinya Kerajaan Banten, yang secara kewilayahan sangat merugikan Pajajaran, dapatlah dipahami apabila kedua negara yang berbeda pandangan hidupnya ini saling curiga-mencurigai. Pemerintahan di Banten merasa terancam keamanannya kalau-kalau pasukan Pajajaran akan merebut kembali wilayah yang telah diduduki tentara Islam, demikian juga sebaliknya. Kecurigaan ini didukung dengan banyaknya pertempuran kecil, terutama di daerah perbatasan kedua negara, yang masih terus berlangsung sampai 5 tahun. Baru pada tahun 1531 tercapailah kesepakatan damai antara Pajajaran, Banten dan Cirebon. Perjanjian ini di tandatangani oleh Surawisesa, Fatahillah, Hasanuddin dan Cakrabuana.

Di dalam Kerajaan Pajajaran sendiri, setelah perjanjian damai antara Banten dan Pajajaran ini ditandatangi, Surawisesa, raja Pajajaran saat itu, berkesempatan untuk menumpas pemberontakan di 15 daerah kekuasaannya. Dan baru setelah 2 tahun pemberontakan ini berhasil ditumpas. Pada tahun 1535 Surawisesa meninggal dunia yang kemudian dikuburkan di Padaren. Surawisesa atau Ratu Sangiang dikenal dalam naskah babad dengan nama Guru Gantangan, sedangkan dalam pantun di sebut Mundinglaya Dikusuma. Penggantinya adalah Dewata Buana yang dikenal sebagai "raja resi", karena dia lebih banyak hidup di pertapaan dari pada memperhatikan pemerintahan negaranya.

Dalam pada itu, mungkin karena kecurigaan kepada Pajajaran, Banten menyusun pasukan khusus yang mampu bergerak cepat, tanpa membawa nama Kerajaan Banten. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Pangeran Yusuf, putra mahkota Banten, ditugaskan untuk menanggulangi kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh tentara Pajajaran atau pemberontak di perbatasan. Namun, karena alasan yang belum jelas, pasukan ini menyerang serta menguasai beberapa daerah perbatasan, bahkan akhirnya menyerang ibukota Pakuan. Hanya berkat kuatnya benteng yang dibangun Sri Baduga, pasukan penyerang tidak mampu memasuki kota. Akan tetapi dalam pertempuran ini gugur dua orang senapati tangguh yakni Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang. Gagal memasuki ibukota Pajajaran, pasukan ini mengalihkan sasaran dengan menguasai daerah Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri.

Ratu Dewata memerintah selama 8 tahun (1535 - 1543), penggantinya adalah Ratu Sakti yang memerintah secara kejam dan lalim. Banyak penduduk dihukum mati dan dirampas hartanya tanpa alasan. Raja ini dicap sebagai melanggar adat keraton kerena mengawini seorang putri larangan [2] dari keluaran [3]. yang dilarang adat secara keras. Bahkan, yang lebih parah, Ratu Sakti pun diketahui memperistri ibu tirinya sendiri. Ratu Sakti meninggal pada tahun 1551 dan digantikan oleh Sang Nilakenda atau Sang Lumahing Majaya.

Sang Nilakenda lebih banyak mementingkan hal-hal mistis. Upacara-upacara mistis ini menggunakan matra-mantra dalam ketidaksadaran (mabuk). Hal ini mendorong penghuni istana kepada ketagihan minuman keras. Pekerjaan raja hanya berfoya-foya dan menjurus ke arah kemaksiatan. Gejala demikian akhirnya menyebar ke seluruh penduduk negeri, sehingga membawa kelemahan negara, kekacauan pemerintahan dan penderitaan bagi rakyat Pajajaran. Keadaan yang tidak terkendali di Pajajaran ini dianggap berbahaya bagi keamanan penduduk Banten, di samping suatu kesempatan baik. Barangkali ini pulalah yang mendorong Maulana Hasanuddin untuk segera mengadakan serangan ke pusat pemerintahan Pajajaran. Pakuan dengan mudah dikuasai pasukan Pangeran Yusuf pada tahun 1567; walaupun Sang Nilakendra sendiri dapat meloloskan diri.

Raja Pajajaran terakhir adalah Ragamulya atau Prabu Surya Kencana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulosari, Pandeglang, sehingga disebut juga Pucuk Umun (Panembahan) Pulosari. Karena kedudukan Pulosari demikian sulit ditembus musuh, maka baru pada masa pemerintahan Maulana Yusuf --- yang merasa tidak terikat perjanjian dengan Pajajaran --- benteng Pulosari ini dapat direbut pasukan Banten dengan susah payah. Kejadian ini berlangsung pada Pajajaran sirna ing bhumi ekadaci weshakamasa sahasra limangatus punjul siji ikang sakakala (tanggal 11 suklapaksa bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Dihitung dengan penanggalan Masehi dan Hijriah akan jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 atau 11 Rabiul awal 987, hari Jum'at Legi. Pasukan Banten ini dipimpin langsung oleh Maulana Yusuf yang berangkat dari Banten pada hari Ahad tanggal 1 Muharam tahun Alif dengan sangsakala bumi rusak rekeh iki atau tahun 1501 Saka.

Dari keterangan di atas, dapatlah diketahui bahwa penyerangan Banten ke Pajajaran, sedikitnya terjadi dalam 3 gelombang besar:

Pertama, pada masa pemerintahan Ratu Dewata Buana (1535 - 1543) yang dikisahkan : "Datang na bencana musuh ganal, tambuh sangkane, prangrang di burwan ageung, pejah Tohaan Ratu Sarendet jeung Tohaan Ratu Sangiang" (Datang serangan pasukan tidak diketahui asal usulnya: perang di alun-alun, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang).

Kedua, pada pemerintahan Nilakendra (1551 - 1567) yang dikisahkan: "Alah prengrang mangka tan nitih ring kadat-wan" (Kalah perang, karena itu tidak tinggal di keraton).

Ketiga, pada masa pemerintahan Ragamulya (1567 - 1579) yang dikisahkan: "tembey datang na prebeda, bwana alit sumurup ing ganal, metu sanghara ti Selam" (mulailah datang perubahan, budi tenggelam datang nafsu, muncul bahaya dari Islam).



2 Usaha Maulana Hasanuddin dalam Pengembangan Banten

Usaha Hasanuddin untuk mengubah satu daerah nelayan kecil menjadi sebuah kota yang layak dijadikan ibukota negara, bukanlah satu perbuatan yang mudah. Dengan bantuan pasukan Demak, Cirebon dan juga penduduk di sekitar, pembangunan kota baru ini dapat terlaksana dengan mulus. Kota Banten, berkembang dengan pesat.

Mengenai keadaan fisik kota Banten --- yang kemudian lebih disebut Surosowan --- di masa mula berdirinya ini, sangat sulit direkontruksikan karena terbatasnya data. Digambarkan oleh Diogo do Couto, yang juga mengikuti perjalanan Francisco de Sa, bahwa kota Banten terletak di pertengahan pesisir teluk, yang lebarnya sampai tiga mil, dengan kedalaman antara dua sampai 6 depa. Kota ini panjangnya 850 depa, di tepi pantai panjangnya 400 depa; masuk ke dalamnya lebih panjang. Melalui tengah kota ada sungai jernih, di mana kapal jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada anak sungai yang hanya perahu kecil saja bisa masuk. Kota Banten dikelilingi benteng terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat yang dilengkapi dengan meriam. Teluk itu di beberapa tempat berlumpur, dan di beberapa tempat lagi berpasir; dalamnya antara dua dan enam depa (Djajadiningrat, 1983:145).

Di tengah kota terdapat sebuah lapangan luas, disebut alun-alun, yang digunakan bukan saja untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat juga digunakan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun, yang di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Sedangkan sebelah barat alun-alun didirikan sebuah masjid agung (Ambary, 1988: 30).

Pemindahan pusat pemerintahan dari daerah pedalaman ke pesisir sangatlah menguntungkan baik dalam bidang politik maupun sosial-ekonomi; dengan kepindahan pusat kota itu hubungan dengan negara-negara lain di pesisir Jawa, Sumatra Barat dan Malaka, bahkan hubungan dengan negara di luar kepulauan nusantara pun akan lebih mudah. Pelabuhan Banten, yang pada masa Pajajaran hanya menjadi pelabuhan kedua setelah Kalapa, pada masa Maulana Hasanuddin telah berubah menjadi bandar besar yang menjadi persinggahan utama dan penghubung antara pedagang dari Arab, Parsi, India dan Cina dengan negara-negara di Nusantara. Situasi demikian berkaitan dengan keadaan peta politik di Asia Tenggara; setelah Malaka dikuasai Portugis. Dengan keadaan itu, Banten, yang berada di tengah perdagangan rempah-rempah ke dan dari Maluku, menjadi tempat untuk membeli bekal perjalanan, tempat perdagangan rempah-rempah dan barang dagangan lain dari luar negeri (Tjandrasasmita, 1975: 322). Pedagang-pedagang dari Arab, Persi, Gujarat, Birma, Cina dan negara-negara lain datang secara berkala di Banten; demikian juga pedagang dari Nusantara.

Maulana Hasanuddin, dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten, lebih menitikberatkan pada pengembangan di sektor perdagangan, di samping memperluas daerah pertanian dan perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan pendapatan rakyatnya dengan melalui pertumbuhan pasar yang cepat. Karena Banten menjadi tempat persinggahan perdaganan rempah-rempah dari Eropa maupun Asia dan juga daerah-daerah di nusantara, maka Banten pun harus mempunyai persediaan lada yang cukup, yang pada waktu itu menjadi hasil perdagangan utama. Hasil lada ini diambil dari daerah Banten sendiri dan daerah lain di bawah kuasa Banten, yaitu Jayakarta, Lampung dan Bengkulu. Perkebunan lada di daerah-daerah itu diperluas untuk memenuhi kebutuhan perdagangan yang berkembang (Tjandrasasmita, 1975: 323).

Untuk menggambarkan ramainya perdagangan di Banten ini diceritakan oleh Willem Lodewycks (1596) sebagai berikut (Chijs, 1889:53-56):

"Di Banten ada tiga pasar yang dibuka setiap hari. Yang pertama dan terbesar terletak di sebelah timur kota (Karangantu). Di sana banyak ditemukan pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilon (India), Pegu (Birma), Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia dan dari seluruh nusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi. Pasar kedua terletak di alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah hari bahkan sampai sore. Di pasar ini diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata keris, tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain putih untuk bahan batik, binatang peliharaan, kambing dan sayuran. Orang-orang Cina menjual benang sulam, sutra, damast, porselen dan lain-lain. Di sini juga dijual rempah-rempah dan obat-obatan. Demikian besarnya pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama di pelabuhan. Pasar ketiga terletak di daerah Pacinan yang dibuka setiap hari sampai malam".

Cara jual-beli di Banten, pada saat itu, banyak yang masih menggunakan sistem barter; menukar barang dengan barang yang lain, terutama di daerah pedalaman. Di antara daerah yang dibawa dari daerah pedalaman berupa hasil bumi terutama beras dan lada, ditukar dengan kebutuhan sehari-hari seperti garam, pakaian, dan lain-lain. Hasil bumi di atas itulah yang kemudian oleh pedagang di jual kembali sebagai barang eksport. Selain sistem barter, di Banten juga dikenal adanya uang sebagai alat tukar. Tome Pires menceritakan bahwa mata uang yang biasa digunakan adalah real banten dan cash cina (caxa).

Jumlah penduduk kota Banten pada masa Maulana Hasanuddin belum ditemukan data yang pasti; namun melihat kemampuan Banten mengirimkan 7000 tentaranya ke Pasuruan tahun 1546 untuk membantu Demak menaklukkan daerah itu (Djajadiningrat, 1983:84), terlihat, betapa cukup padatnya kota ini. Kalau perbandingan antara banyaknya tentara dengan penduduk biasa 1 : 10 saja, maka paling tidak penduduk kota Banten saat itu ada sekitar 70.000 jiwa.

Karena banyaknya pedagang muslim yang, selain aktif berniaga juga aktif menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri, maka di Banten terkumpul beberapa ulama yang meng-ajarkan Islam kepada siapa saja. Akhirnya, Banten pun menjadi pusat penyebaran ajaran Islam untuk daerah Jawa Barat dan sebagian Sumatra. Banyak santri (pelajar) dari luar daerah yang sengaja datang ke Banten untuk belajar ilmu-ilmu agama, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam, seperti di Kasunyatan. Di tempat ini berdiri Masjid Kesunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung Banten (Ismail, 1983: 35). Di sini pulalah tempat tinggal dan mengajar Kiyai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kesunyatan, guru Pangeran Yusuf (Djajadiningrat, 1983:163). Di samping membangun Mesjid Agung di dekat alun-alun, Maulana Hasanuddin juga memperbaiki mesjid di Pacinan dan Karangantu (Ambary, 1978:1 dan Michrob, 1984:5). Masjid Agung dan masjid di Pacinan ini mempunyai atap tumpang limasan dalam lima susun, dan ini menjadi model mesjid-mesjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak, Sendang Duwur dan sebagainya.



3. Banten Melepaskan Diri dari Kuasa Demak

Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fattah (Raden Patah) atau Pangeran Jinbun sekitar tahun 1500. Ia adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi, raja Majapahit terakhir, dari seorang selir asal Cina (Djajadiningrat, 1983: 266; Muljana, 1968: 95).

Pada tahun 1478 terjadilah penyerbuan terhadap Majapahit oleh Kediri. Prabu Brawijaya gugur dalam pertempuran itu, dibunuh oleh Senapati Udara, seorang patih Kediri. Dengan demikian Prabu Giri Indra Wardhana, Raja Kediri, mengambil alih kekuasaan Majapahit. Tapi pada tahun 1498 Prabu Indra Wardhana dibunuh pula oleh Patih Udara dalam satu pemberontakan, yang kemudian, Patih Udara mengangkat dirinya menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara.

Perubahan politik di pusat pemerintahan Majapahit ini merupakan salah satu faktor yang mendorong semangat Raden Fattah untuk lebih giat lagi mengembangkan daerahnya, Bintaro, menjadi daerah kuat dengan santri-santrinya yang dididik keprajuritan. Di samping itu, penyebaran agama Islam lebih ditingkatkan sehingga sebagian besar masyarakat pesisir utara Jawa memeluk agama Islam. Hal ini dapat dikaitkan dengan dorongan moril Sunan Giri kepada Raden Fattah bahwa dialah yang lebih berhak menjadi raja Majapahit dibandingkan dengan Prabu Udara. Dengan kata lain, jika Raden Fattah menyerang Prabu Udara dalam rangka merebut pusat pemerintahan Majapahit, maka peristiwa tersebut ditafsirkan sebagai usaha untuk mengambil pusaka orang tuanya sendiri. Karenanya, beberapa raja di pesisir utara Jawa menganggap pemerintahan Prabu Udara atas Majapahit ini tidak sah.

Hubungan yang tidak harmonis antara daerah-daerah pesisir utara dangan pusat pemerintahan Majapahit, mengakibatkan ekonomi menjadi lemah. Karena sebagaimana telah dijelaskan, bahwa daerah-daerah pesisir utara Jawa adalah kota-kota pelabuhan dagang, yang merupakan sumber pemasukan devisa yang sangat potensial untuk kas negara, melalui perdagangan ekspor-impornya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini pada gilirannya merusak kesatuan sosial kehidupan masyarakat dan secara tidak langsung ikut melemahkan kekuatan Majapahit.

Dalam keadaan kerajaan yang tidak menentu akibat penolakan rakyat secara the jure terhadap pemerintahannya, pengaruh Islam maju cukup pesat di pesisir utara Jawa, ditambah keadaan kehidupan sosial-ekonomi rakyat yang semakin memburuk --- yang pada akhirnya menyebabkan kewibawaan pemerintah pusat menurun --- maka Prabu Udara mengadakan hubungan persahabatan dengan Portugis di Malaka.

Dengan membawa hadiah-hadiah yang berharga, pada tahun 1512 berangkatlah utusan Majapahit menemui Alfonso d'Albuquerque di Malaka (Berg, 1952: 385). Mendengar tindakan Prabu Udara itu, Raden Fattah dibantu beberapa raja pesisir segera mengadakan penyerangan besar-besaran terhadap Majapahit pada tahun 1517. Melalui pertempuran hebat dan banyak memakan korban akhirnya Majapahit dapat dikalahkan. Prabu Udara dan beberapa pengikut setianya melarikan diri ke Bali, Pasuruan dan Blambangan. Semua barang kebesaran Majapahit dipindahkan ke Bintaro, yang selanjutnya menjadi ibu kota Kerajaan Demak. Maka pada masa Raden Fattah, di Pulau Jawa hanya ada dua kerajaan Hindu, yakni Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat dan Kerajaan Blambangan di Pasuruan.

Raden Fattah mempunyai tiga orang putra: Pangeran Muhammad Yunus, Pangeran Sekar Seda Lepen dan Pangeran Trenggono. Sebagai putra raja, mereka dilatih dalam urusan pemerintahan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin negara sepeninggal orang tuanya. Dalam hal ini, Muhammad Yunus, sebagai putra tertua, diangkat menjadi Patih Demak, yang bertugas sebagai pendamping raja dalam segala urusan kenegaraan; sehingga ia disebut Patih Yunus atau Patih Unus.

Patih Yunus yakin bahwa Portugis adalah musuh besar umat Islam. Mereka selalu berusaha menghancurkan negara-negara Islam. Ini mereka buktikan sendiri dengan menjajah Kesultanan Malaka dan di Malaka pedagang-pedagang yang beragama Islam selalu dipersulit dengan berbagai peraturan dan pajak yang tinggi. Orang Portugis bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Hindu untuk menghancurkan Kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan Hindu lebih senang bersahabat dengan bangsa asing, Portugis, dibanding bersahabat dengan kerajaan Islam di Jawa. Persahabatan Majapahit dengan Portugis lebih meyakinkan Patih Yunus untuk menyerang dan menghancurkan Portugis di Malaka.

Maka pada tahun 1512, setelah mendapatkan izin ayahnya, bersama dengan 90 buah kapal jung yang berkekuatan 12.000 prajurit dilengkapi dengan meriam-meriam buatan sendiri, berangkatlah armada Demak ke Malaka. Perang besar terjadi di Selat Malaka pada tahun 1513, tapi karena pertahanan armada Portugis lebih kuat dan lebih berpengalaman dalam pertempuran laut, maka pasukan Demak pulang dengan membawa kekalahan. Patih Yunus sendiri pulang dengan sebuah jung ke Jepara, bandar kerajaan Demak. Setelah penyerangan Malaka itu, Patih Yunus bergelar Pangeran Sabrang Lor (Berg, 1952: 385).

Raden Fattah meninggal pada tahun 1518, kemudian tahta Demak digantikan oleh Pangeran Muhammad Yunus. Muhammad Yunus meninggal dunia pada tahun 1521 dengan tidak meninggalkan putra, oleh karena itu adiknyalah yang berhak menggantikan sebagai raja Demak. Kedua adik Muhammad Yunus, yakni Pangeran Sekar Seda Lepen dan Pangeran Trenggono sama-sama ingin menjadi raja, maka terjadilah perebutan pengaruh di antara keduanya. Apabila hal demikian didiamkan, dikhawatirkan akan terjadi perang saudara yang akan menimbulkan perpecahan dan menelan banyak korban. Pikiran semacam inilah yang mendorong Pangeran Mu'min atau dikenal dengan nama Sunan Prawoto, anak sulung Pangeran Trenggono, membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen. Dengan demikian maka Pangeran Trenggono diangkat menjadi Raja Demak pada tahun 1521 sampai tahun 1546 (Hamka, 1976: 158-160).

Pada kurun pemerintahan Trenggono, perluasan pengaruh Islam mengalami kemajuan yang pesat di Jawa. Tahun 1527, dikuasainya wilayah Jawa Barat. Kemudian pada tahun 1546 diadakan penyerangan ke Pasuruan, Panarukan, dan Supit Urang, sebagai daerah-daerah penting Kerajaan Blambangan. Dalam usaha memperluas pengaruh Islam di Jawa Timur ini, Banten mengirimkan 7.000 prajurit pilihan yang langsung dipimpin oleh Fatahillah untuk membantu pasukan Demak. Walaupun ketiga daerah tersebut dapat dikuasainya, tapi Trenggono sendiri gugur dalam satu pertempuran.

Tahta Demak kemudian dipegang oleh Sunan Prawoto, anak tertua Trenggono. Tapi baru satu tahun ia memerintah Demak, Sunan Prawoto dibunuh oleh misannya Arya Penansang, putra Pangeran Sekar Seda Lepen, sebagai tindakan balas dendam. Anak Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Pangiri, juga akan dibunuhnya pula, namun tidak berhasil, karena Pangeran Pangiri lebih dahulu meloloskan diri dan berlindung kepada Pangeran Hadiri, Adipati Kalinyamat. Akhirnya, Pangeran Hadiri pun dibunuh oleh suruhan Arya Penansang (Berg, 1952: 390).

Krisis kepemimpinan di pusat kerajaan Demak ini berlangsung cukup lama, yaitu sekitar 21 tahun (1547 - 1568). Kefakuman kepemimpinan Demak ini baru berakhir setelah Jaka Tingkir, menantu Trenggono, dapat membunuh Arya Penansang dalam suatu pertempuran sengit. Jaka Tingkir dinobatkan menjadi penguasa di Demak dengan gelar Sultan Adiwijoyo dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Pajang; sedangkan Demak dijadikan kadipaten dengan Arya Pangiri sebagai bupatinya. Sultan Adiwijoyo memerintah selama 16 tahun (1568 - 1586), yang kemudian tewas dalam pertempuran melawan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sutowijoyo.

Kemelut berkepanjangan yang melanda pemerintahan ini menyebabkan kerajaan Demak menjadi lemah dalam segala bidang kehidupan. Keadaan ini mengakibatkan Demak kehilangan kewibawaannya di mata dunia internasional, sedang dalam waktu yang bersamaan, Banten, mengalami kemajuan dalam segala segi. Situasi demikianlah yang mendorong Hasanuddin mengambil keputusan untuk melepaskan Banten dari pengawasan Demak. Banten menjadi kerajaan yang berdiri sendiri, dengan Maulana Hasanuddin sebagai raja pertamanya. Sedang wilayah kekuasaannya pada waktu itu meliputi Banten, Jayakarta sampai Kerawang, Lampung, Indrapura sampai Solebar (Djajadiningrat, 1983: 38).

Tindakan Hasanuddin melepaskan diri dari pengawasan Demak ini dianggap sangat penting, karena di samping untuk kemajuan pengembangan daerah Banten, juga, berarti Hasanuddin tidak mau ikut terlibat dalam keributan di pemerintahan Demak, yang masih terhitung famili dekat. Dengan ketidakterikatannya dengan Demak, maka dalam masa pemerintahan Maulana Hasanuddin selama 18 tahun (1552 - 1570), banyak kemajuan yang diperoleh Banten dalam segala bidang kehidupan (Djajadiningrat, 1983:181).

Dalam kehidupan pribadi Maulana Hasanuddin, dari pernikahannya pada tahun 1526 dengan putri Raja Demak, Trenggono, yang bernama Pangeran Ratu (Ratu Ayu Kirana), dikarunia anak : Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Agung atau Ratu Kumadaragi, Pangeran Molana Magrib dan Ratu Ayu Arsanengah. Sedang anak dari istri yang lainnya: Pangeran Wahas, Pangeran Lor, Ratu Rara, Ratu Keben, Ratu Terpenter, Ratu Wetan dan Ratu Biru. Ratu Pembayun kemudian menikah dengan Ratu Bagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta yang selanjutnya mereka tinggal di Angke daerah Jayakarta (Djajadiningrat, 1983:128).

Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dikuburkan di samping Masjid Agung. Setelah kematiannya Maulana Hasanuddin dikenal dengan sebutan Sedakinking kemudian sebagai gantinya dinobatkanlah Pangeran Yusuf menjadi Raja Banten ke-2.



B. MAULANA YUSUF (1570 - 1580)

Masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, pembangunan negara lebih dipusatkan pada bidang keamanan kota, perluasan wilayah perdagangan, di samping penyebaran dan pemantapan kepercayaan rakyat kepada ajaran Islam; sedangkan pada masa Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Tahun 1579, pasukan Banten dapat merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran (Djajadiningrat, 1983:153). Ponggawa-ponggawa yang ditaklukkan lalu di-islamkan dan masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula (Djajadiningrat, 1983: 37). Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan pertanian.

Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari segala penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara (Sutjipto, 1961:13). Situasi perdagangan di Karangantu, sebagai pelabuhan Banten, digambarkan sebagai berikut : Pedagang-pedagang dari Cina membawa uang kepeng yaitu uang yang terbuat dari timah, porselen, sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung, selop, kipas, kertas, dan sebagainya. Pulangnya mereka membawa lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan gading gajah. Orang Arab dan Persia membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain dari kapas dan sutra, kain putih dari Coromandel. Pulangnya mereka membeli rempah-rempah. Sedangkan orang Portugis mambawa kain-kain dari Eropa dan India.

Barang-barang dari luar negeri ini diambil oleh pedagang-pedagang dari Jawa, Makasar, Sumbawa, Palembang dan lainnya. Ke Banten pedagang-pedagang ini membawa garam dari Jawa Timur, gula dari Jepara dan Jayakarta, beras dari Makasar dan Sumbawa, ikan kering dari Karawang, Banjarmasin dan Palembang. Minyak kelapa dari Belambangan, rempah-rempah dari Maluku, lada dari Lampung dan Solebar, kayu cendana dari kepulauan Sunda kecil, gading gajah dari Andalas, tenunan dari Bali dan Sumbawa, timah putih dan timah hitam dari Perak, Kedah dan Ujung Selong di Malaka, besi dari Karimata, damar dari Banda dan Banjarmasin (Sanusi Pane, 1950:182).



1. Pengembangan Kota Banten

Dengan majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan, sejak pindahnya kota ini dari Wahanten Girang tanggal 8 Oktober 1526 M dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa (Michrob, dkk., 1990). Babad Banten pupuh XXII menyatakan: Gawe Kuta baluwarti bata kalawan kawis yang artinya: membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang. Dari awal dinasti Maulana Yusuf inilah Banten menjadi ramai baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang. Oleh karenanya dibuatlah aturan penempatan penduduk sesuai dengan keahlian dan asal daerah penduduk itu (Ambary, 1977:448). Sehingga tumbuhlah perkampungan untuk orang India, perkampungan orang Pegu, orang Arab, Turki, Persia, Siam, Cina dan sebagainya. Di samping ada pula perkampungan untuk orang Melayu, Ternate, Banjar, Bugis, Makasar, Bali (Tjandrasasmita, 1975:160).

Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan di luar tembok kota. Seperti Kampung Pekojan yang terletak di sebelah barat pasar Karangantu diperuntukkan bagi pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Gujarat, Mesir dan Turki. Kampung Pecinan terletak di sebelah barat Masjid Agung di luar batas kota, diperuntukkan bagi pendatang dari Cina. Kampung Panjunan tempat pemukiman tukang anjun (gerabah, periuk, belanga, dan sebagainya). Kampung Kepandean tempat pandai besi, Pangukiran tempat tukang ukir, Pagongan tempat pembuat gong dan gemelan, Sukadiri tempat pengecoran logam, dan pembuatan senjata perang (Tjandrasasmita, 1975:162). Demikian juga untuk golongan birokrasi tertentu, seperti : Kademangan tempat demang, Kesatrian, tempat para senopati, perwira dan para prajurit istana, Kefakihan tempat ulama-ulama hukum Islam, dan sebagainya (Michrob, 1981:74).

Pengelompokan pemukiman ini bukan saja dimaksudkan untuk kerapihan dan keserasian kota tetapi yang lebih penting adalah untuk keamanan. Setiap kampung secara bersama-sama dapat segera mencegah pencurian, perampokan dan kebakaran yang sering terjadi (Chijs, 1881:66). Yang akhirnya, ini pun dapat merupakan upaya penyebaran dan perluasan kota (Michrob, 1981:31).

Tembok keliling kota diperkuat dan dipertebal, demikian juga tembok benteng di sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit-parit di sekelilingnya (Djajadiningrat, 1983:144, Michrob, 1983:31). Perbaikan Masjid Agung pun dikerjakannya, dan sebagai kelengkapan dibuatlah menara dengan bantuan Cek Ban Cut arsitek muslim asal Mongolia (Ismail, 1983).

Di samping mengembangkan pertanian yang sudah ada, Maulana Yusuf pun mendorong rakyatnya untuk membuka daerah-daerah baru bagi persawahan, sehingga sawah di Banten bertambah luas sampai melewati daerah Serang sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut, dibuatlah terusan-terusan irigasi dan bendungan-bendungan (Djajadiningrat, 1983:38 dan 59).

Bagi persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian dibagi ke daerah-daerah di sekitar danau. Tasikardi juga digunakan bagi pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kebutuhan masyarakat di kota. Dengan melalui pipa-pipa yang terbuat dari terakota, setelah dibersihkan/ diendapkan di pengindelan abang dan pengindelan putih, air yang sudah jernih tersebut dialirkan ke keraton dan tempat-tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan tersebut terdapat pulau kecil yang digunakan untuk tempat rekreasi keluarga keraton.

Dari permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai

dua anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad, sedangkan dari istri-istri lainnya baginda dikaruniai anak antara lain: Pangeran Upapati, Pangeran Dikara, Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina, Pangeran Aria Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Seminingrat, Pangeran Dikara (lagi), Ratu Demang atau Ratu Demak, Ratu Pacatanda atau Ratu Mancatanda, Ratu Rangga, Ratu Manis, Ratu Wiyos dan Ratu Balimbing (Djajadiningrat, 1983:39).

Pada tahun 1580, Maulana Yusuf mangkat dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Pakalangan Gede dekat Kampung Kesunyatan sekarang, karenanya setelah meninggal Maulana Yusuf diberi gelar Pangeran Penembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai penggantinya, diangkatlah Pengeran Muhammad, anak Maulana Yusuf yang pada waktu itu baru berusia 9 tahun (Djajadiningrat, 1983-163).



2. Peristiwa menjelang wafatnya Maulana Yusuf

Ketika Maulana Yusuf sakit keras, datanglah Pangeran Aria Jepara dengan membawa pasukan besar ke Banten dengan maksud untuk menjeguk. Pangeran Aria Jepara dengan pasukannya yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana, kemudian ditempatkan di Pagebangan di luar tembok batas kota. Pangeran Jepara adalah adik dari Maulana Yusuf yang pendidikannya diserahkan kepada bibinya Ratu Kalinyamat di Jepara. Mendengar wafatnya Maulana Yusuf yang kemudian digantikan Pangeran Muhammad yang masih kecil itu, timbullah niat Pangeran Aria untuk menjadi pengganti Raja Banten. Keinginan ini mendapat sambutan baik dari Patih Mangkubumi yang semenjak Sultan sakit memegang kendali pemerintahan. Melihat keadaan demikian, Kadhi (hakim), Senapati Pontang, Dipati Jayanegara, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala yang ditunjuk sebagai Wali Sultan, mengirim surat kepada Mangkubumi supaya Mangkubumi tetap setia kepada raja yang baru saja mangkat. Sindiran halus ini dapat dipahami oleh Mangkubumi, sehingga diadakanlah rapat di antara pembesar-pembesar istana tanpa diketahui Pangeran Aria Japara. Akhirnya disetujuilah usul supaya Pangeran Muhammad tetap diangkat menjadi Raja, sedangkan roda pemerintahan untuk sementara tetap ditangani oleh Patih Mangkubumi sampai Putra Mahkota dewasa.

Diaturlah cara menyampaian berita itu kepada Pangeran Japara agar tidak terjadi pertumpahan darah diantara para saudara sepupu yang akan menambah kedukaan rakyat Banten. Mangkubumi pergi dengan membawa seekor gajah kerajaan menemui Pangeran Japara di luar kota, dan minta supaya Pangeran menaiki gajah tersebut dengan memakai pakaian kebesaran lengkap ke keraton, seolah-olah memang usul Pangeran Japara diterima rakyat. Dengan diapit oleh Mangkubumi dan Ki Demang Laksamana, Pangeran Japara dan pasukannya beriringan pergi ke keraton. Sampai di tepi sungai di luar tembok benteng keraton, sebelum darpalagi, Mangkubumi memberi aba-aba untuk berhenti. Di seberang sungai, di bawah atap srimanganti, yaitu gerbang di luar istana, sudah menanti Putra Mahkota yang duduk dalam pangkuan Kadhi dikelilingi para ponggawa dan para menteri kerajaan dengan pasukan Banten yang cukup kuat. Selanjutnya, Mangkubumi menyeberangi sungai sendirian, untuk kemudian menyiagakan pasukan Banten supaya waspada apabila terjadi yang tidak dikehendaki.

Setelah persiapan beres, Mangkubumi kembali menemui Pangeran Jepara, dan mengatakan bahwa ia diperintahkan Putra Mahkota untuk menghalang-halangi Pangeran Jepara dan rombongan menyeberangi sungai, dan dengan segala hormat minta supaya Pangeran segera meninggalkan Banten dengan kapal-kapal yang telah disediakan. Mengetahui muslihat Mangkubumi itu, marahlah Pangeran Jepara dan memerintahkan pasukannya untuk menyerbu keraton. Maka terjadilah pertempuran hebat di luar benteng istana. Dalam pertempuran itu Ki Demang Laksamana tewas di tangan Mangkubumi sehingga akhirnya pasukan Pangeran Aria Japara melarikan diri kembali ke Jepara. Setelah kejadian tersebut dinobatkanlah Pangeran Muhammad menjadi Raja Banten ke-3 dengan gelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan. Kadhi menyerahkan perwaliannya kepada Mangkubumi (Djajadiningrat, 1983: 39-41).



C. MAULANA MUHAMMAD KANJENG RATU BANTEN SUROSOWAN (1580 - 1596)

Keadaan Banten pada masa Maulana Muhammad ini dapat kita ketahui dari kesaksian Willem Lodewycksz, juru tulis Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Dari catatan mereka dapatlah diketahui keadaan kota Banten secara lebih jelas.

Ketika itu, Banten telah mempunyai tembok-tembok yang tebalnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Tembok-tembok itu tidak mempunyai menara-menara, melainkan semacam tiang gantungan setinggi tiga stagie yang terbuat dari kayu besar (kira-kira 3 m). Orang dapat melayari kota seluruhnya melalui banyak sungai. Diperkirakan besar Kota Banten sebesar kota Amsterdam pada tahun 1480 ketika kota itu dikelilingi tembok untuk pertama kalinya. (Chijs, 1881:18 dan Djajadiningrat, 1983:144).

Mulai dari pintu gerbang besar istana sampai di luar, terdapat bangunan-bangunan: made bahan, tempat tambak baya melakukan jaga, made mundu dan made gayam, selanjutnya sitiluhur atau sitihinggil yang di dekatnya terdapat bangunan untuk gudang senjata dan kandang kuda kerajaan. Kemudian terdapat pakombalan yaitu penjagaan untuk "wong gunung". Di sebelah utara terdapat tempat perbendaharaan dan di sebelah barat berdiri masjid dengan menara di sampingnya. Kemudian terdapat satu perkampungan yang disebut Candi Raras, yang di antaranya terdapat bangunan-bangunan made bobot dan made sirap. Di sebelah timur made bobot terdapat mandapa yaitu suatu bangunan terbuka yang di sana dipasang meriam Ki Jimat yang mengarah ke utara. Dekat srimanganti terdapat waringinkurung dan watugilang. Di tepi sungai terdapat panyurungan atau galangan kapal kerajaan. Di sebelah barat laut terdapat pasar dan di sebelah baratnya terdapat masjid besar kerajaan. Dekat panyurugan terdapat tonggak yang mengikat gajah raja yang bernama Rara Kawi. Di sebelahnya terdapat jembatan besar dari kayu jati melintasi sungai yang selanjutnya terdapat jalan raya dengan pagar kembar menuju ke arah utara ke perbentengan. Perbentengan sebelah dalam atau baluwarti dalem disebut lawang sademi atau lawang seketeng yang di sebelah baratnya berdiri pohon beringin besar dan perbentengan Sambar Lebu (Djajadiningrat, 1983:57).

Banten mempunyai kapal perang yang menyerupai kapal galai dengan dua tiang layar. Keistimewaan kapal ini mempunyai serambi yang sempit dengan geladak luas. Hal ini memungkinkan tentara lebih leluasa bergerak dalam perang. Di bagian depannya ditempatkan empat pucuk meriam. Sedangkan ruang pengayuh ditempatkan di bagian bawah. Untuk perjalanan jauh seperti ke Maluku, Banda, Kalimantan, Sumatra dan Malaka digunakan kapal jung besar dengan layar kecil di depannya. Di samping itu ada juga perahu-perahu lesung kecil yang bisa berlayar dengan cepat yang belum pernah dilihat oleh orang Belanda sebelumnya (Tjandrasasmita, 1975:17-18). Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk (Michrob, 1984:5).

Tentang pasar sebagai pusat perekonomian, dapat dilihat dari catatan Willem Lodewyckz yang mengatakan sebagai berikut: "Di sebelah timur kota yaitu daerah Karangantu, terdapat sebuah pasar yang pagi maupun siang terdapat pedagang-pedagang dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengali, Gujarat, Malabar dan Abesinia. Juga terdapat pedagang-pedagang dari Nusantara seperti dari Bugis, Jawa dan lain-lain. Pasar kedua terletak di Paseban, yang memperdagangkan keperluan sehari-hari. Dan pasar ke tiga terletak di Pacinan yang dibuka sebelum dan sesudah pasar-pasar lain tutup. Barang-barang yang diperdagangkan di pasar ketiga ini bermacam ragam, mulai dari kain sutra dari Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas. Diceritakan pula, bahwa barang-barang tekstil dari Gujarat ini 20 jenis. Transansi perdagangan di pasar ini berjalan mudah, karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal” (Tjandrasasmita, 1975: 218-231).

Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang shaleh[4]. Untuk kepentingan menyebaran agama Islam ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian di-wakaf-kan kepada yang membutuhkan. Sultan sangat hormat kepada gurunya yang bernama Kiyai Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan di Kampung Kesunyatan (Djajadiningrat, 1983:39 dan 164). Untuk sarana ibadat dibangunnya masjid-masjid sampai ke pelosok-pelosok yang di sana terdapat banyak masyarakat muslim. Dalam shalat berjamaah terutama pada shalat Jum'at dan Hari Raya, Sultan yang selalu menjadi imam dan khotib. Mesjid Agung yang terletak di tepi alun-alun diperindahnya. Tembok masjid dilapisi dengan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu cendana (Michrob, 1981:32). Untuk tempat shalat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawestren atau pawadonan (Tjandrasasmita, 1975:131-132).

Peristiwa yang menonjol pada masa Maulana Muhammad adalah peristiwa penyerbuan ke Palembang. Kejadian ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi raja di Palembang. Pangeran Mas adalah putra dari Aria Pangiri, putra dari Sunan Prawoto atau Pangeran Mu'min dari Demak. Aria Pangiri tersisih dua kali dari haknya menjadi raja di Demak, dan karena ketahuan hendak melepaskan diri dari kuasa Mataram, Sutawijaya, raja Mataram, hendak membunuhnya. Tapi atas bujukan istrinya hal itu tidak dilakukannya setelah Aria Pangiri berjanji tidak akan kembali ke daerah Mataram untuk selamanya. Akhirnya dia menetap di Banten sampai meninggalnya.

Terdorong oleh darah muda dan pandainya Pangeran Mas membujuk, Sultan pun dapat dipengaruhinya. Saran Mangkubumi dan pembesar-pembesar senior lainnya tidak diindahkannya, sehingga akhirnya disiapkanlah pasukan perang untuk segera mengadakan penyerbuan ke Palembang. Dengan 200 kapal perang berangkatlah pasukan Banten dipimpin oleh Sultan Muhammad yang didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas. Lampung, Seputih dan Semangka diperintahkan untuk mengerahkan tentaranya menyerang dari darat. Maka terjadilah pertempuran hebat di Sungai Musi sampai berhari-hari lamanya. Dan akhirnya pasukan Palembang dapat dipukul mundur. Tapi dalam keadaan yang hampir berhasil itu, sultan yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri tertembak yang mengakibatkan kematiannya. Penyerangan ke Palembang ini tidak dilanjutkan, pasukan Banten kembali tanpa hasil (Djajadiningrat, 1983: 41-42). Peristiwa gugurnya Maulana Muhammad ini terjadi menurut sangsakala prabu lepas tataning prang atau tahun 1596 M (Djajadiningrat, 1983: 168).

Adapun tentang Pangeran Mas, diceritakan bahwa setelah pulang dari Palembang tidak berani lama-lama menetap di Banten karena rakyat menganggap dialah penyebab kematian sultan, sehingga ia pergi kepada Pangeran Ancol di Jayakarta untuk bisa menetap disana. Tetapi di Jayakarta pun Pangeran Mas tidak disenangi, akhirnya di suatu malam didapati Pangeran Mas dibunuh oleh anak kandungnya sendiri (Hamka, 1982:84).

Maulana Muhammad meninggal dalam usia yang sangat muda kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Anak inilah yang menggantikan pemerintahannya. Maulana Muhammad, setelah meninggalnya diberi gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana, dan dikuburkan di serambi Masjid Agung (Djajadiningrat, 1983:169).



D. SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD ABDUL KADIR (1596 - 1651)

Setelah Maulana Muhammad meninggal dunia, maka sebagai penggantinya dinobatkan anaknya, Abul Mafakhir, yang baru berusia 5 bulan. Karena itu, untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuk Mangkubumi Jayanagara sebagai walinya. Mangkubumi Jayanegara adalah seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam hal pemerintahan. Setiap akan mengambil putusan yang dianggap penting, beliau selalu musyawarah dengan pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang juga ditunjuk sebagai pengasuh Sultan muda yang bernama Nyai Emban Rangkun (Djajadiningrat, 1983:169). Dalam masa pemerintahannya, negara banyak mengalami kemajuan terutama dalam bidang perdagangan. Pada masanya pulalah kapal dagang Belanda yang pertama mendarat di pelabuhan Banten.

Masa pemerintahan perwalian oleh Mangkubumi Jayanagara sebagai wakil Sultan Abul Mafakhir adalah masa yang paling pahit dalam pemerintahan Kesultanan Banten, karena adanya pertentangan di antara beberapa keluarga kerajaan yang saling berbeda kepentingan di samping adanya keinginan dari pihak yang hendak merebut tahta kerajaan karena Sultan masih kecil.

Mangkubumi Jayanagara meninggal pada tahun 1602 yang digantikan oleh adiknya. Tapi tidak lama kemudian, yaitu pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat dari jabatannya karena "berkelakuan tidak baik". Dan karena dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan dan irihati di antara pangeran dan pembesar negara, maka diputuskan untuk tidak mengangkat Mangkubumi baru; sedangkan perwalian diserahkan pada ibunda Sultan, Nyai Gede Wanagiri (Djajadiningrat, 1983:170).

Tidak lama kemudian Nyai Gede Wanagiri menikah kembali dengan seorang bangsawan keraton. Atas desakannya pula, suaminya itu diangkat sebagai Mangkubumi. Dalam kenyataan sehari-hari, Mangkubumi yang baru ini di samping tidak mempunyai wibawa, juga banyak menerima suap dari pedagang-pedagang asing, hingga banyak peraturan dan perjanjian dagang yang lebih banyak menguntungkan pribadi mereka dibanding untuk kepentingan negara dan rakyat. Sehingga rakyat menderita, sedangkan raja tidak tahu apa-apa dan bahaya bangsa asing telah mengancam seluruh Banten. Keadaan ini menimbulkan rasa ketidakpuasan dari sebagian pembesar kerajaan, yang akibatnya menimbulkan kekacauan di dalam negeri. Keadaan demikian tidak segera dapat diatasi karena Mangkubumi disibukkan oleh ulah pedagang-pedagang Belanda yang banyak menimbulkan keributan dengan anak negeri, maupun dengan pedagang dari Inggris dan Portugis. Sebagian Pangeran memihak kepada pedagang Portugis dan sebagian lainnya membela pedagang Belanda. Padahal antara pedagang Belanda dan Portogis itu saling bermusuhan.

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan Mangkubumi tidak dihiraukan oleh sebagian besar Pangeran. Kekuasaan Mangkubumi hanya terbatas di dalam istana saja, sedangkan di luar, pangeran-pangeran itulah yang berkuasa. Setiap Pangeran dapat mengeluarkan peraturan sendiri yang kadang-kadang saling bertentangan, dan bahkan berbeda dengan putusan Mangkubumi.

Pertentangan antar pembesar keraton ini akhirnya menimbulkan keributan serius pada bulan Oktober 1604, dimana Pangeran Mandalika, putra Maulana Yusuf, menahan sebuah jung dari Johor. Perintah Mangkubumi untuk melepaskan kembali jung itu tidak dihiraukan oleh Pangeran Mandalika; bahkan, untuk melawan tentara kerajaan yang diperintahkan menangkapnya, Pangeran Mandalika bergabung dengan pangeran-pangeran penentang lainnya, dan membuat benteng pertahanan di luar kota. Makin lama kedudukan dan jumlah mereka semakin kuat, sehingga sangat mengkha-watirkan pemangku kuasa. Lebih-lebih lagi banyak rakyat yang simpati terhadap tindakan mereka itu.

Pada bulan Juli 1605, Pangeran Jayakarta beserta beberapa pembesar negeri dengan pasukan besar dan kuat datang di Banten untuk menghadiri perayaan khitanan Sultan muda. Atas permintaan Mangkubumi, Pangeran Jayakarta bersedia membantu menumpas para pemberontak. Dengan bantuan orang Inggris, pasukan Pangeran Jayakarta ini memulai penyerangan dengan menerobos langsung ke kubu pertahanan para perusuh; sedangkan orang Inggris membantu dengan menembaki kubu pertahanan musuh dari kejauhan. Pertempuran hebat di luar kota ini akhirnya dapat memukul mundur pasukan pembangkang, maka diadakanlah perjanjian damai. Para pemimpin pasukan perusuh diharuskan meninggalkan Banten dalam waktu selambat-lambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti 30 orang anggota keluarganya (Djajadiningrat, 1983: 171-172).

Dengan diusirnya biang kerusuhan ini, keadaan Banten tidaklah semakin membaik, bahkan sebaliknya suasana semakin tegang. Pertentangan antar pembesar negara ini sudah demikian hebatnya, sehingga kerusuhan yang sama terjadi lagi pada bulan Juli 1608 yang dikenal dengan Peristiwa Pailir.

Pertentangan antar pembesar kerajaan yang kian memuncak ini menimbulkan persaingan tidak sehat di antara mereka. Masing-masing kelompok berusaha memperkuat kedudukan dirinya dalam segala segi. Untuk mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya bagi kepentingan mempersenjatai diri, para pangeran perusuh itu melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat bertentangan dengan hukum yang berlaku, sehingga tidak jarang terjadi perampokan kapal-kapal pedagang asing ataupun pribumi. Karena tindakan itu, otomatis perniagaan di Banten terhenti.

Salah satu sebab lagi yang menimbulkan rasa tidak senang para pangeran ini adalah sikap dan tindakan Mangkubumi. Diceritakan, Mangkubumi, yang juga adalah ayah tiri Sultan Muda, mendidik Sultan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang, sehingga hampir tidak sekejap pun Sultan muda ditinggalkan, baik dalam penghadapan dan dalam pertemuan-pertemuan dengan para ponggawa dan pejabat-pejabat tinggi istana maupun waktu memeriksa keadaan kota atau pun pada waktu sasapton, Sultan muda tidak lepas dari pangkuannya. Dengan demikian, orang-orang harus selalu bersembah sujud apabila bertemu Mangkubumi karena pasti dipangkuannya ada Sultan muda. Hal ini banyak mengundang ketidaksenangan dan iri hati pada beberapa pangeran dan bangsawan lainnya.

Beberapa bangsawan, di antaranya Pangeran Arya Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Ratu Bagus Kidul, Dipati Yudanagara dan lain-lain mengadakan pertemuan untuk mengatasi kekacauan itu. Dalam pertemuan itu diputuskan untuk segera membunuh Mangkubumi --- yang dianggap sebagai biang keladi kerusuhan. Tugas membunuh itu diserahkan kepada Adipati Yudanagara atas jaminan dari Pangeran Runamanggala, Pangeran Mandura dan juga Kadhi.

Untuk melaksanakan tugasnya itu, Adipati Yudanagara mengadakan pembakaran di dalam istana, sehingga Mangkubumi keluar seorang diri tanpa membawa Sultan muda. Kesempatan itu dipergunakan Yudanagara untuk menyerang dan membunuh Mangkubumi dengan menggunakan sebilah tombak. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1608.

Terbunuhnya Mangkubumi itu membuat kesedihan yang begitu mendalam pada Sultan muda, sehingga Pangeran Arya Ranamanggala dan Pangeran Upapatih merasa kasihan kepadanya. Maka bermusyawarahlah Pangeran Arya Rana-manggala, Pangeran Upapatih, Pangeran Mandalika dan beberapa bangsawan penting lainnya untuk membicarakan pembunuhan Mangkubumi; Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Ratu Bagus Kidul, dan Tubagus Prabangsa tidak mau mengikuti pertemuan itu. Dalam pada itu, mendengar adanya pertemuan demikian, Adipati Yudanagara merasa cemas kalau-kalau dirinya akan ditangkap dan hukum mati --- karena dialah yang membunuh Mangkubumi. Oleh karena itu Adipati Yudanagara menemui Pangeran Kulon, dan menyatakan bahwa dirinya dan kawan-kawan lainnya akan mendukung Pangeran Kulon menjadi raja Banten. Dukungan Adipati ini menambah semangat Pangeran Kulon yang memang berambisi besar untuk menjadi raja Banten. Pangeran Kulon merasa dirinyalah yang paling berhak memegang kekuasaan di Banten, dibandingkan dengan Sultan Abdul Kadir. Pangeran Kulon adalah cucu Maulana Yusuf putra dari Ratu Winaon dengan Pangeran Gabang dari Cirebon. Ratu Winaon adalah putri sulung Maulana Yusuf dari permaisuri, kakak kandung Maulana Muhammad; adapun Sultan Abdul Mufakhir Muhammad Abdul Kadir adalah anak Sultan Muhammad dari seorang istri yang lain, karena permaisuri tidak berputra. Tekad Pangeran Kulon ini didukung oleh beberapa Pangeran dan bangsawan Banten, di antaranya Rangga Loleta, Adipati Keling, Pangeran Wiramanggala, Singajaya, Syahbandar, Tumenggung Anggabaya dan Panji Jayengtilem. Mereka mendirikan benteng pertahanan di hilir sungai dekat Pabean di daerah pesisir. Banyak rakyat yang simpati terhadap perjuangan mereka, terutama rakyat di daerah Kepalembangan. Diperkirakan pasukan yang dikumpulkan oleh Pangeran Kulon sekitar enam sampai delapan ribu orang (Djajadiningrat, 1983: 176).

Karena tindakan Pangeran Kulon dan pasukannya ini dianggap membahayakan negara, maka Pangeran Ranamanggala dan Pangeran Upapatih mengumpulkan pasukan kerajaan untuk menyerang kubu pemberontak. Mendengar rencana penyerangan ini, Pangeran Kulon segera menyiapkan pasukannya. Dengan dipimpin oleh Panji Jayengtilem dan Singajaya serta dibantu oleh dua puluh orang prajurit terbaiknya, pasukan perusuh mengadakan penyerbuan mendadak ke istana. Namun, pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Senopati Pangeran Upapatih telah menanti di luar benteng Keraton Surosowan, sehingga terjadilah perang saudara yang hebat.

Jalannya perang saudara itu digambarkan oleh Sajarah Banten sebagai berikut: "Diiringi dengan suara gong pengerah Kiyai Bicak, pasukan kerajaan menyambut serangan pasukan Pangeran Kulon. Pangeran Arya Ranamanggala dan Sultan Abdul Kadir mengawasi pertempuran itu dari atas perbentengan. Dilihatnya pasukan kerajaan bagaikan burung kerenda yang menyambar-nyambar mangsanya di sawah. Panji Jayengtilem akhirnya dapat dibunuh oleh Pangeran Upapatih, sedangkan Pangeran Singajaya gugur di tangan Ki Subuh, pembantu Pangeran Upapatih[5]. Dengan demikian maka pasukan pemberontak akhirnya mengundurkan diri kembali ke kubunya di hilir sungai".

Untuk memancing kemarahan Pangeran Kulon dan juga membuat jera tentaranya, mayat-mayat pasukan pemberontak dihanyutkan di atas rakit-rakit yang terbuat dari batang pisang supaya dapat dilihat oleh Pangeran Kulon dan pasukannya di hilir sungai. Hal ini membuat marah Pangeran Kulon, sehingga tanpa perhitungan matang pada hari berikutnya ia memimpin sendiri penyerangan dengan mengerahkan semua pasukan yang ada.

Pada mulanya pasukan pemberontak dapat mendesak tentara kerajaan, sehingga meriam induk kerajaan yang bernama Ki Jajaka Tuwa dapat direbut. Dalam Babad Banten diceritakan, bahwa dengan menggunakan meriam itu Pangeran Kulon dapat mematahkan dahan waringinkurung yang ada di samping istana. Setelah Pangeran Arya Ranamanggala dan pasukannya datang membantu, tentara kerajaan akhirnya dapat memukul mundur pemberontak. Mereka kembali ke kubunya di hilir sungai untuk mengatur serangan berikutnya.

Pada saat yang genting itu, datanglah Pangeran Jayakarta dengan pasukan yang besar, yang kemudian ditempatkan di Pagebangan. Melalui usaha Pangeran Jayakarta, akhirnya perang saudara ini dapat dihentikan dan perjanjian perdamaian dapat disepakati bersama. Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Prabangsa dan pimpinan pemberontak lainnya --- atas jaminan Pangeran Jayakarta --- tidak dibunuh, tapi semuanya dibawa ke Jayakarta sebagai tempat pengasingan selama empat tahun[6].

Setelah kejadian itu Banten menjadi aman, Pangeran Ranamanggala diangkat menjadi Mangkubumi dan juga wali Sultan muda. Perang saudara yang kemudian dikenal dengan nama Pailir[7] terjadi pada sangsakala tanpa guna tataning prang atau tahun 1530 Saka atau sekitar tanggal 8 Maret 1608 sampai tanggal 26 Maret 1609 (Djajadiningrat, 1983: 43:46 dan 169-179).

1. Kedatangan Bangsa Belanda di Banten

Berbeda dari abad sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan Turki tidak lagi menguasai sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu kini dikuasai negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon kembali menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa. Pedagang-pedagang Inggris, Belanda dan sebagainya membeli rempah-rempah dari Lisabon. Apalagi daerah-daerah penghasil rempah-rempah itu hanya diketahui Portugis (Sutjipto, 1961).

Pengangkutan rempah-rempah dari Lisabon mendatang-kan keuntungan banyak bagi pedagang-pedagang Belanda; yaitu menyalurkannya kembali ke Jerman dan negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang antara Nederland dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan “Perang Delapan Puluh Tahun”[8] mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan menjadi tidak lancar, lebih-lebih sesudah Spanyol berhasil menduduki Portugal pada tahun 1580. Raja Spanyol, Phillipos II, yang mengetahui bahwa kemakmuran Nederland sebagian besar didapat dari perdagangan di Portugal, memukul Nederland dengan melarang kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi bandar-bandar di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu, perdagangan rempah-rempah Belanda terhenti, kemajuan Lisabon terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi tinggi, karena persediaan berkurang.

Situasi perang antara Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda mengalami kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan kapal-kapal dagangnya oleh pelaut Inggris dan juga penangkapan oleh armada Spanyol[9]. Hal-hal semacam inilah yang mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung berhubungan dengan negara-negara di Asia sebagai peng-hasil cengkeh dan lada, tanpa diketahui patroli Spanyol.

Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu dilaksanakan melalui persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu bumi seperti Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di Nederland Selatan diserahi menyusun peta dunia dan dimintai pandangan-pandangannya.

Ketika itu (1593) terbitlah sebuah buku Itineratio dalam bahasa Belanda karya Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua Asia dan mengenai Hindia (Indonesia), lengkap dengan adat istiadat, agama, barang dagangan yang disenangi penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia itu. Pengarang buku ini pernah ikut dalam expedisi Portugis ke Asia dan pernah tinggal beberapa lama di Goa, India.

Untuk menghindari pengejaran tentara Portugis, beberapa pedagang Belanda, dibantu oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba mengarungi Laut Es, sebelah utara benua Eropa dengan perhitungan akan memperoleh jalan tersingkat menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga kali percobaan ekspedisi ini dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami kegagalan. Kapal mereka terjepit di tengah-tengah lautan es di dekat pulau Nova Zembla, sehingga separoh anak buah kapalnya meninggal karena kedinginan. Laksamana Jacob van Heemskerck yang memimpin pelayaran itu kembali ke Amsterdam dengan susah payah menghabarkan kegagalan ekspedisinya.

Akhirnya pedagang-pedagang Amsterdam memper-siapkan empat buah kapal untuk mencari jalan ke Indonesia melalui Tanjung Harapan. Pada tangga 2 April 1595 kapal-kapal tersebut bertolak dari pangkalan Tessel, Belanda Utara, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman mengepalai urusan perdagangan, dan Pieter de Keyser mengepalai urusan navigasi.

Karena adanya dua pimpinan dalam satu ekspedisi pertama ini, maka sering terjadi keributan yang berasal dari perbedaan pendapat di antara keduanya. Hal demikian akhirnya menimbulkan perkelahian di antara anak buah kapal, sehingga sebuah kapal hancur dan sebagian penumpangnya tewas. Namun demikian, ekspedisi ini akhirnya membuahkan hasil, yakni dengan keberhasilan mereka mendarat di pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596.

Kedatangan kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk negeri dan seperti biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk pribumi yang naik ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya. Hal ini disalah artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh. Walau pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih menawarkan lada yang memang mereka butuhkan.

Bertepatan dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang bersiap-siap untuk mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten minta orang Belanda itu meminjamkan kapalnya guna pengangkutan prajurit dengan sewa yang memadai. Permintaan itu ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk berdagang dan setelah selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal Portugis yang datang.

Tapi sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih tetap belum pergi, karena menunggu panen lada yang tidak lama lagi; waktu panen lada harga akan jauh lebih murah. Alasan demikian membuat Mangkubumi Jayanegara marah. Lebih parah lagi, orang-orang Belanda itu pada suatu malam, menyeret dua buah kapal dari Jawa yang penuh dengan lada ke kapalnya dan memindahkan semua isinya. Dan dengan membawa muatan hasil rampokan itu mereka pergi sambil menembaki kota Banten.

Melihat kelakuan orang Belanda ini, rakyat Banten --- yang baru saja kehilangan sultannya --- sangat marah. Beberapa tentara Banten menyerbu ke kapal Belanda dan menangkap Houtman beserta delapan anak kapal. Dengan tebusan 45.000 gulden sebagai ganti kerugian, barulah de Houtman dilepaskan dan diusir dari Banten (2 Oktober 1596)[10].

Pada tanggal 1 Mei 1598 rombongan baru pedagang Belanda berangkat dari Nederland menuju Indonesia dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh Jacob van Neck dibantu oleh van Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal 28 Nopember 1598 rombongan kedua ini tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh rakyat Banten karena tingkah lakunya berbeda dengan pendahulunya. Pengalaman pertama yang merugikan itu rupanya dijadikan pelajaran. Mereka pandai membawa diri dan sanggup menahan hati bila berhadapan dengan Mangkubumi, bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun dikabulkan. Dengan membawa hadiah sebuah piala berkaki emas sebagai tanda persahabatan, van Neck menghadap kepada Sultan Abdul Mafakhir.

Mangkubumi Jayanagara membujuk van Neck untuk membantu tentara Banten dalam penyerangan ke Palembang --- sebagai pembalasan atas kematian Sultan Muhammad --- dengan imbalan lada sebanyak dua kapal penuh. Semula van Neck menyetujui usul Mangkubumi ini, tapi karena van Neck minta dibayar di muka satu kapal dan sisanya sesudahnya, sedangkan Mangkubumi menghendaki pembayaran sekaligus setelah penyerangan selesai, maka penyerangan ke Palembang tidak diteruskan. Van Neck kembali ke Belanda dengan tiga kapal yang penuh muatan, sedangkan van Waerwijk dan van Heemskerck melanjutkan perjalanannya ke Maluku dengan lima buah kapal (Tjandrasasmita, 1977:353 dan Djajadiningrat, 1983:164).

Dengan keberhasilan dua ekspedisi dagang ke Indonesia ini akhirnya berduyun-duyunlah orang-orang Belanda untuk berdagang. Tercatat pada tahun 1598 saja ada 22 kapal milik perorangan dan perikatan dagang dari Nederland menuju Indonesia. Bahkan tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesia dengan muatan penuh.

Suatu hari datanglah utusan khusus pemerintah Portugis dari Malaka dengan membawa hadiah uang 10.000 rial dan berbagai perhiasan yang bagus dan mahal. Mereka minta supaya Banten memutuskan hubungan dagang dengan Belanda dan apabila orang-orang Belanda itu datang supaya kapal-kapalnya dirusak atau diusir. Dikatakan pula, bahwa nanti akan datang armada Portugis yang akan mengadakan pembersihan terhadap kapal Belanda di perairan Banten dan negeri timur lainnya.

Mangkubumi Jayanagara menerima semua hadiah tersebut, tapi, secara rahasia, diutusnya kurir untuk menyam-paikan berita itu kepada pedagang Belanda, supaya mereka segera meninggalkan Banten karena armada Portugis akan menyergap mereka. Mendengar berita itu, kapal dagang Belanda pun segera meninggalkan Banten.

Tidak lama kemudian pada tahun 1598 sampailah angkatan laut Portugis dipimpim oleh Laurenco de Brito dari pangkalannya di Goa. Setelah dilihatnya tidak ada satu pun kapal Belanda yang berlabuh di Banten, marahlah mereka. Mangkubumi dituduh telah berhianat dan bersekongkol dengan Belanda karena membocorkan rahasia, dan menuntut supaya Mangkubumi mengembalikan semua hadiah yang sudah diberikan. Sudah tentu Mangkubumi tidak mau menuruti kemauan mereka, karena Portugis tidak ada hak dan wewenang untuk mengusir kapal-kapal asing yang sedang berlabuh di Banten.

Dengan kemarahan yang amat sangat, diserangnya pelabuhan Banten, barang-barang yang ada di sana dirampas dan diangkut ke kapalnya, bahkan lada kepunyaan pedagang dari Cina pun dirampasnya pula. Melihat kejadian itu, tentara Banten, yang memang sudah dipersiapkan, menyerang kapal-kapal Portugis itu, sehingga tiga buah kapal Portugis dapat dirampas dan seorang laksamananya tewas; sedangkan yang lainnya melarikan diri, setelah meninggalkan barang hasil rampasannya (Djajadiningrat, 1983: 164).

Karena persaingan ketat antar sesama pedagang Belanda yang berlomba-lomba untuk mendapat rempah-rempah dari negeri timur, maka keuntungan mereka pun sedikit, dan bahkan rugi --- dari data-data yang dikumpulkan, ternyata kerugiannya mencapai 5 laksa gulden. Melihat kenyataan ini maka pada tahun 1602 dibentuknya persatuan dagang yang kemudian diberi nama “Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan modal pertama 6,5 juta gulden dan berkedudukan di Amsterdam; dan tujuannya adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, di samping untuk memperkuat kedudukan Belanda melawan kekuasaan Portugis dan Spanyol.

Berdirinya VOC ini dibantu oleh pemerintah kerajaan Belanda, sehingga VOC diberi hak-hak sebagai berikut (Sutjipto, 1961:24):

1) Hak monopoli untuk berdagang di wilayah antara Amerika dan Afrika.

2) Dapat membentuk angkatan perang sendiri, mengadakan peperangan, mendirikan benteng dan bahkan menjajah.

3) Berhak untuk mengangkat pegawai sendiri.

4) Berhak untuk membuat peradilan sendiri (justisi).

5) Berhak mencetak dan mengedarkan uang sendiri.



Sebaliknya VOC mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah kerajaan Belanda, yaitu :

1) Bertanggung jawab kepada Staten General (Dewan Perwakilan Rakyat Belanda).

2) Pada waktu perang harus membantu pemerintah dengan uang dan angkatan perang.



Pembentukan VOC di samping untuk menyatukan langkah dalam perdagangan dan modal, juga didorong dengan adanya saingan baru yang dianggapnya berat, yaitu pedagang-pedagang Inggris yang telah membentuk satu kongsi dagang yang bernama EIC (East India Compagnie) pada tahun 1600.

Untuk memudahkan gerak dan siasat dagangnya, VOC membuka kantor-kantor cabang di Middelberg, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Setelah dirasa kedudukan VOC sudah mapan, maka pada tahun 1610 dibuka pula kantor dagang untuk Hindia Timur atau Kepulauan Nusantara, dengan Pieter Both menjadi Gubernur Jendral yang dibantu Dewan Penasehat (Raad van Indie) yang anggotanya terdiri dari 5 orang.

Dicarinya daerah-daerah strategis untuk dijadikan pusat kegiatan di Hindia Timur ini. Alternatif pertama dipilihnya Johor, tetapi karena Johor terlalu dekat dengan Malaka yang duduki Portugis, maka dipilihnya alternatif kedua yakni Banten. Walaupun di Banten telah berdiri perwakilan dagang VOC sejak tahun 1603 --- yang diketuai oleh Francois Wittert --- tapi karena di Banten pun Mangkubumi Arya Ranamanggala selalu bertindak tegas dalam menghadapi orang-orang asing, pilihan ini dibatalkan. Akhirnya VOC menetapkan Jayakarta sebagai pusat kegiatannya, karena walau pun Jayakarta di bawah kuasa Banten, namun penguasa di sana tidak begitu kuat. Maka pada tahun 1610 berangkatlah Pieter Both dari Amsterdam menuju Jayakarta bersama dengan 8 buah kapal besar. Pada bulan Nopember 1611 VOC berhasil mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Untuk mengontrol tindakan VOC, Pangeran Jayakarta membolehkan perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam East India Company (EIC) membuat kantor dagangnya di Jayakarta, berhadapan dengan kantor dagang VOC.



2. Mangkubumi Arya Ranamanggala

Setelah Mangkubumi yang juga ayah tiri Sultan dibunuh orang, maka diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala menjadi penggantinya. Pangeran Arya Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf dari istri yang bukan permaisuri. Tentang tahun kelahirannya tidak jelas, tapi yang pasti dia lebih muda dari Maulana Muhammad (Djajadiningrat, 1983:190).

Tindakan pertama yang dilakukannya sebagai Mangkubumi adalah menertibkan keamanan negara. Yaitu dengan memberikan hukuman tegas kepada pangeran atau ponggawa yang melakukan penyelewengan, bahkan untuk kelancaran pemerintahan Sultan Muda pun tidak diizinkan mempengaruhi urusan pemerintahan. Hal ini berlangsung hingga Sultan mempunyai anak tiga (Djajadiningrat 1983:190). Dengan cara demikian barulah kerajaan Banten dapat diselamatkan dari kehancuran dan perpecahan, baik dari rongrongan di dalam maupun desakan-desakan dari negara asing. Peraturan-peraturan atau pun keputusan-keputusan Mangkubumi terdahulu diperbaharuinya. Peraturan yang berisi tentang keharusan pedagang Cina untuk menjual lada hanya kepada Belanda dicabutnya, kemudian dibuatlah peraturan yang isinya menyatakan bahwa siapa pun dapat membeli atau menjual lada kepada siapa saja dengan harga yang disetujui bersama.

Dalam menghadapi pedagang-pedagang asing Eropa, Mangkubumi tidak bertindak "berat sebelah", tingkah laku mereka yang kadang-kadang menyinggung perasaan, terutama pedagang-pedagang dari Belanda, akan ia tanggapi dengan kepala dingin. Ini dapat dibuktikan sewaktu pedagang Belanda mengajukan perjanjian pada tahun 1609. Naskah perjanjian yang dibuat Belanda itu diajukan kepada Mangkubumi yang isinya adalah:

1. Belanda bersedia membantu Banten apabila diserang oleh negara lain, tapi kalau Banten akan menyerang negara lain Belanda tidak akan membantu.

2. Belanda dibolehkan berniaga dengan rakyat Banten. Dan apabila ada orang Belanda yang ingin menetap di Banten dia tidak dikenakan pajak.

3. Bangsa Eropa selain bangsa Belanda tidak dibolehkan tinggal di Banten.



Perjanjian yang berat sebelah dan sangat menyinggung kewibawaan negara itu tidak ditolaknya dengan kasar, tapi diterimanya dengan senyum biar pun isinya tidak diterima. Bahkan tidak lama kemudian dikeluarkan peraturan tentang kenaikan pajak ekspor untuk lada dan ketentuan pajak import untuk barang-barang yang tadinya belum terkena peraturan pajak.

Dalam hal perpajakan di Banten pada tahun 1609, secara terperinci dicatat oleh pegawai Belanda dimana untuk membeli 8440 karung lada dikenakan pajak sebagai berikut :

Pajak kerajaan sebesar 8 % dari harga beli:

(4 real per karung) f. 6.346,00

Ruba-ruba untuk raja, dengan ketentuan:

500 real untuk 6000 karung f 1.625,00

Ruba-ruba untuk Syahbandar

250 real untuk 6000 karung f 625,00

Beli-belian (suatu pajak khusus)

666 real tiap satu karung f 2.202,00

Panggoro, pajak khusus lain :

11,50% cash tiap satu karung f 14,00

Pajak untuk juru tulis

dihitung per 100 karung f 198,00

Pajak untu juru timbang

per 100 karung f 198,00

Biaya mengangkut lada ke rumah timbang f 98,00

Jumlah f 11.533,00

Jumlah f. 11.533,00 ini harus dibayar sebagai pajak ekspor barang seharga f. 33.760,00. Kain yang dimasukkan Belanda dikenakan pajak sebesar 3 % dari harga jual, bahkan untuk barang ekspor yang bukan hasil dalam negeri dikenakan pajak lebih besar (Tjandrasasmita, 1975:80).

Ternyata, pajak yang demikian besar itu hanya berlaku untuk orang Belanda. Karena dalam kenyatannya pedagang dari Cina hanya dikenakan pajak 5% dari harga beli dengan syarat mereka harus membawa hadiah berupa barang porselen Cina. De-ngan demikian tidaklah heran apabila penulis-penulis Belanda menceritakan Mangkubumi Arya Rana-manggala ini adalah orang yang paling jahat, curang dan rakus (Djajadiningrat, 1983:190).

Peraturan ketat semacam ini dilakukan Mangkubumi dengan maksud supaya pedagang-pedagang Belanda tidak lagi berniaga di Banten, karena setelah diperhatikan, mereka bukan saja datang semata-mata untuk berdagang, tapi juga berusaha menanamkan pengaruh dan mencampuri politik negara. Karena faktor Arya Ranamanggala ini pulalah maka VOC tidak memilih Banten sebagai pusat kegiatan dagangnya, tetapi dipilihnya Jayakarta.

Yang berkuasa di Jayakarta pada saat itu ialah Pangeran Jayakarta atau disebut juga Pangeran Wijayakrama, yang memerintah atas nama Kesultanan Banten. Pangeran Jayakarta ingin supaya pelabuhan Jayakarta ramai seperti Banten, sehingga tawaran L'Hermito untuk menjadikan Jayakarta sebagai pusat perdagangan Belanda diterima dengan senang hati. Maka pada tanggal 10-13 Nopember 1610, ditandatanganilah perjanjian antara VOC, yang diwakili oleh L'Hermito dengan Pangeran Jayakarta. Perjanjian tersebut kemudian disyahkan oleh Gubernur Jenderal Pieter Both pada bulan Januari 1611. Isi perjanjian antara lain adalah sebagai berikut:

1) Orang Belanda dibolehkan membeli tanah di Jayakarta seluas 50 depa dengan harga 1.200 real.

2) Barang-barang yang dibeli orang Belanda dikenakan pajak, kecuali barang tersebut dibeli dari pedagang Cina.

3) Bahan makanan kebutuhan sehari-hari tidak dikenakan pajak.

4) Belanda akan membantu Jayakarta apabila diserang musuh, tapi tidak kalau Jayakarta yang memulai penyerangan.

5) Orang Portugis dan Spanyol tidak dibolehkan berdagang di Jayakarta.

6) Belanda dibolehkan mengambil kayu untuk bahan pembuat kapal di pulau-pulau di depan teluk Jakarta.

7) Pegawai-pegawai yang lari dari kedua belah pihak akan dikembalikan.

8) Pangeran bersedia menagih piutang orang Belanda apabila dimintakan.

9) Kedua belah pihak akan menghukum orang masing-masing apabila mereka bersalah.



Pada bulan Januari 1611, Pieter Both membujuk Pangeran Jayakarta untuk mengizinkan VOC membuat benteng, tetapi permintaan itu dengan tegas ditolak, bahkan Pangeran menginginkan bahan makanan yang dibeli VOC pun harus dikenakan pajak. Terpaksa keinginan itu dituruti Pieter Both. Karena izin mendirikan benteng tidak diperoleh, maka VOC mendirikanlah sebuah gedung batu yang digunakan sebagai kantor dan gudang di sebelah timur sungai Ciliwung (Sanusi Pane, 1950:193).

Dibukanya hubungan dagang dengan Belanda ini membuat semakin ramainya pelabuhan Jayakarta. Hubungan intim ini membuat gusar Mangkubumi Ranamanggala. Khawatir akan niat baik Belanda terhadap Jayakarta yang nanti akhirnya akan merembet ke daerah Banten lainnya. Maka Mangkubumi mengutus Nyai Emban Rangkum, seorang yang dianggap berwibawa bagi Pangeran Jayakarta, untuk menghadap Pangeran Jayakarta dan memberi peringatan agar hati-hati dengan orang-orang Belanda. Peringatan ini bukannya diterima baik oleh Pangeran Jayakarta tapi bahkan membuat curiga dan prasangka buruk terhadap Mangkubumi. Hal inilah yang membuat hubungan antara Jayakarta dan Banten agak sedikit renggang, bahkan kadang-kadang seperti bermusuhan.

Situasi panas antara Jayakarta dan Banten ini sengaja diperuncing lagi oleh Jan Pieterzoon Coen, presiden direktur kantor dagang Belanda di Banten dan Jayakarta yang baru, dengan memindahkan sebagian besar kegiatan dagang Belanda dari Banten ke Jayakarta, sehingga perdagangan di Banten sedikit menurun --- walau pun, untuk menjaga membesarnya pengaruh Inggris di Banten, VOC masih tetap membuka kantor perwakilannya di Banten[11].

Pada tahun 1618, datanglah di Banten kapal berbendera Perancis tetapi awak kapal dan bahkan nahodanya orang Belanda, padahal ada larangan keras dari pemerintah Belanda, bahwa bagi orang Belanda yang bekerja di kapal asing tidak boleh membocorkan rahasia peta jalan menuju ke negara timur, tapi mungkin karena pembayaran yang tinggi, maka ada juga yang tidak mentaati. Semua awak kapal Perancis itu ditawan oleh Pieterzoon Coen --- yang pada tahun itu (bulan Juni 1618) ia diangkat menjadi Gubernur Jendral VOC untuk Hindia Timur, menggantikan Pieter Both. Tetapi dengan pertolongan orang Inggris, di antara mereka itu ada yang dapat melarikan diri dan minta perlindungan kepada Mangkubumi Ranamanggala.

Jan Pieterszoon Coen mendesak Mangkubumi supaya menye-rahkan orang Belanda yang melarikan diri itu, tapi sebaliknya Mangkubumi pun mendesak supaya melepaskan kapal Perancis dan awaknya, karena Belanda tidak berhak menangkap kapal asing di pelabuhan Banten. Coen bukannya mengindahkan kehendak Mangkubumi, bahkan dibawanya kapal Perancis itu ke Jayakarta. Atas perbuatan Belanda itu Mangkubumi tidak dapat berbuat apa-apa karena memang Banten tidak ada kekuatan untuk menggempur kompeni Belanda.

Makin meruncinglah permusuhan antara Banten dan VOC. Untuk memperlunak sikap keras Mangkubumi dan juga mengacaukan perekonomian Banten, kompeni mengadakan blokade ekonomi; dimana VOC tidak lagi membeli lada dari Banten, bahkan, kapal-kapal asing pun dilarang berlabuh di Banten. Tindakan VOC ini sangat merugikan Banten, sehingga harga lada di pasar Banten menurun tajam.

Suatu hari datanglah kapal jung dari negeri Cina yang tujuannya hendak membeli lada di Banten, dan dengan mudah terjadilah transaksi jual beli dengan pedagang Banten. Kejadian ini terdengar oleh JP. Coen, sehingga dengan marah diancamnya pedagang Cina itu agar segera mengembalikan lada yang sudah dibelinya, dan apabila tidak maka kapalnya akan ditenggelamkan di tengah laut oleh Belanda. Mangkubumi memprotes tindakan rendah Belanda itu, tapi kembali beliau tidak bisa berbuat apa-apa.

Empat bulan embargo VOC atas Banten ini berlang-sung, sehingga pedagang-pedagang asing tidak dapat membeli lada dari Banten karena takut dengan ancaman Belanda, akibatnya pelabuhan Banten sepi dari kapal-kapal dagang. Sebaliknya pelabuhan Jayakarta semakin ramai. Perdagangan VOC semakin maju, sehingga untuk menampung barang dagangannya dibutuhkan tambahan gudang yang lebih luas. Maka dibangunnya lagi sebuah gudang baru di tepi sungai Ciliwung berhadapan dengan Nasau, gudang yang pertama. Gudang ini diberi nama Mauritius sesuai dengan nama raja Belanda, Prins Maurits. Selain itu dibuatnya pula sebuah rumah sakit dan sebuah kubu yang dikawal meriam dengan pasukan yang kuat di pulau Onrust di Teluk Jayakarta. Bahkan pada tanggal 22 Oktober 1618, VOC juga mulai membangun sebuah benteng kuat yang seluruh penjurunya dijaga meriam-meriam besar.

Pembangunan benteng ini ditentang keras oleh Pangeran Jayakarta, tetapi Belanda terus membangunnya juga. Terpukullah rasa harga diri Pangeran, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak ada kemampuan untuk mencegah niat Belanda itu. Maka sadarlah akan bahaya orang Belanda atas Banten dan Jayakarta khususnya. Tapi diingatnya pula akan ketergantungan Jayakarta dengan adanya pedagang Belanda itu, apalagi pangeran dan pejabat-pejabat tingginya sudah sering mendapatkan hadiah-hadiah dari orang Belanda. Khawatir dengan tindakan orang Belanda selanjutnya dan lemahnya kekuatan tentara Jayakarta, maka diambil kebijaksanaan bahwa semua orang asing yang tinggal di Jayakarta dapat mendirikan benteng-benteng pertahanan. Dengan keizinan ini orang Inggris segera membuat benteng di tepi barat sungai Ciliwung, berhadapan dengan benteng Belanda. Demikian juga dengan pedagang-pedagang Cina.

Melihat pembangunan benteng Inggris itu Jan Piterzoon Coen mengajukan protes. Karena protesnya tidak ditanggapi, maka ia memerintahkan tentara Belanda menembak hancur benteng yang sedang dibuat Inggris. Orang Inggris tidak mampu melawan serangan Belanda itu karena kekuatannya jauh lebih kecil dibanding dengan tentara Belanda. Demikian juga dengan pedagang-pedagang Cina.

Pada tanggal 23 Desember 1618 berlabuhlah di Jayakarta 11 buah kapal Inggris. Melihat kenyataan bahwa benteng yang baru dibangun Inggris itu telah dihancurkan Belanda, mereka pun menyerang benteng Belanda dari laut, dan Belanda pun membalasnya dengan mengerahkan 7 buah kapal perangnya. Maka terjadilah pertempuran hebat di Teluk Jayakarta antara dua kekuatan yang seimbang. Tetapi akhirnya Belanda terdesak setelah Inggris mendatangkan lagi 3 buah kapal yang lain. JP. Coen memerintahkan sebagian pasukannya mundur dan melarikan diri ke Ambon untuk mencari bantuan. Hal ini terjadi pada tanggal 31 Desember 1618. Sedangkan di benteng kompeni sepeninggal JP. Coen, pimpinan benteng dipercayakan kepada Pieter van den Broecke, disertai 250 orang termasuk 25 orang Jepang dan 70 orang budak belian, mereka diperintahkan untuk tetap bertahan di dalam benteng.

Sementara itu di keraton Surosowan, mendengar adanya pertempuran di Teluk Jayakarta segera diadakan pertemuan pembesar-pembesar keraton untuk segera mengirimkan bantuan ke Jayakarta guna menghancurkan benteng Belanda. Jayakarta adalah daerah kuasa Banten, sehingga kehancuran Belanda sangat diharapkan Mangkubumi, meski pun tidak mengharapkan Inggris nantinya menggantikan Belanda. Maka berangkatlah 4000 orang tentara Banten, yang kemudian ditempatkan di Muara Angke sambil menunggu perintah selanjutnya.

Benteng Belanda telah dikepung dari tiga jurusan, di Teluk Jayakarta Inggris menempatkan 5 buah kapalnya, sebelah barat oleh pasukan Banten sedangkan di selatan oleh tentara Jayakarta. Dapat dipastikan bila ketiga kekuatan ini menyerang secara bersamaan, benteng Belanda tanpa kesulitan akan mudah direbut.

Tapi tidak demikian keadaannya. Inggris ingin agar benteng Belanda itu direbut dan dikuasai sebagai ganti benteng mereka yang dihancurkan Belanda. Sedangkan Pangeran Jayakarta dan orang-orang Banten menginginkan benteng Belanda tersebut dihancurkan dan semua penghuninya ditahan, karena, secara ekonomis, Jayakarta dan Banten masih membutuhkan kehadiran pedagang Belanda itu. Tujuan Pangeran Jayakarta dan Pangeran Ranamanggala pun berbeda. Pangeran Jayakarta menginginkan agar Pangeran Ranamanggala jangan terlalu dekat dengan pihak Belanda, sebab hal itu akan merugikan kedudukan Jayakarta. Sedangkan Pangeran Ranamanggala berprinsip bahwa Jayakarta adalah daerah taklukan Banten sehingga semua tindakan Jayakarta, apalagi tentang hubungan luar negeri, harus atas izin Banten. Dari perbedaan tujuan ini, akhirnya tidak ada satu pasukan pun yang mendahului menyerang benteng.

Setelah beberapa hari benteng Belanda itu dikepung, Pangeran Jayakarta memerintahkan agar perang ditangguhkan dan diajukan perdamaian. Maka pada tanggal 19 Januari 1619 terjadi kesepakatan antara Pangeran Jayakarta dengan Belanda, dimana Belanda diharuskan membayar kerugian 6000 real kepada Pangeran Jayakarta, sedangkan komandan pasukan Belanda yang ada di benteng, Pieter van den Broecke, ditahan sebagai jaminan.

Pada waktu yang hampir bersamaan diadakan pula perjanjian antara Inggris dan Pangeran Jayakarta yang berisi:

1) Inggris akan membayar kerugian perang kepada Pangeran Jayakarta sebanyak 2000 real.

2) Orang Belanda dilarang berniaga di Jayakarta

3) Inggris dan Jayakarta akan bersama-sama menyerang benteng Belanda. Kemudian benteng yang telah direbut itu akan diserahkan kepada Pangeran Jayakarta. Sedangkan harta bendanya dibagi dua antara Inggris dan Pangeran Jayakarta.

Dengan adanya perjanjian antara Pangeran Jayakarta dan pasukan Inggris ini pengepungan benteng diperketat. Diserukan kepada orang-orang Belanda agar menyerah secara baik-baik --- yang nanti mereka akan dikirim ke Koromandel atas jaminan Inggris --- atau benteng akan direbut secara paksa. Melihat banyaknya pasukan yang mengepung, maka komandan pasukan Belanda menyatakan diri akan menyerah.

Diaturlah tatacara pengambilalihan benteng dan pengamanan tawanan. Disepakati bahwa perjalanan orang Belanda ke Koromandel akan dikawal ketat oleh pasukan Inggris, supaya jangan diganggu tentara Banten dan Jayakarta. Rencana ini telah disetujui baik oleh Belanda, Inggris, maupun Jayakarta. Tiba-tiba ketika maksud tersebut akan dilaksanakan, datang sanggahan dari Banten. Pangeran Arya Ranamanggala tetap berprinsip Jayakarta adalah daerah kekuasaan Banten, oleh karenanya tidak ada hak untuk mengadakan perjanjian dengan orang asing tanpa persetujuan Banten. Di samping itu, Ranamanggala berpendapat bahwa orang Belanda dan orang Inggris sama saja, mereka ingin mengeruk kekayaan negara tanpa memperdulikan keadaan penduduk asli. Bila dalam keadaan lemah, mereka bersedia mentaati perjanjian, tapi bila sudah kuat dirobeklah perjanjian tersebut. Penghancuran benteng Belanda mutlak harus dilaksanakan, dan semua tawanan harus diserahkan serta menjadi wewenang Banten. Demikian juga dengan pihak Inggris, mereka harus segera pergi dari Jayakarta. Dan apabila mereka tidak mau, maka pemerintah Banten akan menghancurkan semua kapal dan loji Inggris yang ada di Banten.

Utusan Pangeran Ranamanggala, yaitu Tumenggung Pangeran Upapatih, beserta 4000 orang pasukannya mengepung orang-orang Inggris, sehingga mereka kembali ke pangkalannya di Banten. Orang-orang Belanda yang ditawan Pangeran Jayakarta diserahkan kepada Pangeran Upapatih. Dan atas perintah Mangkubumi Ranamanggala, Pangeran Jayakarta dipecat dari jabatannya, kemudian bersama Tumenggung dan lima puluh pengawalnya dikirim ke Tanahara untuk menjalani hukuman. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 15 Pebruari 1619 (Djajadiningrat, 1983:184)[12].

Selanjutnya, Banten mendesak agar Belanda menye-rahkan bentengnya untuk kemudian dihancurkan. Tetapi setelah dilihatnya tentara Banten tidak begitu kuat, pasukan Belanda tidak mau menyerah, mereka lebih baik bertahan di dalam benteng sambil menunggu bantuan.

Pada tanggal 10 Mei 1619 Pieter de Carpentier dan Andaris Soury dengan kapal Ceylon tiba di Jayakarta mendahului kapal yang ditumpangi JP Coen. Beberapa hari kemudian JP Coen menyusul dengan enam belas kapal dari Ambon. Dengan kekuatan 1000 orang tentara Belanda ini pengepungan benteng tidak ada artinya lagi. Maka pada tanggal 30 Mei 1619 benteng dan sekitarnya telah jatuh ke tangan kompeni Belanda (VOC). Mereka kemudian menamakan tempat tersebut menjadi Batavia, sebagai peringatan kepada nenek moyang bangsa Belanda, yaitu suku Bataaf.

Pada bulan April 1619, Jan Pieterszoon Coen memerintahkan tentaranya untuk merampas daerah-daerah di seberang sungai Ciliwung, yang termasuk wilayah Banten. Hanya dengan mengerahkan 1000 orang tentaranya saja Belanda dapat merebut seluruh kota Jayakarta. Tembok-tembok batas kota dan benteng Jayakarta dihancurkan dan dibakar habis. Dan sejak saat itu nama Jayakarta pun diganti dengan Batavia (Djajadiningrat, 1983:186). Dengan ancaman akan menyerang Banten, akhirnya Mangkubumi Ranamang-gala menyerahkan kembali orang-orang Belanda yang ditawanannya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Mei 1619 (Hamka, 1976:269).

Supaya dalam hal pengadaan beras jangan terlalu bergantung kepada Mataram, Belanda membuat sawah-sawah baru di sekitar Batavia. Dan karena penduduk pribumi selalu mengadakan perlawanan --- dipimpin oleh beberapa ponggawa Pangeran Jayakarta orang-orang Banten --- JP Coen pun mengambil beribu-ribu orang Cina untuk dipekerjakan. Orang-orang Cina itu diberi tanah untuk bertani, berdagang bahkan diperbantukan untuk membuat benteng-benteng di sekeliling kota. Di antara mereka diangkat menjadi kepala penduduk Cina, yang diberi wewenang untuk mengambil pajak tanah bagi penduduk pribumi, dan bahkan memelihara tentara sendiri[13]. Di luar benteng kota Batavia, rakyat Jayakarta di bawah pimpinan Pangeran Wijayakusumah, Tubagus Arya Suta dan Tubagus Wahas terus mengadakan perlawanan dengan bantuan prajurit-prajurit Banten[14].

Pada tahun 1619 itu pula diadakan perjanjian persahabatan antara kompeni Belanda (VOC) dengan Inggris dalam hal perdagangan di nusantara. Inggris dibolehkan berdagang di Batavia, meski dalam prakteknya, antara orang Inggris dan orang Belanda sering terjadi bentrokan, sehingga akhirnya orang Inggris pindah ke Banten.

Dalam pada itu, kekalahan pasukan Banten di Jayakarta, membuat rakyat Banten tidak pernah berhenti menentang VOC. Sering terjadi bentrokan antar kedua belah pihak. Pejuang-pejuang Banten sering mengadakan perampasan dan keributan di darat maupun di laut terhadap orang-orang Belanda. Kapal-kapal VOC sering dirampok, orangnya dibunuh dan kapalnya ditenggelamkan. Demikian juga perkebunan-perkebunan tebu yang ditangani Belanda dirusaknya, mereka membabat pohon-pohon tebu itu pada malam hari. Kejadian semacam ini sering dan sukar sekali ditumpasnya, karena mereka menggunakan sistim gerilya. Diserangnya rombongan Belanda pada malam hari kemudian apabila pasukan dari Batavia datang, mereka lari; sehingga tentara kompeni jarang dapat menangkap perusuh-perusuh itu.

Setelah perang pada tahun 1619 itu, Banten menempatkan pasukannya yang besar dan kuat di Tangerang. Pasukan ini dipimpin oleh Tumenggung Wirautama dan Rangga Wirapatra dibantu oleh dua orang kepercayaan Mangkubumi. Pasukan khusus ini dipersiapkan bukan saja sebagai benteng penghalang antara Batavia dengan Banten, tapi juga dapat digunakan untuk menyerang Batavia. Dari Tangerang inilah kegiatan gerilya Banten di lancarkan (Djajadiningrat, 1983:50).

Karena gangguan-gangguan ini maka hubungan antara Batavia dan Banten menjadi tetap tegang. Sehingga tahun 1633 terjadilah perang besar antara dua kekuatan yang saling bermusuhan itu.

Kira-kira bulan Januari 1624, Mangkubumi Pangeran Arya Ranamanggala meletakkan jabatannya karena sakit, segala kewenangan diserahkan kepada Sultan Abdul Kadir yang memang sudah dewasa. Tapi walaupun demikian, Ranamanggala masih menjadi orang yang sangat dibutuhkan nasehatnya oleh Sultan dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Bahkan kadang-kadang pendapatnyalah yang dijadikan padoman kebijaksanaan Sultan. Hal ini dapat dibuktikan dengan keputusan tentang hubungan Banten dengan kompeni Belanda. Banten tetap tidak dapat bersahabat dengan Belanda, walaupun Sultan dengan pembesar lainnya cenderung untuk berdamai (Djajadiningrat, 1983:190). Barulah pada tanggal 16 Nopember 1624, Pangeran Arya Ranamanggala menyerahkan pemerintahan seluruhnya kepada Sultan.

Dua tahun kemudian yakni tanggal 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Dengan upacara kenegaraan jenazahnya dimakamkan di serambi barat Masjid Agung. Untuk memperingati kebesaran pahlawan besar ini, rakyat Banten kemudian menyebutnya dengan Pangeran Gede (Djajadiningrat, 1983:191).



3. Penyerbuan Mataram ke Batavia

Setelah Sultan Sutawijaya meninggal, diangkatlah anaknya yang bernama Mas Jolang sebagai sultan di Mataram (1601 - 1613). Sedangkan putra sulungnya yaitu Pangeran Puger menjadi adipati Demak. Mas Jolang meninggal di desa Krapyak dan dimakamkan di Pasar Gede dengan gelar Sedo Krapyak. Sebagai penggantinya diangkatlah putra sulungnya Mas Rangsang dengan gelar Penembahan Agung Senopati Ing Ngalogo Ngamdurahman (1613 - 1645), atau disebut juga Prabu Pandito Cokrokusumo. Kemudian ia memakai gelar Sultan sehingga dikenal dengan nama Sultan Agung.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung ini, Mataram mengalami zaman kejayaan. Hasil pertaniannya, terutama beras, melimpah sehingga menjadi hasil ekspor terbesar bagi Mataram. Ibu kota kerajaan semula di Karta (Kartosuro) yang kemudian dipindahkan ke Plered, yang kedua-duanya terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sekarang. Untuk menggambarkan bagaimana keadaan penduduk Kartosuro, dikatakan bahwa makanan yang dibutuhkan rakyat adalah 4000 ekor binatang sembelihan setiap hari dan kalau gong di pojok-pojok kota dipukul, maka dalam tempo setengah hari saja berkumpul 200.000 orang yang siap dengan senjata di tangan (Sanusi Pane 1950:197-198).

Sultan Agung bercita-cita untuk menyatukan Pulau Jawa dalam pemerintahannya dan mengusir Belanda. Untuk itu ia menyiapkan tentara yang kuat dengan penasehat yang cakap yaitu Kalifah Imam dan Kiyai Surodono. Dalam waktu yang relatif singkat direbutnya Wirosobo, Lasem, Pasuruan, Pajang dan Tuban. Demikian juga Madura (1624), Surabaya (1625) dan Blambangan (1639). Bahkan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat pun yaitu Cirebon, dan Priyangan mengakui kekuasaan Mataram. Sehingga otomatis hampir seluruh Jawa kecuali Batavia dan Banten, berada di bawah kekuasaan Mataram. Usaha penaklukan Banten sudah sering dilakukan Mataram; misalnya pada tahun 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000 tentaranya ke Banten dan menyerang dari laut; tapi tidak berhasil. Demikian juga pada tahun 1626 dengan bantuan dari Palembang, Mataram mengulangi lagi usahanya itu walau tanpa hasil apapun (Djajadiningrat, 1983:180-20).

Dorongan ingin menguasai seluruh Jawa inilah yang merisaukan kesultanan Banten, sehingga hubungan antara Banten dengan Mataram kelihatan selalu tegang. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Banten membiarkan orang-orang Belanda tetap diam di Jayakarta. Padahal pada permulaannya banyak pembesar Banten mengusulkan supaya kompeni Belanda itu diusir sebelum mereka kuat. Mangkubumi Arya Ranamanggala berpikir bahwa tempat kedudukan orang Belanda itu dapat dijadikan penghalang atau benteng pemisah antara Mataram dan Banten (Djajadiningrat, 1983:47).

Di pihak lain, musuh terbesar Mataram adalah kompeni Belanda, tapi rasanya Sultan Agung belum cukup kuat untuk menyerang Batavia. Tapi apabila Banten sudah berada di bawah kuasanya, barulah saat penyerbuan ke Batavia ini akan dimulai. Hal demikian sukar sekali terwujud, karena jalan ke Banten terhalang oleh kekuasaan Belanda di Batavia. Oleh karenanya diajukan usul kepada kompeni; bahwa apabila kompeni bersedia membantu penyerbuan Mataram ke Banten, maka kompeni akan dibolehkan membeli beras dari Mataram sebanyak-banyaknya. Usul itu ditolaknya karena kompeni sudah mengetahui maksud yang tersimpan dalam tawaran perjanjian itu.

Baru setelah Surabaya dapat dikuasai Mataram (1625), Sultan Agung merencanakan penyerangan ke Batavia. Untuk perbekalan bagi pasukannya, disiapkan di tempat-tempat yang dilalui, seperti di Jepara, Tegal, Kendal, Pekalongan, Ciasem, Cirebon dan Kerawang --- yang direbutnya dari Banten. Karawang terkenal penghasil beras yang besar bagi Banten (Djajadiningrat, 1983:200).

Dalam pada itu Jan Pieterszoon Coen diberhentikan sebagai Gubernur Jendral VOC pada tahun 1623. Akan tetapi pada tahun 1627 dia diangkat kembali setelah didengar berita bahwa Mataram akan menyerbu Batavia.

Pada tahun 1628 berangkatlah pasukan Mataram untuk menyerang Batavia. Pasukan ini dibagi dalam tiga kelompok. Pasukan pertama dipimpin oleh Baurekso yang akan menyerang Batavia pertamakali dari laut. Pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Sura Agulagul, Dipati Mandureja, Dipati Upasanta, Dipati Tohpati dan Tumenggung Anggabaya. Pasukan ini lebih banyak dari pasukan pertama dan akan berperang apabila Baurekso terdesak. Sedangkan pasukan ketiga dipimpin oleh Adipati Juminah dan Pangeran Singaranu. Pasukan ketiga ini jumlahnya sama dengan pasukan kedua, mereka akan menyerang apabila diperlukan (Djajadiningrat, 1983:50 dan 186).

Mendengar adanya pemberangkatan pasukan Mataram secara besar-besaran itu, Sultan Banten merasa cemas, diperintahkannya supaya memperkuat pasukan penyanggah di Tangerang. Dikhawatirkan kalau-kalau pasukan Mataram ini kemudian akan menyerang Banten.

Pasukan Mataram yang dikerahkan untuk menyerbu Batavia ini adalah pasukan terbesar dalam sejarah Jawa. Karena pasukan ini adalah gabungan dari prajurit-prajurit Surabaya, Demak, Pasuruan, Ponorogo, Madura, Priyangan dan lain-lain (Sanusi Pane, 1950:204).

Sore hari tanggal 26 Agustus 1628 datanglah 59 kapal Mataram di pelabuhan Batavia dengan menyamar sebagai kapal dagang dengan membawa 80.000 prajurit yang dipimpin Baurekso. Maka terjadilah perang besar yang banyak memakan korban di kedua belah pihak. Pasukan Mataram tidak dapat menembus benteng pertahanan Belanda, karena memang Belanda telah menyiapkan meriam-meriam besar untuk menghadapi pasukan Mataram. Pertempuran itu berlangsung sampai berminggu-minggu, sehingga Mataram harus mengakui kekuatan senjata yang dimiliki VOC. Pengepungan pasukan Mataram dibuat tidak berdaya lagi, bahkan akhirnya Tumenggung Baurekso sendiri gugur dalam pertempuran 21 Oktober 1628 (Djajadiningrat 1983:186).

Melihat keadaan pasukan Baurekso itu maka pada tanggal 21 September 1628 pasukan kedua bergabung untuk menyerang Batavia dari segala arah. Hampir Batavia dapat direbutnya. Tembok-tembok kota diruntuhkan dan benteng-benteng kecil di sekitar kota dapat direbut. Sehingga serdadu kompeni Belanda hanya dapat bertahan di dalam benteng induk di tepi sungai Ciliwung saja.

Untuk memaksa pasukan Belanda keluar dari bentengnya, Tumenggung Sura Agul-agul memerintahkan untuk memben-dung sungai Ciliwung dan mengalihkan alirannya, sehingga di perbentengan akan mengalami kesulitan air. Dan memang hal ini terjadi. Penyakit kolera berjangkit dalam benteng, bahkan akhirnya Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sendiri mati terkena penyakit ini (Djajadiningrat, 1983:187).

Dalam situasi yang sangat menentukan itu, ternyata pertempuran yang berjalan hampir lima bulan tersebut banyak menghabiskan tenaga, dana, kecerdikan dan keberanian, juga persediaan makanan. Persedian makanan pasukan Mataram sudah semakin menipis, sedangkan orang-orang Banten tidak ada yang mau membantunya. Hal ini dapat dipahami, karena memang antara Banten dan Mataram sedang ada dalam situasi permusuhan dan saling curiga. Sehingga banyak prajurit Mataram yang meninggal karena kelaparan atau karena penyakit. Melihat keadaan yang menyedihkan ini, maka pada tangga 3 Desember 1628 Tumenggung Sura Agul-agul memerintahkan pasukannya kembali pulang ke Mataram (Djajadiningrat, 1983:186).

Tapi baru saja orang Belanda mengira bahwa pertempuran sudah selesai, datanglah pasukan Mataram yang lebih besar. Pasukan ketiga dipimpin oleh Pangeran Juminah, Pangeran Singaranu, Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Dikepungnya kembali benteng Belanda itu. Karena banyaknya pasukan Mataram ini, maka orang Belanda tidak ada yang berani menyerang keluar dari perbentengan.

Pengepungan ini berjalan berbulan-bulan. Tapi karena kelaparan, penyakit dan banyaknya prajurit Mataram yang meninggalkan barisan, maka makin lemahlah pasukan penyerang. Pengepungan ini pun mengalami kegagalan yang tragis. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1629, pasukan Mataram menghentikan pengepungannya dan mereka kembali ke Mataram dengan meninggalkan prajurit-prajuritnya yang mati dan sakit diperjalanan (Djajadiningrat, 1983:51 dan 187).

Sultan Agung sangat marah mendengar kekalahannya itu. Direncanakannya lagi penyerangan ke Batavia yang akan dipimpinnya sendiri. Untuk supaya kejadian kekalahan itu jangan terulang lagi, maka harus dibuat lumbung-lumbung padi di beberapa tempat di dekat Batavia; dan tugas ini diserahkan kepada Kerawang. Namun maksud besar Sultan Agung ini tidak terlaksana, karena Belanda telah mendengar rencana itu, dan lumbung-lumbung yang sudah dibuat, dibakar oleh Belanda. Sampai meninggalnya Sultan Agung, rencana penyerbuan selanjutnya ke Batavia tidak pernah terwujudkan.



4. Keadaan Banten setelah Mangkubumi Arya Ranamanggala

Setelah meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, kesultanan Banten sepenuhnya di tangan Sultan Abdul Kadir. Pada masa itu hubungan Banten dengan Batavia sedang memburuk. Banyak perampokan dan pengrusakan yang dilakukan orang Banten terhadap milik kompeni. Karena gangguan-gangguan ini, kompeni mengadakan ekspedisi pembersihan ke daerah-daerah kuasa Banten. Daerah yang menjadi sasaran ekspedisi antara lain Tanahara, Anyer dan beberapa daerah di Lampung. Maka terjadilah pertempuran-pertempuran sengit di daerah tersebut pada sekitar bulan Nopember 1633. Pertempuran-pertempuran tersebut lebih banyak dimenangkan pasukan Banten, karena kekuatan kompeni sedang melemah akibat serbuan Mataram yang memakan waktu sangat lama (Djajadiningrat, 1983: 189).

Pada tanggal 5 Januari 1634 dikirimnya lagi pasukan laut kompeni yang lebih kuat untuk mengepung kota Banten, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas daerah Teluk Banten. Pengepungan Belanda di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, kuasa Banten di sana. Sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik baru. Atas usul Wangsadipa, prajurit-prajurit Banten memuat sampah dan rumput-rumput kering di atas beratus-ratus perahu kecil yang kemudian dibasahi dengan minyak bakar. Pada malam hari perahu-perahu tadi diluncurkan dekat dengan kapal-kapal kompeni. Dalam jarak yang sudah dekat, barulah rumput kering tersebut dibakar. Dengan cara ini banyak kapal kompeni yang ikut juga terbakar, dan akhirnya pengepungan Belanda dapat juga digagalkan. Peristiwa pembakaran kapal-kapal kompeni itu disebut dalam sejarah Banten dengan istilah Pabaranang (Djajadiningrat, 1983:189).

Pertempuran-pertempuran kecil maupun besar antara Batavia dan Banten terus berlangsung. Semuanya ini lebih banyak merugikan kompeni, padahal kompeni sedang sibuk menghadapi perang dengan Mataram dan Makasar. Oleh karenanya diadakanlah genjatan senjata dengan Banten pada bulan Juli 1636; tapi dalam prakteknya baru bisa dilaksanakan pada bulan Maret 1639.



Sultan Abdul Kadir, dari permaisurinya (putri Pangeran Rangga Singasari) mempunyai 5 orang anak: Pangeran Pekik, Ratu Dewi, Ratu Mirah, Ratu Ayu dan Pangeran Banten. Sedangkan dari istri yang lain, Sultan mempunyai lebih dari 30 anak (Djajadiningrat, 1983:50). Pangeran Pekik atau Pangeran Kilen diasuh oleh paman tuanya yaitu Mangkubumi Arya Ranamanggala. Dialah yang kemudian diangkat menjadi Putra Mahkota.

Islam mengajarkan supaya ummatnya bersatu baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Mereka diwajibkan menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dalam kesempatan haji itulah mereka berkumpul saling memberikan informasi tentang keadaan negaranya dan menentukan apa yang harus dikerjakannya untuk kebesaran Islam di negaranya masing-masing. Mereka secara tidak tertulis mengadakan koordinasi di antara negara-negara Islam. Terbentuklah satu kekhalifahan Islam yang luas, yang dipimpin oleh khalifah yang mengurusi/menguasai kota suci Mekkah. Semangat Pan Islamisme dari ummat Islam --- yang merasa kedaulatannya terusik oleh kolonialis --- sedang tumbuh dengan suburnya.

Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir, antara tahun 1633 atau 1634, diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik, sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.

Sekitar tanggal 21 April dan 4 Desember 1638, rombongan yang diutus ke Mekkah sampai kembali di Banten. Mereka disambut dengan upacara kebesaran kenegaraan. Diceritakan upacara penyambutan ini dalam Sajarah Banten sebagai berikut: "Di Banten, Sultan memerintahkan kepada Tumenggung Wira Utama untuk membuat persiapan secukupnya bagi keperluan penyambutan itu. Pada hari yang ditentukan, semua persiapan telah sempurna. Setiap orang telah siap di tempatnya masing-masing. Sultan duduk bersama pengiringnya di srimanganti. Yang menerima surat dari khalifah Mekkah adalah Ki Pekih, di atas kapal. Ketika kapal akan merapat, dari atas kapal ditembakkan meriam sebelas kali, yang kemudian dibalas dengan jumlah yang sama dari perbentengan. Gemelan ditabuh dan sekali lagi meriam ditembakkan sebagai penghormatan. Bendera dari Mekkah dibawa oleh Kiyai Rangga Paman, sedangkan hadiah-hadiah lainnya dibawa oleh Tumenggung Indrasupati". Dari Mekkah Sultan mendapat gelar kebesaran Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdul Kadir sedangkan Pangeran Pekik mendapat gelar Sultan Ma'ali Akhmad. Untuk utusan yang baru datang dari Mekkah itu, Sultan memberi hadiah dan gelar kebangsawanan. Demang Tisnajaya mendapat gelar Haji Wangsaraja (Djajadiningrat, 1983:53 dan 193 - 196). Labe Panji, kepala rombongan yang pertama meninggal dunia dalam perjalanan ke Mekkah.

Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan yakni Nyai Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya dikuburkan di Desa Kenari, karena di tempat itulah Nyai Gede Wanagiri senang beristirahat menenangkan hati. Di Desa Kenari ini, Sultan memerintahkan untuk dibuatkan taman yang indah dengan rusa-rusa dan binatang peliharaan lainnya, dan Sultan sering beristirahat di taman ini setelah berziarah ke makam ibundanya.

Apabila Sultan sedang berada di istana setelah selesai penghadapan para ponggawa, baginda duduk dengan muka menghadap ke selatan dengan sebuah kitab di sampingnya. Sultan mengajarkan ilmu agama kepada para istrinya, pedekan tundan, pedekan jawi, para nyai dan istri-istri para ponggawa dan para istri mentri[15]. Sedangkan di ruang lain berkumpul pula para nyai sambil mengajar mengaji al-Qur'an kepada para pangeran kecil dan putri-putri istana. Nyai-nyai ini dipimpin oleh Nyai Mas Eyang.

Memang dalam Sejarah Banten, Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai seorang ulama yang saleh. Sultan mengarang beberapa kitab ilmu agama yang kemudian disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Salah satu kitab karangannya “Insan Kamil” yang kemudian diambil Dr. Snuock Hurgronje, pegawai pemerintah Hindia Belanda (Roesjan, 1950:29). Sultan sering memeriksa kompleks istana dan keadaan rakyatnya pada malam hari dengan ditemani oleh Ki Cili Duhung. Apabila ditemukan rakyat yang sakit atau penderitaan lainnya, maka keesokan harinya Sultan memerintahkan Ki Gula Geseng dan Ki Gula Ngemu (nama orang) untuk memberikan bantuan. Sultan pun sering seserangan yaitu mengontrol sawah-sawah kerajaan yang terletak di daerah Serang sekarang (Djajadiningrat, 1983: 58-61). Hasil sawah ini di samping untuk memenuhi kebutuhan istana juga sewaktu-waktu dijual untuk pengontrol harga beras di pasaran. Dengan demikian kebutuhan rakyat akan beras dapat dipenuhi (Lombart, 1986:97).

Sultan Abulma'ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut: Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (Putri Pangeran Jayakarta), dikaruniai 5 orang anak : Ratu Kulon (Ratu Pembayun), Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu Wetan), mempunyai anak: Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten dan Ratu Tinumpuk. Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra: Ratu Petenggak, Ratu Tengah, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara, Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru (Djajadiningrat, 1983:59).



Dalam pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi pada tahun 1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja (Djajadiningrat, 1983:200). Sehingga atas desakan Mataram, Sultan Cirebon mengancam Banten agar supaya mengakui kuasa Mataram; dan apabila tidak maka Banten akan diperanginya. Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637. Karena desakan dan ancaman dari Mataram pula, maka pada tahun 1650 yakni setelah Pangeran Girilaya menjadi Sultan Cirebon menggantikan ayahnya, Penembahan Ratu, karena Banten tidak mau tunduk pada ancaman Cirebon, Sultan merencanakan penyerbuan ke Banten.

Dengan menggunakan 60 buah kapal, berangkatlah pasukan Cirebon ke Banten dipimpin oleh Senopati Ngabehi Panjangjiwa. Setelah sampai diperairan Sumur Angsana, mereka memutuskan berlayar ke hulu sungai untuk membakar Tanahara. Rencana penyerangan pasukan ini sudah didengar Sultan Abdul Kadir. Maka dikirimnya satu pasukan yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa. Mereka berangkat dengan menggunakan 50 buah kapal perang. Sultan menjanjikan hadiah sebanyak 2000 real dan baju kebesaran kepada siapa saja yang sangat berjasa dalam peperangan itu.

Sesampainya di Tanahara, pasukan dibagi tiga bagian. Pasukan pertama dipimpin oleh Lurah Astrasusila, bersembunyi di Tanjung Gede. Sedangkan pasukan kedua dan ketiga masing-masing dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa, menanti di Muara Pasilian.

Pagi-pagi sekali pasukan Cirebon sudah mendarat di Pelabuhan Tanahara. Senopati Panjangjiwa bersama sebagian kecil pasukannya berlayar masuk ke hulu sungai untuk menyelidiki keadaan. Tapi karena sebab yang belum jelas, Senopati Panjangjiwa meletakkan senjatanya dan menyerahkan diri kepada Demang Wirapaksa, diikuti oleh pasukannya. Selanjutnya, Senopati Panjangjiwa dibawa menghadap Sultan di Surosowan; karena tindakannya itu Sultan memberi ampun dan hadiah-hadiah kepada mereka semua.

Sedangkan pasukan Cirebon yang lain --- yang sedang menunggu kabar dari Senopati Panjangjiwa di hilir --- melihat banyak senjata yang hanyut di sungai. Mereka menyangka di hulu sungai sedang terjadi pertempuran hebat antara pasukan Panjangjiwa dengan pasukan Banten. Dengan segera mereka berlayar ke hulu untuk membantu temannya. Secara tiba-tiba Lurah Astrasusila dan pasukannya menyergap pasukan Cirebon itu. Serangan mendadak ini tidaklah mereka duga sama sekali. Pertempuran ini berlangsung dengan hebat. Tapi akhirnya dari 60 buah kapal tinggal satu kapal yang dapat melarikan diri dan kembali ke Cirebon, sedangkan yang lainnya dapat ditawan atau gugur. Tentara Cirebon yang menyerah dan ditawan semuanya dibunuh tanpa terkecuali.

Kejadian ini diberitakan kepada Sultan yang baru selesai khutbah hari raya di Banten. Betapa marahnya Sultan mendengar berita pembantaian tersebut. Sultan menginginkan semua yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh. Karena kejadian itu, hadiah yang sudah dijanjikan ditarik kembali dan Lurah Astrasusila diusir dari istana. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan, yang terjadi pada tahun 1650 (Djajadiningrat, 1983: 68-69 dan 205).

Untuk memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarage tersebut, diadakan upacara sasapton. Jalannya pesta kemenangan ini diceritakan sebagai berikut :

Sepanjang tepi sungai rakyat dan ponggawa ditempatkan dalam kemah-kemah yang berjajar rapi. Sebagai tanda pengenal, mereka menggunakan bendera-bendera yang berbeda yang berwarna-warni. Para ponggawa duduk di bawah pohon beringin dekat srimanganti, menghadap candi rasmi menantikan sultan keluar dari istana. Sepanjang jalan yang akan dilalui sultan, berjejer menyambut para priyayi: di mande mundu ditempatkan priyayi medang sebanyak dua puluh orang, di made gayam ditempatkan priyayi parasara empat puluh orang dan panyendekan ada priyayi kalamisani dengan kereta-keretanya.

Sebagai kepala penjaga ialah Ki Suraita. Sedangkan sitinggil diurus oleh Ki Naraita yang juga menjadi kepala penyimpanan senjata dan kuda. Empat ekor kuda telah disiapkan namanya Sekardiyu, Kalisahak, Sumayuda, dan Layarwaring. Pembawa tanda kebesaran istana berjalan di muka, barulah sultan keluar dengan diiringi tabuhan gemelan sekati.

Sultan duduk di lampit yang digelar di tanah dikelilingi para mentri. Gamelan mesa patra ditabuh dan menperdengarkan lagu-lagunya. Para ponggawa telah siap di tempatnya masing-masing dan bersamaan dengan itu terdengar pula gamelan dari kemah-kemah. Pangeran Adipati Anom mengendarai kuda diiringi oleh para ponggawa dengan kudanya pula. Dan sasapton pun dimulai.

Yang menjadi bintang pada sasapton itu ialah Ratu Bagus Komala yang menunggang kuda Sekar Tinggal, demikian juga saudaranya Ratu Bagus Kencana; keduanya anak Pangeran Upapati. Mereka itu lawan Pangeran Adipati Anom yang menunggang kuda Layarwaring, kuda dari Bali.

Menjelang malam hari, sasapton itu berhenti dan sultan pun kembali ke keraton dengan diiringi lagu gemelan sekati. Ratu Bagus Kencana kemudian mendapat gelar Tubagus Singawangi dan Ratu Bagus Komala bergelar Tubagus Ewaraja (Djajadiningrat, 1983:70).

Tidak lama setelah Peristiwa Pagarage ini, Putra Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma'ali Ahmad meninggal dunia, setelah ia menderita sakit yang cukup lama (1650). Putra Mahkota dimakamkan di pekuburan Kenari (Ismail, 1980:18). Sebagai penggantinya, jabatan Putra Mahkota diserahkan kepada anaknya Sultan Abulma'ali Ahmad, yakni Pangeran Surya, dengan gelar Pangeran Adipati Anom[16] (Tjandrasasmita, 1975: 269).

Tidak lama setelah itu yakni pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abumafakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya, Sultan Abulma'ali Akhmad (Ismail, 1980:18 dan Djajadiningrat, 1983:199). Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya menjadi Sultan Banten ke-5.



E. SULTAN AGENG TIRTAYASA (1651 - 1672)

Setelah kegagalan Sultan Agung menduduki Batavia, keadaan Mataram tidak lagi sekuat semula. Banyak dana, perbekalan, dan prajurit yang dikorbankan dalam pertempuran itu. Kemunduran ini ditambah lagi dengan kelesuan di bidang perdagangan, terutama perdagangan antar negara, Malaka sudah dikuasai kompeni Belanda pada tahun 1641, demikian juga daerah-daerah Indonesia Timur seperti Ambon, Maluku, kepulauan Saparua, dan sebagainya. Sedangkan daerah bagian barat seperti Banten, Lampung dan Bengkulu --- yang masuk kuasa Banten --- sedang bermusuhan dengan Mataram, dan juga Laut Jawa hampir sudah dikuasai oleh kompeni, sehingga hubungan dagang Mataram dengan Palembang dan Jambi pun otomatis terhenti.

Dalam keadaan demikian, Sultan Agung pun wafat, tahun 1645 dan dikuburkan dipemakaman Imogiri. Penggantinya Pangeran Aryo Prabu Adi Mataram yang bergelar Amangkurat I tidak sekuat Sultan Agung, sehingga banyak daerah yang memberontak melepaskan diri dari Mataram. Situasi yang kacau ini memaksa Amangkurat I mengadakan perjanjian persahabatan dengan kompeni Belanda pada tahun 1647, yang isinya sebagai berikut (Sanusi Pane, 1950: 206-207):

1) Belanda akan mengirimkan utusan ke Mataram setiap tahun.

2) Orang-orang Mataram harus memakai kapal kompeni apabila hendak keluar negeri.

3) Orang-orang mataram boleh berdagang bebas kecuali dengan daerah Ternate, Ambon dan Banda.

4) Orang-orang Mataram yang akan berlayar dan melalui Selat Malaka harus mendapat izin terlebih dahulu dari kompeni.

Dengan perjanjian ini konfrontasi antara Belanda dengan Mataram berakhir, namun, akhirnya Mataram sangat bergantung dengan Kompeni. Bandar-bandar Mataram menjadi sepi karena kapal mereka sukar sekali mendapat izin untuk melintasi Malaka, sedangkan rempah-rempah yang sangat digemari orang-orang asing tidak mereka miliki karena mereka dilarang berdagang di Maluku. Di lain pihak Kompeni mendapat banyak keuntungan karena dengan perjanjian ini kompeni dapat mengontrol segala kegiatan Mataram; dan yang lebih penting lagi, Kompeni dapat beristirahat, menyatukan kekuatannya untuk menghadapi perlawanan di daerah lain.

Di Maluku, Belanda pun mendapat keuntungan besar, karena sejak tahun 1605 Kompeni merebut Ambon dan Tidore dari tangan Portugis, demikian juga Banda (1609) dan akhirnya Ternate pun dapat dikuasainya sehingga di daerah-daerah itu Belanda dapat memonopoli perdagangan lada dan cengkeh. Untuk menjaga harga cengkeh tetap tinggi, maka Kompeni menghancurkan kebun-kebun cengkeh di kepulauan Ambon dan sekitarnya. Usaha penghancuran inilah yang dikenal dengan Pelayaran Hongi yang banyak merugikan rakyat di daerah itu (Burger, 1962:53).

Daerah rempah-rempah yang masih bebas dari pengaruh Kompeni hanyalah Makasar. Orang-orang Makasar menjual rempah-rempah pada siapa saja yang datang ke sana, seperti orang Portugis, Denmark, Belanda, Perancis dan Inggris. Hal ini dianggap oleh kompeni sangat merugikannya, karena itu Makasar pun harus diperangi. Diadakanlah blokade di sekitar perairan Makasar pada tahun 1633. Baru pada tahun 1636 diadakan perjanjian perdamaian, tapi pada tahun 1640 kembali terjadi pertempuran. Prajurit Makasar yang dipimpin rajanya Sultan Hasanuddin berperang dengan gagah berani. Peperangan ini berlangsung lama, baru pada tahun 1655 diadakan perdamaian, tapi karena saling berbeda kepentingan akhirnya kembali terjadi perang hingga tahun 1660 dan pada tahun 1666. Karena penghianatan Aru Palaka, anak Raja Sopeng, akhirnya kompeni dapat menguasai Makasar, dan diadakan perjanjian di Bongaya pada tahun 1667 (Sanusi Pane, 1950: 207-210) :

1) Makasar melepaskan kuasanya atas Negeri Bugis (Bone, Luwu, dan Gowa) serta Bima dan Sumbawa.

2) Perahu Makasar hanya boleh berlayar dengan surat izin kompeni.

3) Makasar tidak boleh berdagang dengan bangsa lainya kecuali dengan Belanda.

4) Hanya kompeni saja yang boleh memasukkan kain-kain dan barang-barang dari Cina.

5) Makasar harus membayar semua biaya perang, menyerahkan salah satu bentengnya dan mengirim tawanan ke Batavia sebagai jaminan.

Meskipun perjanjian Bongaya telah ditandatangani, perlawanan bersenjata kepada kompeni berlangsung terus. Baru setelah benteng Sombaopu dikuasai kompeni tahun 1669, Makasar sepenuhnya di tangan kompeni. Dengan kekalahan Makasar ini banyak patriot dari Bugis yang pergi ke Banten dan Jawa Timur untuk melanjutkan perjuangannya melawan Belanda (Sagimun, 1975:259).

Pada abad ke-17 ini, Belanda telah menguasai beberapa daerah kerajaan besar seperti: Mataram, Maluku, Batavia dan Makasar. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Belanda telah memegang monopoli perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda pun berhasil memperoleh monopoli di Sumatera Tengah yakni di Palembang (1642) dan Jambi (1643) (Burger, 1962:60). Di pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar berada dalam kemiskinan dan penindasan akibat keserakahan Belanda ini.



Setelah Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651 (Djajadiningrat, 1983:205). Untuk memperlancar sistem pemerintahannya Sultan mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap sebagai pembantunya. Jabatan Patih atau Mangkubumi dipercayakan kepada Pangeran Mandura dan wakilnya Tubagus Wiratmaja, sebagai Kadhi atau Hakim Agung diserahkan kepada Pangeran Jayasentika, tapi karena Pangeran Jayasentika meninggal tidak lama setelah pengangkatan itu dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmuddin. Pangeran Mandura dan Pangeran Jayasentika adalah Putra Sultan 'Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir, jadi masih terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin adalah menantu Sultan Abulmufakhir yang menikah dengan Ratu Lor.

Untuk memudahkan pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa dan nayaka-nayaka di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi. Dalam waktu-waktu tertentu nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten dan berkumpul di kediaman Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, untuk melaporkan keadaan daerahnya masing-masing. Biasanya setelah itu para ponggawa dan nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana Surosowan, untuk menerima petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan yang harus disampaikan kepada rakyat di daerahnya masing-masing (Djajadiningrat, 1983:71).

Mangkubumi Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur dan mengawasi kesejahteraan prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari maupun tentang persenjataannya. Rumah-rumah senopati dan ponggawa ditempatkan sedemikian rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan prajurit-prajuritnya, tetapi dengan mudah mereka pun dapat segera menerima instruksi sultan (Djajadiningrat, 1983:71 dan Tjandrasasmita, 1967:11).

Memang Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur gerilya terhadap pendudukan Belanda di Batavia.

Seperti juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekkah, yang biasanya dilakukan sambil menunaikan ibadah haji. Persiapan untuk mengadakan pertemuan dengan pusat kekhalifahan di Mekah itu, Sultan mengadakan musyawarah dengan beberapa pembesar kerajaan yang antara lain: Pangeran Mandura, Pangeran Mangunjaya dan Mas Dipaningrat; yang selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot beserta tujuh orang lainnya diutus ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan untuk melaporkan penggantian sultan di Banten, juga menceritakan keadaan nusantara dan Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya dengan kompeni Belanda. Di samping itu pula, untuk memperdalam pengetahuan rakyat Banten kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru agama ke Banten.

Setiba kembali utusan ini dari Mekkah, Khalifah Makkah menyampaikan sepucuk surat untuk Sultan bersama tiga orang utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Dari khalifah Makkah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar Sultan 'Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama Haji Fattah dan mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang pengiringnya.



1. Perang Melawan Kompeni Belanda

Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan 'Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan karenanya Sultan tidak akan pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni. Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh dan mengadakan transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten mengalami banyak penurunan, karena pedagang-pedagang asing segan berlabuh di Banten takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun setelah mereka meninggalkan Banten. Membalas tindakan kompeni ini Sultan pun memerintahkan tentaranya untuk selalu mengadakan perusuhan pada intalasi milik kompeni, di mana saja; diharapkan orang-orang Belanda itu segera meninggalkan Banten. Sultan pun memperkuat pasukannya di Tangerang dan Angke, yang telah lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi kompeni Belanda. Dari daerah ini pulalah pada tahun 1652 pasukan Banten mengadakan penyerangan ke Batavia (Tjandrasasmita, 1967:12).

Melihat situasi yang semakin panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke Banten untuk menyampaikan usulan pembaharuan perjanjian tahun 1645. Dibawanya hadiah-hadiah yang menarik untuk melunakkan hati Sultan, tapi Sultan 'Abulfath menolak usulan tersebut. Utusan kedua dikirimnya pula pada bulan Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama, Sultan pun menolaknya; Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah Belanda walau apapun resikonya.

Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang mengadakan gerilya besar-besaran, dengan mengadakan pengrusakan kebun-kebun tebu dan penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli Belanda, pembakaran markas patroli, dan beberapa pembunuhan orang-orang Belanda, yang semuanya dilakukan pada malam hari. Di samping itu perahu-perahu ramping prajurit Banten sering mencegat kapal kompeni, dan membunuh semua tentara Belanda dan merampas semua senjata serta kapalnya. Sehingga kapal kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah dikawal pasukan yang kuat.

Untuk menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan 'Abulfath memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kwalitasnya. Diadakanlah hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain seperti Cirebon, Mataram dan lain-lain (Tjandrasasmita, 1967:13). Bahkan dari Kerajaan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark, banyak didapatkan bantuan berupa senjata-senjata api yang sangat dibutuhkan (Chijs, 1881: 58-59). Diadakanlah kesatuan langkah dan penyatuan pasukan di daerah kuasa Banten; Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri, dan daerah lainnya mengirimkan pasukan perangnya untuk bergabung dengan pasukan Surosowan.

Demikian juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan perang kompeni diperkuat dengan serdadu-serdadu sewaan dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali, Makasar dan Bugis. Memang serdadu yang berasal negeri Belanda sendiri sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk menghadapi orang pribumi lainnya; dalam pertempuran pun, orang Belanda selalu berada di belakang sedangkan yang maju perang selalu serdadu pribumi. Diperkuatnya penjagaan-penjagaan dan benteng-benteng di perbatasan Angke, Pesing, Tangerang; tapi karena kompeni sedang sibuk berperang dengan Makasar, mereka tidak bisa banyak menyiapkan pasukan.

Setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, maka sekitar bulan Nopember atau Desember 1657 Kompeni mengajukan usul gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata ini tidak segera dapat disepati, karena syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya disepakati; kepentingan Belanda dan kepentingan Banten selalu berbeda. Tanggal 29 April 1658 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri dari 10 pasal:

1) Kedua belah pihak harus mengembalikan tawanan perangnya masing-masing.

2) Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.

3) Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.

4) Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki atas biaya dari Banten.

5) Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan kompeni di Banten.

6) Karena banyaknya barang-barang kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.

7) Setiap orang Banten yang ada di Batavia harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya.

8) Kapal-kapal kompeni yang datang ke pelabuhan Banten dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.

9) Perbatasan Banten dan Batavia ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.

10) Untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini, warga kedua belah pihak dilarang meliwati batas daerahnya masing-masing.



Dari rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini Sultan 'Abulfath dapat melihat kecurangan dan ketidaksung-guhan kompeni atas pedamaian; kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658, Sultan mengirimkan utusan ke Batavia untuk mengajukan perubahan atas rancangan naskah perjanjian itu :

1) Rakyat Banten dibolehkan datang ke Batavia setahun sekali untuk membeli senjata, meriam, peluru, mesiu, besi, cengkeh dan pala.

2) Rakyat Banten dibebaskan berdagang di Ambon dan Perak tanpa dikenakan pajak dan cukai.

Usul Sultan ini dengan serta merta ditolaknya, kompeni hanya menginginkan supanya orang Banten membeli rempah-rempah dari kompeni dengan harga yang ditentukan dan harus membayar pajak. Monopoli rempah-rempah di Ambon dan Maluku adalah suatu yang sangat menguntungkan kompeni, sehingga apabila Banten dibolehkan berdagang di sana, hapuslah monopoli ini. Demikian juga apabila orang Banten dibolehkan membeli alat-alat perang, ini akan memungkinkan Banten memperkuat diri dan dengan mudah akan merebut kembali Batavia.

Penolakan Gubernur Kompeni atas usul ini membuat Sultan sadar bahwa tidaklah mungkin akan ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang berbeda kepentingan ini, bahkan dengan perdamaian ini kompeni berkesempatan untuk menyusun kekuatan. Karena berpikiran demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658 dikirimnya surat balasan yang menyatakan bahwa Banten dan kompeni Belanda tidak akan mungkin bisa berdamai. Tiada jalan lain yang harus ditempuh kecuali perang. Sejak itulah Sultan Abulfath Abdulfattah mengumumkan "perang sabil" menghadapi kompeni Belanda. Seluruh kekuatan angkatan perang Banten dikerahkan ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran besar di darat dan laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya sejak bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659 (Djajadiningrat, 1983:71 dan Tjandrasasmita, 1967: 12-16).

Satu peristiwa yang mempercepat meletusnya perang antara Banten dan kompeni Belanda, dalam situasi yang demikian panas, adalah peristiwa dibunuhnya Lurah Astrasusila oleh patroli Belanda; Lurah Astrasusila adalah salah seorang ponggawa Banten yang kena marah Sultan karena peristiwa pagarage di Sumur Angsana. Karena perbuatannya itu ia merasa bersalah dan berdosa kepada Allah, maka untuk menebus dosanya ini dia ingin ikut berperang dan mati sahid, dengan cara demikian mudah-mudahan Sultan pun akan memaafkannya.

Suatu hari, seusai shalat Magrib, Astrasusila berlayar dengan sebuah kuting ke arah timur menuju Tanjung Kahit, dan berusaha mencegat kapal Belanda yang biasa berlayar dari Tong-Jawa atau Batavia. Ia melihat sebuah selup kompeni, dan bersama dua orang temannya ia berpura-pura menjadi penjual kelapa yang dengan mudah dinaikkan ke atas selup kompeni. Di atas selup, Lurah Astrasusila dan kedua temannya mengamuk hingga banyak serdadu Belanda yang dibunuhnya, tapi akhirnya ketiga orang itupun gugur. Peristiwa terbunuhnya Luruh Astrasusila ini disampaikan kepada Sultan 'Abulfath. Sultan merasa terharu bercampur marah atas pengorbanan punggawanya itu, demikian juga dengan para pembesar lainnya. Sejak saat itulah Sultan menyatakan perang kepada kompeni (Djajadiningrat, 1983:73).

Untuk lebih jelasnya tentang persiapan prajurit Banten dalam menghadapi perang ini, "Sajarah Banten" menceritakan:

a. Angkatan laut

(1) Armada laut yang menjaga perairan Karawang dipimpin oleh Pangeran Tumenggung Wirajurit.

(2) Armada laut yang berkedudukan di dekat pelabuhan Untung Jawa dipimpin oleh Aria Suranata.

(3) Armada laut yang berkedudukan di dekat Tanahara dipimpin oleh Pangeran Ratu Bagus Singandaru.

(4) Armada laut yang bertugas di dekat perairan Tanjung Pontang dipimpin oleh Ratu Bagus Wiratpada.

(5) Armada laut yang berkedudukan di dekat Pelabuhan Ratu dipimpin oleh Tumenggung Saranubaya.

b. Angkatan darat

(1) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Wirasaba dan Ngabehi Purwakarti dikirim ke Caringin untuk menjaga musuh yang masuk dari daerah selatan.

(2) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Tanuita ditempatkan di kota Surosowan sebagai penjaga ibukota Kesultanan.

(3) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Tanujiwa ditugaskan sebagai pasukan penghubung antara garis depan Angke dan Tangerang dengan kota Surosowan.

(4) Pasukan yang dipimpin oleh Raden Senopati Ing Ngalaga (Panglima Perang) dan Rangga Wirapatra ditugaskan menjadi pasukan penyerang dan menjadi pasukan induk dengan kekuatan 5000 prajurit pilihan.

c. Pasukan meriam

Pasukan meriam ini ditempatkan di pantai sekitar ibukota Kesultanan, untuk menjaga musuh yang datang dari Teluk Banten. Tiap meriam dipercayakan kepada 10 orang prajurit khusus dengan seorang pimpinan kelompok. Sejarah Banten mencatat nama-nama meriam itu dengan pimpinan kelompoknya sebagai berikut: Jajaka tua dipercayakan kepada Pangeran Upapatih, Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Lor, Nilantaka kepada Pangeran Kulon, Kalajaya kepada Pangeran Wetan, Ki Muntab kepada Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta, Pranggisela kepada Pangeran Prabangsa, Danamarga kepada Pangeran Sutamanggala, Jaka Dalem kepada Pangeran Gusti; sedangkan lima puluh buah meriam lagi dipercayakan kepada ponggawa lainnya. Disusunnya meriam-meriam itu dari Sunya Gagak, Kuta Karang hingga tepi sungai. Dari Pabean Barat hingga Pabean Timur, dari Kuta Jagabaya sampai Kadongkalan dan Kapatihan.

Pada hari yang sudah ditentukan, yaitu pada hari Senin tahun kadi ula pandawa iku atau tahun 1580 Saka atau tahun 1657/1658 M (Djajadiningrat, 1983:73 dan 212), pasukan perang Banten itu berangkat ke pos penyerangannya masing-masing seperti yang sudah diintruksikan. Pada hari pemberangkatan itu Sultan menyuruh membagi-bagikan hadiah berupa uang dan pakaian kepada prajurit serta keluarganya sebagai tanda kenang-kenangan dan penguat tekad.

Pembesar kerajaan yang ikut dalam pasukan perang itu antara lain: Kartiduta, Haji Wangsaraja, Demang Narapaksa, dan Kanduruhan Wadoaji. Ki Haji Wangsaraja dan Raden Senopati Ing Ngalaga duduk dalam sebuah tandu. Demikian banyak pasukan yang berangkat pada hari itu, sehingga barisan terdepan sudah sampai di Pangapon sedangkan barisan belakang masih berada di alun-alun Surosowan.

Setelah berjalan delapan hari sampailah mereka di Tangerang dan bergabung dengan pasukan yang sudah berada di sana. Untuk tempat peristirahatan, dibuatlah barak-barak baru di Tangerang dan Angke sebagai pusat pertahanan dan basis penyerangan.

Mendengar pemberangkatan pasukan Banten ini, kompeni segera mempersiapkan pasukan yang dibagi menurut asal daerah masing-masing, orang Ternate dipimpin oleh orang Ternate, begitu juga orang Kalasi, Kejawan, Bandan, Bali dan Ambon. Dan setelah berjalan kaki selama satu hari pasukan kompeni ini sampai di Angke, berhadapan dengan pasukan Banten.

Tujuh hari tujuh malam kedua pasukan yang bermusuhan itu saling berhadap-hadapan tanpa ada salah satu yang mendahului menyerbu. Baru setelah Senopati Ing Ngalaga memberikan aba-aba untuk menyerang, bersiap-siagalah semuanya. Raden Senapati Ing Ngalaga naik kuda berkeliling sambil menantang musuh, sedangkan Ki Rangga Wirapatra berjalan di barisan terdepan. Setelah Haji Wangsaraja berdo'a mohon perlindungan Allah untuk menghancurkan orang kafir penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga.

Sepanjang hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya. Tidak dapat dipastikan siapa yang paling hebat. Baru setelah hari senja, pertempuran itu mulai reda, dan kedua belah pihak menarik diri dari garis perang, kembali ke kubunya masing-masing.

Selama tiga hari tidak terjadi pertempuran, masing-masing pihak beristirahat sambil mengatur taktik penyerangan selanjutnya. Raden Senopati Ing Ngalaga memanggil para ponggawa untuk merundingkan taktik dan strategi perang serta memberi instruksi lainnya. Kemudian ditetapkan supaya penyerangan dilakukan dengan formasi burung dadali (format penyerangan menyebar), karena musuh memakai formasi papak (saff tempur melingkar disatukan). Untuk mengacaukan mental pasukan kompeni dan menghancurkan tempat-tempat persem-bunyian mereka, Ngabehi Wira Angun-angun dan Prayakarti ditugaskan untuk membakar desa di sekeliling kubu musuh dan juga membakari tanaman tebu milik kompeni. Dan nanti, bersamaan dengan pembakaran-pembakaran itu, Senopati Ing Ngalaga dengan 500 prajurit pilihan bergerak melingkar dan menyerang musuh dari belakang.

Keesokan harinya, setelah tanda penyerangan dibunyikan mulailah mereka menjalankan tugasnya masing-masing. Ngabehi Wira Angun-angun, Prayakarti dan beberapa serdadu pilihan secara diam-diam membakar kampung-kampung, tanaman tebu dan pabrik penggilingan tebu serta menghancurkan segala tempat yang mungkin menjadi sarang musuh. Sedangkan Raden Senopati Ing Ngalaga dengan 500 tentaranya bergerak ke arah timur dengan tujuan menyerang musuh dari belakang. Adapun prajurit lainnya dipimpin oleh ponggawa dan senopati yang gagah berani menyerang dari depan dengan penyerangan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan tiap prajurit berperang satu lawan satu.

Pasukan yang dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa banyak menimbulkan kerugian jiwa di pihak kompeni. Banyak pimpinan mereka yang dapat dibinasakan, di antaranya Kapiten Drasti, Kapiten Perancis, Kapiten Terus, dan Kapiten Darus. Pertempuran pada hari itu berlangsung hebat, sehingga banyak mengambil korban dari kedua pihak, dan baru setelah senja tiba pertempuran pun dihentikan.

Hari berikutnya Raden Senopati memanggil Prayakarti untuk menyampaikan berita tentang keadaan medan perang, sambil menyerahkan barang-barang rampasan perang kepada Sultan di Surosowan. Bersama empat puluh orang pengawal berangkatlah Prayakarti ke ibukota Banten. Membaca surat dari Raden Senopati, terlihat wajah Sultan mencerminkan perasaan gembira bercampur sedih dan gemas. Sultan sangat mengharapkan kehancuran kompeni secepatnya. Kemudian Sultan berdiri dan memberikan maklumat: "Barang siapa yang dapat menyerahkan satu kepala kompeni Belanda akan diberikan hadiah 10 real dan barang siapa yang dapat menyerahkan satu telinga Belanda akan diberi hadiah 5 real." Kepada Prayakarti atas jasa-jasanya Sultan menghadiahkan sebuah desa serta sebuah lampit dengan kotaknya, demikian juga keempat puluh pengawalnya semua mendapat hadiah (Djajadiningrat, 1983: 73-75).

Dalam pada itu, pertempuran di laut pun telah terjadi dengan hebat. Diceritakan, Ratu Bagus Wangsakusuma ketika sedang melakukan patroli di perairan dekat Pontang, dilihatnya sebuah kapal besar milik kompeni di Selat Pulo Pemujan yang sedang menurunkan sebuah slup penuh berisi senjata menuju ke pantai. Ratu Bagus Wangsakusuma dan prajuritnya bersembunyi di belakang Pulau Dua dan menyergap kapal kompeni itu, sehingga semua serdadu kompeni dapat dibinasakan dan senjatanya dapat dirampas. Berita keberhasilan ini disampaikan kepada Sultan berikut semua senjata rampasannya.

Sarantaka dan Sacantaka bersama dua pacalang berhasil menghancurkan sebuah kapal kompeni di Tanjung Balukbuk. Pangeran Ratu Bagus Singandaru dapat menghancurkan sebuah kapal jung besar milik kompeni yang baru datang dari Malaka di dekat Tanjung Barangbang. Demikian juga dengan pasukan Kyai Haji Abbas, mereka dapat menghancurkan kapal kompeni di dekat perairan Gosong Bugang, semua barang rampasan diserahkan kepada Sultan.

Armada-armada Banten di perairan jauh pun mencatat kemenangan yang menggembirakan. Pasukan yang dipimpin oleh Rangga Natajiwa, Surantaka dan Wiraprana dapat menghancurkan armada kompeni di Krawang yang mengangkut pasukan dari Jawa Timur. Sedangkan di perairan Pelabuhan Ratu, pasukan Saranurbaya dapat menghancurkan kapal kompeni, walaupun Saranurbaya sendiri luka parah yang mengakibatkan ia meninggal dunia lima hari kemudian.

Di perairan Teluk Banten, di depan kota Surosowan, datang 11 kapal perang kompeni, dalam formasi mengepung dari Pulau Lima di timur sampai ke Pulau Dua. Di Surosowan, pasukan meriam yang sudah disiapkan, segera mengarahkan sasarannya ke kapal-kapal itu, maka terjadilah tembak menembak yang seru dari kedua pasukan (Djajadiningrat, 1983: 75-76). Beberapa meriam Banten banyak yang tepat mengenai sasaran; si Jaka Pekik, si Muntab dan si Kalantaka selalu tepat mengenai kapal-kapal kompeni itu, sehingga armada penyerang melarikan diri dan kembali ke Batavia dengan meninggalkan kapal-kapal yang rusak dan tenggelam (Tjandrasasmita, 1967:21). Pertempuran hebat di darat dan di laut ini terus menerus berlangsung sampai tujuh belas bulan lamanya (Djajadiningrat, 1983:76).

Pada suatu malam yang sunyi tapi tegang itu Arya Mangunjaya, salah seorang ponggawa yang memimpin pasukan perang di front Tangerang - Angke, menghadap Sultan tanpa melalui prosedur biasa, melaporkan tentang keadaan medan perang. Dilaporkan bahwa keadaan prajurit dan ponggawa-ponggawanya masih dalam kondisi baik dan mereka siap untuk bertempur, tapi keadaan mereka pun perlu diperhatikan karena sudah lebih satu tahun mereka berperang tanpa henti; maka alangkah lebih baik lagi apabila Sultan mengganti mereka dengan pasukan yang lebih segar. Setelah Sultan berunding dengan pembesar lainnya, diperintahkannya Mangkubumi untuk menyiapkan pasukan pengganti. Maka keesokan harinya, Mangkubumi dan Pangeran Mandura menyiapkan prajurit-prajurit Banten di Surosowan untuk diberangkatkan ke Tangerang dan Angke. Arya Mangunjaya diangkat sebagai panglima perang dengan Arya Wiratmaja sebagai wakilnya. Pasukan pengganti ini diberangkatkan pada tahun mantri kunjara tataning jurit atau pada tahun 1581 Saka/1659 M. Bersama pasukan itu ikut pula Sayyid Ali, utusan dari Mekkah, untuk menggantikan Kyai Haji Wangsaraja yang bertugas untuk memelihara semangat juang dan keyakinan agama prajurit. Sedangkan Pangeran Senopati bersama seluruh pasukannya dipanggil pulang kembali ke Surosowan (Tjandrasasmita, 1967:22).

Kedatangan pasukan pengganti ini diketahui oleh kompeni Belanda. Maka untuk mengimbangi kekuatan pasukan Banten itu, dikirimnya lagi pasukan tambahan dari Batavia.

Setelah kedua pasukan itu saling berhadapan, diadakan perang tanding antara pemimpin kedua pasukan. Arya Mangunjaya ditantang oleh seorang Kapten Belanda, yang kemudian dapat dibunuhnya. Prayakarti ketika hendak memenggal kepala kapten musuh yang sudah dibunuhnya, tiba-tiba dibokong oleh empat orang musuh sehingga ia gugur. Maka serentak kedua pasukan itu mengadakan serangan, dan perang besar dimulai, sampai senja hari. Keesokan harinya Arya Mangunjaya memerintahkan beberapa orang prajurit untuk pergi ke Surosowan melaporkan jalannya perang, sambil membawa prajurit-prajurit yang terluka, tawanan perang dan juga harta rampasan.

Pertempuran baru dilanjutkan selang beberapa hari kemudian. Banyak prajurit dari kedua pihak yang gugur dan terluka. Prajurit Banten yang terluka segera dikirim ke Surosowan, tapi banyak pula yang meninggal di perjalanan karena lukanya yang parah.

Karena penyerangan pasukan Banten ini dilakukan terus menerus dan tanpa mengenal takut, akhirnya kedudukan kompeni semakin terdesak sampai mendekati batas kota Batavia. Penduduk dan pejabat kompeni segera mengungsi ke daerah lain, khawatir kalau-kalau pasukan Banten dapat menembus benteng pertahanan kota; tambahan tentara tidak mungkin diharapkan, karena pada waktu itu kompeni pun sedang sibuk berperang dengan Makasar. Karena keadaan terdesak inilah kompeni berusaha mengadakan perdamaian dengan Sultan 'Abulfath di Surasowan, dan sudah tentu Sultan menolak usul perdamaian tersebut. Untuk melunakkan hati Sultan, kompeni minta tolong kepada Sultan Jambi untuk tercapainya perjanjian persahabatan itu. Sultan Jambi mengirimkan utusannya Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian damai antara Sultan 'Abulfath Abdulfattah dengan Gubernur Jendral Joan Matsuiyker. Dengan ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata ini, maka berakhirlah untuk sementara perang besar antara Banten dan kompeni Belanda.

Perjanjian gencatan senjata tanggal 10 Juli 1659 itu, dijadikan kesempatan yang baik oleh Sultan Abulfath untuk membenahi diri guna persiapan menghadapi kompeni selanjutnya. Untuk tujuan itulah, Sultan mulai mengadakan pembangunan-pembangunan dalam segala bidang yang pada waktu sebelumnya tertunda karena perang.

Guna memenuhi kebutuhan senjata api dan senjata berat lainnya, Sultan mengadakan hubungan dengan negara Inggris, Portugis dan Perancis yang bersedia menjual senjata-senjata yang dibutuhkan Banten --- pada waktu itu antara Belanda, Inggris, Portugis dan Perancis sedang terjadi persaingan dagang yang keras. Dalam pada itu, hubungan Banten dengan kerajaan Islam di Turki berjalan baik, sehingga orang-orang Banten yang pergi haji, pulangnya dapat membawa senjata-senjata yang dibelinya dari Turki.

Senjata-senjata perang ini, selain diperoleh dengan cara membeli dari luar negeri, Banten pun sebenarnya sudah mampu membuatnya sendiri. Hal ini terbukti dari hasil penggalian di situs Kampung Sukadiri dan Kepandean, di sana ditemukan seperangkat alat-alat pengecoran logam dan juga wadah pencetak senjata (Mundardjito, 1977:546). Itulah sebabnya mengapa Banten pun mampu mengirimkan meriam dan senjata api lainnya, lengkap dengan peluru serta mesiunya sebanyak beberapa kapal kepada pasukan Trunojoyo di Jawa Timur (Sanusi Pane, 1950:212).

Dalam pengadaan kapal perang, Sultan memesan dari beberapa galangan kapal di Jawa, seperti di Jepara dan Gresik. Sedangkan kapal perang yang besar dan khusus, dibuat sendiri di galangan kapal di Banten dengan bantuan orang-orang Portugis dan Belanda yang sudah Islam (Tjandrasasmita, 1975:17).

Untuk memperkuat ketahanan angkatan perangnya, Sultan juga mengangkat prajurit-prajurit muda yang kesemuanya dilatih guna menghadapi medan perang yang berat. Mereka dipersiapkan untuk menempati pos terdepan di Tangerang dan Angke, karenanya pada tahun 1660 Sultan pun memerintahkan membuat perkampungan prajurit di sebelah barat Untung Jawa, yang diperkirakan mampu menampung 5000 sampai 6000 prajurit (Tjandrasasmita, 1967:28). Kemudian untuk tempat pengungsian bagi kaum wanita apabila terjadi peperangan, terutama untuk wanita kraton, Sultan membuat tempat perlindungan di Banten Girang (Djajadiningrat, 1983: 125).

Selain di Tangerang, Sultan juga membuat perkampungan prajurit pilihan di Pontang, bahkan akhirnya Sultan menyuruh membuat istana yang nantinya digunakan sebagai pusat pengontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia, di samping untuk tempat peristirahatan. Maka dengan demikian Pontang dijadikan penghubung antara Surosowan dan benteng pertahanan di Tangerang, yang juga mempersingkat jalur komunikasi dari medan perang. Untuk menghubungkan Surosowan, Pontang dan Tangerang, digunakan dua jalur, di samping jalan darat yang sudah ada dari Surosowan ke Pontang, juga dibuat saluran tembus yang digali sepanjang jalan kuno, yakni dari sungai Untung Jawa (Cisadane), Tanahara hingga ke Pontang --- dari Tanahara, dengan menyusuri sungai Cisadane sampailah ke pantai Pasilian. Saluran tembus antara Pontang dan Tanahara ini dibuat cukup lebar, sehingga dapat dilayari kapal perang ukuran sedang. Proyek pembuatan saluran ini dimulai pada tahun 1660 dan selesai sekitar tahun 1678. Melalui sungai buatan ini, Sultan dapat segera mengirimkan bantuan ke Tangerang baik dari pos Pontang maupun dari Surosowan (Tjandrasasmita, 1967:27).

Sungai buatan ini --- yang pasti dikerjakan dengan kemauan dan biaya raksasa --- bukan saja dimaksudkan untuk kepentingan militer tetapi juga untuk pertanian. Sehingga dengan dibangunnya saluran tembus itu berarti daerah sekitarnya menjadi daerah subur, maka tumbuhlah daerah sekitar Pontang sebagai daerah penghasil padi yang dapat diandalkan untuk Banten. Rupanya inilah yang dituju oleh Sultan, yaitu mempersiapkan daerah strategis untuk pos pembantu penyerangan ke Batavia, di samping juga menjadi "daerah kantong" atau penyedia bahan makanan bagi prajurit di medan perang.

Selain itu, Sultan pun berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan di dalam ibukota kerajaan. Dengan bantuan ahli bangunan dari Portugis dan Belanda, yang sudah masuk Islam, di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel, diperbaiki pula bangunan-bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat dan diberi bastion, bangunan berbentuk setengah lingkaran di setiap mata angin, yang dilengkapi dengan 66 buah meriam diarahkan ke segenap penjuru (Chijs, 1881:39)[17]. Sungai di sekeliling benteng dan irigasi di sekitar ibukota pun diperlebar dan ditingkatkan daya jangkaunya, sehingga areal sawah yang mendapat pengairan semakin luas. Daerah yang tadinya selalu kekurangan air menjadi subur; padi dan tanaman produksi lainnya sangat menunjang kemakmuran rakyat Banten, diperkirakan produksi merica rata-rata 3.375.000 pon pada tahun 1680 - 1780 (Chijs, 1881:70).

Dengan ditandatanganinya gencatan senjata antara Banten dan Batavia, berarti blokade Kompeni atas pelabuhan Banten pun berakhir. Kapal-kapal dagang asing yang tadinya takut berlabuh di Banten, sekarang mereka dapat berniaga dengan aman dan bebas. Maka ramailah pelabuhan Banten dengan kapal-kapal dagang dari berbagai negara, seperti dari Manila, Jepang, Cina, India, Persia dan Arab, bahkan pedagang-pedagang dari Ingris, Perancis, Denmark, Belanda dan Portugis pun membuka kantor perwakilannya di Banten. Karena Mataram dalam situasi perang dengan kompeni, maka pusat perdagangan di bagian timur pun beralih ke Banten; otomatis wilayah dagang Banten ini meliputi hampir seluruh daerah nusantara. Sehingga dapat dikatakan bahwa Banten mencapai puncak kejayaannya --- dan pada masa itu pun dikeluarkan uang emas Kesultanan Banten (Burger, 1962:63).

Dalam masa itu pula perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Di komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan untuk mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian juga di beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan membina mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makasar, Syekh Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).

Sultan membina hubungan baik dengan beberapa negara Islam seperti dengan Aceh dan Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang kuat dan penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri. Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke Ingris yang terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan (Russel Jones, 1982).

#Demikian pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam membangun kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda, sehingga Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten. … Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni yang lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).



2. Politik Adu-domba Belanda

Dari perkawinannya Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dikaruniai anak:

1) Dari istri Ratu Adi Kasum, puteri Pangeran Arya Iwardaya, dikarunia anak seorang yaitu Abdul Kohar.

2) Dari istri Ratu Ayu Gede, berputera: Pangeran Arya Abdul 'Alim, Pangeran Arya Ingayuja Pura dan Pangeran Arya Purbaya.

3) Dari istri Ratu Siti, berputera: Pangeran Sugiri.

4) Dari istri yang tidak disebut namanya. berputra: Tubagus Raja Suta, Tubagus Rajaputra, Tubagus Husen, Raden Mandaraka, Raden Saleh, Raden Arum, Raden Mesir, Raden Muhammad, Tubagus Muhasim, Tubagus Wetan, Tubagus Muhammad 'Arif, Tubagus Abdul, Ratu Jamiroh, Ratu Ayu, Ratu Kidul, Ratu Marta, Ratu Adi, Ratu Ummu, Ratu Majidah, Ratu Habibah, Ratu Fatimah, Ratu Asyithoh, dan Ratu Nasibah.

Seperti kebiasaan yang dilakukan sultan-sultan sebe-lumnya, Sultan 'Abulfath Abdul Fattah mengangkat putra pertamanya menjadi putra mahkota. Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi pembantu atau Mangkubumi kedua dalam struktur pemerintahan. Wewenang putra mahkota rupanya cukup besar, sehingga semua kebijaksanaan Sultan haruslah hasil musyawarah antara sultan, mangkubumi dan putra mahkota. Oleh karenanya putra mahkota pun mempunyai pembantu-pembantunya sendiri, seperti juga mempunyai pasukan dan sebagainya. Pengangkatan Abdul Kohar menjadi Pangeran Gusti (Putra Mahkota) terjadi pada tanggal 16 Pebruari 1671, bertepatan dengan datangnya surat dari Syarif Mekkah, yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti diberi gelar Sultan Abu'n Nasr Abdul Kohar (Djajadiningrat, 1983: 55, 208).

Putra Mahkota Sultan Abu'n Nasr Abdul Kohar diberi kuasa untuk mengatur semua urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri masih sepenuhnya wewenang Sultan Abdul Fattah. Semenjak itu Sultan 'Abulfath Abdul Fattah pindah ke istana yang baru di Pontang (kira-kira 13 km ke arah timur Surosowan, yang sekarang desa Tirtayasa) --- karena itu diberi sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Keputusan ini diambil (mungkin) Sultan ingin memusatkan perhatian pada bidang pertahanan di Tangerang dan Angke; karena dari Tirtayasa keadaan di garis depan akan lebih mudah dikontrol, demikian juga keadaan di Surosowan pun akan cepat diketahui karena perhubungan antara kedua daerah sudah cukup baik. Tapi dengan pindahnya Sultan 'Abdulfath ke Tirtayasa ini, Belanda semakin mendapat kesempatan baik, karena sewaktu beliau masih di Surosowan, kompeni tidak dapat berbuat banyak karena memang Sultan dikenal dengan keteguhan sikapnya; Sultan ingin supaya kompeni Belanda hancur dan enyah dari bumi nusantara.

Dengan segala rayuan dan bujukan halus, kompeni berusaha mendekati Putra Mahkota, dan akhirnya, Putra Mahkota pun dapat dipengaruhinya. kompeni Belanda men-dapat banyak kemudahan, baik dalam bidang perdagangan maupun bidang lainnya. Bahkan dalam setiap acara penting di istana Surosowan, wakil kompeni selalu diundang hadir. Kedekatan hubungan dengan kompeni ini sampai-sampai mempengaruhi cara pikir dan tingkah laku Putra Mahkota. Dalam kehidupan sehari-hari, cara berpakaian, makanan dan sebagainya, Putra Mahkota banyak meniru kebiasaan-kebiasaan orang Belanda, yang dirasa asing oleh rakyat Banten. Sehingga tidaklah aneh apabila sebagian besar rakyat dan pembesar kerajaan tidak menyenanginya (Tjandrasasmita, 1967 : 35).

Melihat keadaan demikian itu, Sultan Ageng Tirtayasa sangatlah prihatin. Dibujuknya Putra Mahkota untuk menu-naikan ibadah haji ke Mekkah, yang nanti pulangnya meninjau beberapa negara Islam. Diharapkan dengan cara demikian, kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak selaras dengan adat keislaman sedikit banyak dapat dihilangkan. Di samping itu pula Putra Mahkota dapat memperluas wawasan berpikirnya, demi kemajuan Kesultanan Banten (Hamka, 1976: 303). Maka pada tahun 1674 berangkatlah Putra Mahkota Sultan Abu'nasr Abdul Kahar beserta rombongannya ke Mekkah, sekalian melawat ke negeri-negeri Islam lainnya. Perjalanan ini memakan waktu dua tahun pulang pergi.

Selama Putra Mahkota pergi ke Mekkah, pemerintahan di Surosowan dipercayakan kepada adiknya, Pangeran Purbaya. Mengingat sifat Pangeran Purbaya yang jauh lebih baik dari kakaknya, Sultan Ageng Tirtayasa banyak menyerahkan tanggung jawab kerajaan ke pundaknya. Sehingga begitu Putra Mahkota pulang dari Mekkah, didapatinya Pangeran Purbaya lebih banyak mendapatkan kekuasaan dari ayahnya. Karena itulah terjadi adanya ketegangan hubungan antara Putra Mahkota --- yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji --- dengan Pangeran Purbaya. Demikian juga antara Sultan Haji dengan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

Keadaan demikian dimanfaatkan oleh kompeni untuk menghasut Sultan Haji dan berusaha mengadu-dombakan antara ayah dan anak. Sehingga timbullah keberanian Sultan Haji untuk menentang kebijaksanan ayahnya. Dan karena dianggapnya semua orang di istana memusuhinya, Sultan Haji lebih percaya kepada kompeni yang dianggapnya sebagai kawan sejati, dan dijadikannya orang-orang Belanda itu sebagai penasehatnya.

Dalam situasi yang demikian itu, datanglah tiga orang pangeran dari Cirebon. Mereka adalah Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Wangsakerta[18]. Ketiganya diterima baik oleh Sultan dan dijanjikan untuk menjadikan mereka sultan di Cirebon yang merdeka atas jaminan Banten. Dengan bantuan beberapa prajurit pilihan dari Banten, mereka ditugaskan untuk menyusun kekuatan rakyat Cirebon yang nanti disiapkan menyerang kompeni dari arah timur[19]. Tindakan Sultan membantu ketiga pangeran Cirebon itu ditentang oleh Sultan Haji, yang dianggapnya mencampuri urusan kompeni, dan ini berbahaya bagi rakyat Banten.

Biar pun perjanjian persahabatan telah ditandatangani, Sultan masih melihat adanya usaha kompeni untuk memak-sakan monopoli perdagangan di Banten; bahkan mereka pun berusaha mengadu-domba antara rakyat dan pembesar istana. Karena itulah, secara diam-diam, Sultan membantu perlawanan rakyat terhadap kompeni Belanda. Sultan membina hubungan baik dengan Trunojoyo di Jawa Timur dan Sultan Hasanuddin di Makasar[20]. Dan, setelah perlawanan Trunojoyo dan Hasanuddin dapat dikalahkan Belanda, Sultan menerima prajurit-prajurit mereka bergabung untuk bersama-sama memerangi kompeni. Sultan membantu mereka dalam mengadakan kekacauan-kekacauan di perbatasan Batavia. Pasukan ini pun berkali-kali mengadakan serangan gerilya pada pos-pos kompeni antara Cirebon dan Citarum, bahkan juga menyerang benteng kompeni di Tanjung Pura dekat Krawang (Sanusi Pane, 1950:216).



3. Tahap Akhir Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa

Hubungan Sultan Haji dengan kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya sehingga dalam pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan satu barisan pasukan kompeni sebagai pasukan tambahan, yang pada hakekatnya mereka adalah mata-mata yang ditanam kompeni di Banten (Chijs, 1881 : 38). Memang inilah yang dituju kompeni, Sultan Haji sudah terbiasa dengan segala yang berbau Belanda. Ia lebih percaya kepada kata-kata kompeni dari pada petuah-petuah ayahnya. Karena hasutan kompeni ini pulalah maka hubungan Sultan Haji dengan ayahnya semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga mencurigai. Sehingga pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan yang kuat untuk segera memegang kekuasaan penuh di Kesultanan Banten, tanpa adanya campur tangan ayahnya.

Keinginan demikian terlihat dari tindakan Sultan Haji yang pada bulan Mei 1680 mengirimkan utusan ke Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk menawarkan perdamaian sambil menegaskan bahwa yang berkuasa di Banten sekarang adalah dirinya. Ia menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa sudah menyerahkan seluruh kekuasaannya. Sudah tentu tawaran itu ditolak, kompeni tahu bahwa Sultan Ageng Tirtayasa belum meletakkan jabatannya. Keadaan ini dijadikan senjata oleh kompeni mendorong Sultan Haji untuk segera memperoleh kuasa penuh di Banten.

Satu hal lagi yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman menjadi Gubernur Jendral VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal 25 November 1680, padahal saat itu kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon yang kemudian dapat menguasai Cirebon seluruhnya. Melihat keadaan anaknya yang sudah sedemikian keadaannya, Sultan Ageng Tirtayasa memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu. Rakyat dari daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin, Carita dan sebagainya banyak yang mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit. Demikian juga tentara pelarian dari Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan Cirebon bergabung dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan sudah tidak peduli lagi dengan tentara dan bangsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang dianggap berpindah adat dan berbeda haluan.

Dalam suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar khabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan kompeni kerena dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan tidak dihiraukan kompeni. Hal ini membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi. Rasa harga dirinya sebagai Sultan dari suatu negara merdeka terasa diremehkan. Maka diumumkannya bahwa Banten dan kompeni Belanda dalam situasi perang.

Pernyataan perang Sultan Ageng Tirtayasa kepada kompeni ini ditentang oleh anaknya, Sultan Haji. Sultan Haji menyatakan bahwa keputusan itu terlalu ceroboh, dan, karena tidak dimusyawarahkan dahulu dengannya maka keputusan itu tidak syah. Bahkan dengan bermodalkan bantuan pasukan kompeni, yang dijanjikan kepadanya, Sultan Haji memak-zulkan ayahnya, dengan alasan bahwa ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah mulai pikun sehingga mulai saat ini kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.

Melihat tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah kesabaran Sultan Ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah kompeni Belanda, tapi untuk menggem-purnya harus ada kesatuan kata dari semua rakyat Banten. Oleh karenanya sebelum menyerang Batavia, terlebih dahulu harus menyatukan Banten, yaitu mengganti Sultan Haji. Sultan Ageng bukanlah akan berperang dengan anaknya, tetapi yang diperangi adalah antek penjajah.

Pada tanggal 26 malam 27 Pebuari 1682, dengan dipimpin sendiri oleh Sultan Ageng Tirtayasa, mulailah diadakan penyerbuan mendadak ke Surosowan, yang berhasil mematahkan perlawanan Surosowan, sehingga dalam waktu singkat, pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana. Sultan Haji melarikan diri dan minta perlindungan kepada Jacob de Roy, bekas pegawai kompeni (Tjandrasasmita, 1967 : 41).

Keadaan Surosowan ini segera dapat diketahui Batavia, maka pada tanggal 6 Maret 1682 dipimpin oleh Saint Martin kompeni mengirimkan dua kapal perang lengkap pasukan tempurnya. Pasukan ini tidak segera dapat mendarat di pelabuhan Banten, karena hebatnya perlawanan pasukan Banten. Maka Kapten Sloot dan W. Caeff, wakil kompeni di Banten, segera mengirim utusan ke Batavia agar kompeni mengirimkan pasukan darat yang lebih banyak lagi.

Setelah mempelajari keadaan medan perang, kompeni segera mengirim pasukan bantuan dari darat dan laut. Penyerangan dari laut dipimpin oleh Kapten Francois Tack yang, nanti bersama-sama dengan pasukan Saint Martin mengadakan serangan di depan pelabuhan Banten. Sedangkan pasukan darat dipimpin Kapten Hartsinck, berkekuatan 1000 orang, mengadakan penyerangan dari arah Tangerang; nanti dalam serbuan ke Tirtayasa, pasukan ini bergabung dengan pasukan laut, sehingga Tirtayasa diserang dari dua arah, demikian taktik kompeni.

Melalui pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten Tack dan Saint Martin dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa dan pasukannya mundur ke arah barat sungai Ciujung. Pertempuran ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng hanya dapat bertahan di benteng Kedemangan.

Dalam pada itu, pasukan Banten di Tangerang dan Angke berusaha menahan serangan pasukan Kapten Hartsink. Di sebelah timur Sungai Angke, kompeni hanya dapat bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah baratnya, pada tanggal 30 Maret 1682, sudah dapat dikuasai pasukan Banten yang dipimpin Pangeran Dipati. Tapi setelah melalui pertempuran yang lama, pada tanggal 8 Desember 1682 kubu pertahanan Banten di Tangerang dan Angke dapat dikuasai kompeni. Benteng di Kedemangan pun akhirnya dapat dihancurkan pasukan Kapten Tack pada tanggal 2 Desember 1682. Dengan demikian ruang gerak prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil. Di sebelah barat pasukan kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji menguasai sampai Kademangan, sedangkan dari arah timur pasukan Kapten Hartsinck sudah sampai di perbatasan daerah Tanahara. Sehingga daerah induk yang masih dikuasai Sultan Ageng hanyalah Tanahara, Tirtayasa dan Kademangan saja (Sanusi Pane, 1950:216).

Untuk mempertahankan Tirtayasa, benteng di Kademangan dan Tanahara merupakan kubu pertahanan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat. Di Tanahara, Sultan Ageng menempatkan pasukan darat yang dipusatkan di benteng Tanahara, dan juga pasukan lautnya di Pulau Cangkir. Karena kuatnya pertahanan di Tanahara ini, maka kompeni menambah lagi pasukan tempurnya dari Batavia dipimpin Kapten Jonker. Setelah mengerahkan pasukan penyerang dari darat dan laut, barulah pada tanggal 28-29 Desember 1682 Tanahara pun dapat direbut kompeni.

Dalam usaha untuk menguasai daerah Tirtayasa, kompeni melakukan penyerangan serentak dari dua jurusan: pasukan Kapten Tack dan Sultan Haji menyerang dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten Jonker menyerang dari Tanahara. Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng dikerahkan untuk melawan kekuatan kompeni ini. Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf dan seluruh pembesar negeri semuanya turut berperang memimpin pasukan. Pertempuran berlangsung hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng sedikit demi sedikit dapat dipukul mundur. Karena Sultan memperkirakan bahwa pasukannya tidak akan mampu mempertahankan Tirtayasa lebih lama lagi, maka diperintahkan pasukannya untuk segera mengundurkan diri, meninggalkan Tirtayasa dan mundur ke arah selatan yaitu hutan Keranggan. Tapi sebelumnya, Sultan memerintahkan supaya istana dan bangunan lainnya dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunannya itu diinjak oleh orang kafir dan pendurhaka. Memang, akhirnya kompeni dan Sultan Haji dapat menduduki Tirtayasa, tetapi di sana mereka hanya mendapati puing-puing bekas istana saja, bahkan penduduknya pun banyak yang ikut Sultannya ke hutan (Tjandrasasmita, 1976:44).

Dari hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya melanjutkan perjalanan ke Lebak. Satu tahun mereka melakukan perang gerilya dari sana. Tapi akhirnya, Lebak pun dapat dikepung pasukan kompeni, sehingga pasukan Sultan Ageng terpecah menjadi dua bagian: Pangeran Purbaya dan sejumlah tentaranya bergerak ke sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sedangkan Sultan Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya bergerak ke daerah Sajira, di perbatasan Bogor.

Sultan Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan. Dengan petunjuk serta nasehat kompeni, yang ingin melakukan tipu daya halus, maka Sultan Haji mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Sajira. Surat itu berisikan ajakan Sultan Haji supaya ayahnya kembali ke Surosowan dan hidup bersama dengan damai, di samping itu dapatlah dirundingkan kedudukan prajurit dan rakyat Banten yang mendukung perjuangan Sultan Ageng. Tanpa perasaan curiga sedikit pun, Sultan yang kala itu usianya sudah lanjut, --- ditambah pula kesedihan atas gugurnya Pangeran Kulon pada tanggal 7 Maret 1683 --- maka pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam, Sultan Ageng datang ke Surosowan setelah lama bertahan di hutan.

Sultan Ageng Tirtayasa dengan beberapa pengawalnya sampailah di Surosowan dan langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan sang ayah. Penerimaan Sultan Haji sangat baik meski pun di belakangnya telah ada maksud tertentu atas bujukan kompeni. Tetapi setelah beberapa saat lamanya tinggal di istana Surosowan ia ditangkap oleh kompeni dan segera dibawa ke Batavia. Memang itulah maksud dan tipudaya kompeni atas kerja sama dengan Sultan Haji. Jika Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan berada di Surosowan maka dikhawatirkan oleh kompeni akan dapat mempengaruhi Sultan Haji, yang sudah erat bekerjasama dengan kompeni.

Sultan Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalam penjara berbenteng di Batavia dengan penjagaan ketat serdadu kompeni hingga meninggalnya di penjara pada tahun 1692 (Tjandrasasmita, 1967:46). Jenazahnya oleh Sultan Abdulmahasin Zainul Abidin, anaknya Sultan Haji, dan terutama oleh rakyat Banten yang amat mencintainya dimintakan kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikirim kembali ke Banten. Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan ia dimakamkan di samping sultan-sultan pendahulunya, di sebelah utara Masjid Agung Banten[21].



4. Perjuangan Gerilya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf

Ketika Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap atas tipu daya Belanda dan kerja sama Sultan Haji, serta gugurnya Pangeran Kulon, semangat perjuangan menentang dominasi Belanda tidaklah berkurang. Hal mana menjadikan motivasi pejuang yang pro Sultan Ageng Tirtayasa semakin meningkat karena kekuasaan Banten di bawah Sultan Haji telah ada dalam pengaruh politik Belanda. Jajaran penjuang terdiri dari keluarga kerajaan, para ulama dan sebagian besar rakyat Banten. Mereka masih terus berjuang di hutan-hutan menentang kolonialisme Belanda. Tokoh gerilya itu di antaranya adalah Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kulon. Syekh Yusuf adalah seorang ulama Banten asal Makasar yang diangkat mufti kerajaan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa.

Walaupun Sultan Ageng Tirtayasa sudah dapat ditangkap dan dipenjarakan kompeni, Syekh Yusuf dan pasukannya tetap meneruskan perjuangan di sekitar Tangerang. Bersama pasukan Banten lainnya mereka menyusuri hutan dan tepi sungai dengan tujuan ke Cirebon, dengan harapan di sana ia mendapat bantuan dari Sultan Cirebon yang pernah jadi sahabat Banten. Dalam pada itu kompeni segera mengetahui tentang rencana Syekh Yusuf itu, maka dikirimkannya sejumlah pasukan kompeni yang dipimpin oleh Van Happel ke Cirebon. Kompeni khawatir kalau-kalau Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul serta tentaranya ini akan terus ke Jawa Tengah dan bergabung dengan pasukan Kartasura.

Sampai di Cikaniki, pasukan Syekh Yusuf selanjutnya menuju Cianten lewat jalan Cisarua dan Jampang, sedangkan pasukan Pangeran Purbaya melanjutkan perjalanannya ke daerah Galunggung untuk bergabung dengan Tumenggung Tanubaya. Pasukan gerilya Banten ini berjumlah kira-kira 4000 orang atau 5000 orang, termasuk 1000 orang Makasar, Bugis dan Melayu. Dari Jampang, Syekh Yusuf dan pasukannya terus menuju ke Pamotan yang kemudian ke Cilacap dengan menggunakan perahu. Tapi karena tentara kompeni yang dipimpin oleh De Ruys dan Eigel berada di sana, Syekh Yusuf pun pergi ke Padaherang dengan menyusuri sungai Citandui. Dari daerah inilah Syekh Yusuf kemudian mengadakan serbuan-serbuan ke benteng perta-hanan Belanda. Tapi tidak lama kemudian, tanggal 25 September 1683, Belanda mengadakan serangan besar-besaran terhadap Padaherang, sehingga dalam pertempuran itu Pangeran Kidul gugur demikian juga banyak pembesar Banten dan Makasar yang gugur, dan istri Syekh Yusuf ditawan musuh, sedangkan Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya dapat meloloskan diri dan pergi hingga sampai di Mandala, daerah Sukapura.

Karena kompeni sudah merasa kesulitan untuk menangkap Syekh Yusuf, maka diaturlah strategi penipuan untuk dapat memperdayakan Syekh Yusuf. Mula-mula, kompeni menangkap anak perempuan Syekh Yusuf, yang bernama Asma, kemudian dengan menggunakan putrinya itu, Van Happel pergi ke Mandala untuk minta supaya Syekh Yusuf menjemput putrinya dan berunding dengan kompeni. Karena bujukan dan janji-janji Van Happel, akhirnya Syekh Yusuf menerima untuk berunding; tapi dengan siasat licik ini, Syekh Yusuf ditangkap kompeni pada tanggal 14 Desember 1683. Syekh Yusuf dibawa ke Cirebon yang kemudian dipindahkan ke Batavia, dan, akhirnya pada tanggal 12 Desember 1684 dibuang ke Ceylon. Karena di Ceylon pun Syekh Yusuf masih terus mengadakan hubungan perjuangan dengan orang-orang Banten yang pulang dari menunaikan ibadah haji, maka keputusan Pemerintah Tinggi Kompeni pada tanggal 7 Juli 1693 Syekh Yusuf dipindahkan pengasingannya ke Tanjung Harapan, sampai meninggalnya pada tanggal 23 Mei 1699.

Dalam pada itu, Pangeran Purbaya, Pangeran Sake dengan sekitar 800 orang pasukannya yang masih setia melanjutkan perjuangannya di daerah Cikalong, Bogor Selatan. Dengan menggunakan Untung Surapati, yang berhasil dibujuk untuk masuk tentara kompeni, bupati Sukapura dan demang Timbanganten, kompeni membujuk Pangeran Purbaya agar menyerahkan diri. Di samping mengutus Untung Surapati, pemerintah kompeni sebelumnya telah mengirimkan pula sepasukan tentara kompeni lainnya yang dipimpin Kuffeler. Ketika Surapati sedang mengadakan perundingan dengan Pangeran Purbaya, datanglah Kuffeler dan pasukannya yang bertindak kasar kepada Pangeran Purbaya. Untung Surapati menjadi marah karena merasa direndahkan martabatnya, berbalik menyerang tentara kompeni. Dalam pertempuran itu tentara kompeni dapat dikalahkan dan mereka melarikan diri kembali ke Sukapura dengan meninggalkan 20 orang Belanda yang mati terbunuh. Untung Surapati selanjutnya meneruskan perlawanan terhadap kompeni Belanda di daerah Priyangan yang selanjutnya ke Kartasura. Dalam pertempuran di Cikalong itu, tanggal 28 Januari 1684, walau pun Belanda menderita kekalahan tapi bersama mereka yang melarikan ke Sukapura, kompeni pun berhasil menangkap Pangeran Mohammad Sake, saudara Pangeran Purbaya, yang kemudian ditahan di Sukapura. Dengan tipu muslihat yang sama, Pangeran Purbaya bersedia menyerahkan kerisnya dari Cileungsir, sebagai jaminan, untuk dikirimkan ke Batavia, baru kemudian Pangeran Purbaya sendiri menyusul ke Batavia. Setibanya di Batavia, Pangeran Purbaya disambut baik oleh kompeni dan kerisnya diserahkan kembali kepadanya, namun kemudian ia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, hingga wafatnya.



F. PEMERINTAHAN SULTAN-SULTAN BANTEN SESUDAH SULTAN AGENG TIRTAYASA



Dengan ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan pengikut-pengikut setianya ini membawa Banten ke ambang pintu penjajahan kompeni. Peperangan sudah mulai berkurang, tapi rakyat di sana-sini masih mengadakan perlawanan walau pun semuanya tidaklah begitu berarti. Sementara itu, dengan restu kompeni Belanda pulalah Sultan Haji dikukuhkan menjadi Sultan Banten dengan beberapa persyaratan. Tapi dengan demikian, kedaulatan kerajaan Banten telah runtuh, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684, yang isinya sebagai berikut (Tjandrasasmita, 1967:53):

1) Perjanjian 10 Juli 1659 tetap masih berlaku dengan utuh kecuali beberapa hal yang diubah dalam perjanjian ini. Di samping itu untuk kedamaian antara Banten dan kompeni Belanda, maka Banten dilarang memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada musuh-musuh kompeni. Demikian juga Banten tidak boleh turut campur dalam politik di Cirebon.

2) Penduduk Banten tidak boleh datang ke Batavia, demikian juga sebaliknya, kecuali ada keperluan khusus dengan mendapat surat izin dari yang berwenang. Apabila memasuki daerah-daerah tersebut tanpa surat izin, maka orang itu dianggap sebagai musuh dan boleh ditangkap atau dibunuh.

3) Sungai Untung Jawa (Cisadane) dan garis sambungnya ke selatan dan utara sampai laut Kidul, menjadi batas daerah Banten dan kompeni.

4) Apabila ada kapal milik kompeni atau milik Banten atau warganya terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan Sumatra, maka haruslah mendapat pertolongan baik penumpang-nya atau pun barang- barangnya.

5) Untuk kerugian-kerugian perang dan perampokan oleh penduduk Banten atas kompeni, maka Sultan harus menggantikan kerugian sejumlah 12.000 ringgit kepada kompeni.

6) Tentara ataupun penduduk sipil atau siapa saja yang berani melanggar hukum yang telah disepakati ini akan ditangkap dan diserahkan kepada kompeni.

7) Sultan Banten harus melepas tuntutannya atas Cirebon dan harus menganggap sebagai negara sahabat yang bersekutu di bawah lindungan kompeni.

8) Sesuai dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal 4 yang menyatakan bahwa kompeni tidak memberikan sewa tanah atau rumah yang digunakan untuk loji, maka menyimpang dari hal itu kompeni akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.

9) Sultan berkewajiban untuk waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan, perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain, kerena hal itu bertentangan dengan isi perjanjian ini.

10) Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta seluruh keturunannya haruslah menerima seluruh pasal perjanjian ini, dimaklumi serta dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan, demikian pula dari pihak kompeni.

Perjanjian ini ditandatangani di Keraton Surosowan dan dibuat dalam bahasa Belanda, Jawa dan Melayu yang sama maksud dan isinya. Penandatangan dari pihak kompeni adalah Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Sedangkan dari pihak Banten ditandatangani oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita, 1967:54).

Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, lenyaplah kejayaan dan kemajuan Banten, ditelan monopoli dan penjajahan kompeni Belanda. Bahkan akibat perjanjian ini pulalah akhirnya Kesultanan Banten menjadi hancur dan lenyap.

Bertumpuk-tumpuklah penderitaan rakyat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng, pajak yang tinggi --- karena Sultan harus membayar biaya perang --- tapi juga karena monopoli perdagangan kompeni. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk dengan harga yang sangat rendah. Raja seolah-olah hanya sebagai pegawai kompeni dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis dan Denmark, karena dianggap banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir dari Banten dan mereka pindah ke Bangkahulu (Chijs, 1881:59).

Dengan demikian maka tidaklah mengherankan apabila pada waktu itu terjadi banyak kerusuhan dan pemberontakan yang ditimbulkan oleh rakyat. Perampokan-perampokan dan pembunuhan-pembunuhan sering dialami pedagang-pedagang dan patroli kompeni di luar atau pun di dalam kota. Bahkan pernah terjadi pembakaran yang menghabiskan 2/3 bangunan-bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal-kapal kompeni yang dibajak oleh "bajak negara" yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang (Michrob, 1981:39). Kemungkinan dalam operasinya banyak dibantu oleh pelaut-pelaut asal Sumatra yang dipimpin oleh Ibn Iskandar (Soeroto, 1965:212).

Untuk memperkuat pertahanan dan kuasanya atas Banten, maka kompeni Belanda membuat sebuah benteng di pantai utara dekat pasar Karangantu. Benteng ini diberi nama Spelwijk --- sebagai peringatan kepada Speelman --- pada tahun 1682, dan kemudian disempurnakan lagi pada tahun 1685 (Chijs, 1881:25).

Akibat perang saudara yang berkepanjangan itu, banyak bangunan di dalam kota yang rusak berat, seperti istana dan benteng Surosowan. Untuk memperbaiki semuanya itu, Sultan meminta kepada Hendrik Laurenszoon van Steenwijk Cardeel, seorang arsitek bangsa Belanda yang dikatakan sudah beragama Islam --- yang juga membangun benteng Spelwijk (Chijs, 1881:36). Diratakannya dulu semua bekas benteng dan istana, kemudian di atas fondasi yang lama dibangunlah kembali seperti semula. Pekerjaan ini berjalan hampir dua tahun penuh (Michrob, 1981:37).

Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan-pemberontakan dan kekacauan di segala bidang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu ada dalam keadaan kegelisahan dan ketakutan. Bagaimana pun juga sebagai seorang manusia, penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara, sahabat dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Tapi semuanya sudah terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu akhirnya Sultan Haji jatuh sakit sampai meninggal pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Sedakingkin sebelah utara Masjid Agung, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (Ismail, 1983:7).

Melihat sejarah Sultan Haji yang demikian memalukan itu, maka timbullah cerita-cerita rakyat yang hampir semuanya jauh dari data sejarah yang ada. Diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng Tirtayasa bukanlah Sultan Haji, anaknya, tapi orang lain yang berasal dari Pulau Putri atau Pulau Majeti. Sewaktu Sultan Haji pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, ia singgah di suatu pulau yang dinamakan Pulau Putri atau Pulau Majeti. Di sana Sultan bertemu dengan seorang putri cantik yang kemudian ia jatuh cinta dan menikahinya. Dan atas permintaan sang putri, semua pakaian dan perhiasan Sultan diserahkan sebagai mahar. Pakaian dan perhiasan ini kemudian diberikan kepada kakak sang putri yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Kakaknya inilah yang kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku bernama Sultan Haji. Karena pakaian dan wajahnya yang memang mirip, rakyat pun mengakuinya. Dialah yang kemudian memerintah Banten dan berperang dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah selang beberapa tahun kemudian, Sultan Haji (yang asli) pulang ke Banten, dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah, dan untuk menjaga jangan terjadi keributan ia pergi ke Cimanuk-Cikaduen, Pandeglang, aktif menyebarkan agama Islam sampai meninggalnya. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansur atau Syekh Mansur Cikaduen (Roesjan, 1954:26-30 dan Djajadiningrat, 1983: 15). Cerita semacam ini dianggap sangat lemah dalam data sejarah, dan hanyalah dianggap sebagai dongeng yang mengandung nilai filosofis.

Dari pernikahannya dengan permaisuri, Sultan Haji mempunyai beberapa orang anak di antaranya Pangeran Ratu (anak pertama) dan Pangeran Adipati (anak kedua) (Djajadiningrat, 1983:210). Sedangkan dari sumber lain (Babad Banten) tercatat bahwa Sultan Haji mempunyai 10 orang anak (Ismail, 1967):

1) Pangeran Ratu (Sultan 'Abulfadl).

2) Pangeran Adipati (Sultan Muhammad Zainul Abidin).

3) Pangeran Muhammad Thohir.

4) Pangeran Fahdluddin.

5) Pangeran Ja'faruddin.

6) Pangeran Muhammad 'Alim.

7) Ratu Rohimah.

8) Ratu Hamimah.

9) Pangeran Ksatrian.

10) Ratu Mumbay (Ratu Bombay).



Setelah Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Barulah setelah Van Imhoff turun tangan, masalah ini dapat diselesaikan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu, menjadi sultan Banten, yang kemudian bergelar Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya (1687 - 1690). Ternyata Sultan Abu'l Fadl termasuk orang yang benci kepada kompeni Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Tapi baru berjalan 3 tahun, Sultan jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya, jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin (Ismail, 1983:7).

Karena Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, maka tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu'l Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau juga biasa disebut Kang Sinuhun Ing Nagari Banten yang memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. (Djajadiningrat, 1983:139). Putra Sultan Abu'l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang, sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733 - 1747).

Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini banyak terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan kompeni yang sudah di luar batas kemanusiaan --- misalnya dengan adanya kerja rodi, tanam paksa dan sebagainya. Memang pada awal abad ke-18 ini terjadi perubahan politik kompeni dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India, sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karenanya kompeni mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah.

Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu kompeni banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada kompeni dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada kompeni (Soeroto, 1965:213-214). Dalam praktek penjualan kembali ini, harga jual yang diperoleh rakyat jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jual raja kepada kompeni. Kompeni membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada rakyat (Sanusi Pane, 1950:265).

Cara penimbangan yang semberono, jenjang/birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut : sultan menjual lada kepada kompeni seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari (garam, kain, beras dan lain-lain) yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu (Chijs, 1881:70).

Dalam pada itu, di dalam kraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin sangat dipengaruhi permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia. Sultan Zainul Arifin menunjuk Pangeran Gusti, putranya yang tertua, menjadi Putra Mahkota, tetapi karena Ratu Fatimah tidak menyetujuinya maka diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah, suami anak Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi Putra Mahkota. Dan karena desakan Ratu Fatimah pula, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia, yang kemudian, atas perintah Ratu Fatimah, di tengah perjalanan ia ditangkap tentara kompeni dan diasingkan ke Sailan (1747).

Atas persetujuan kompeni, Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan menjadi Putra Mahkota, dan untuk jasa-jasa kompeni ini, Ratu Fatimah menghadiahkan sebidang tanah di daerah Cisadane dan hak separuh penghasilan tambang emas di Tulang Bawang, Lampung, kepada kompeni. Karena fitnah istrinya pula akhirnya Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni, dituduh gila, dan diasingkan ke Ambon sampai meninggalnya. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, tapi sebenarnya, Ratu Fatimahlah yang memegang kuasa pemerintahan.

Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian petinggi negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Dalam penyerangan ini pasukan perlawanan dibagi dua, sebagian langsung menyerang kota Surosowan dan sebagian lagi mencegat bantuan pasukan kompeni dari Batavia. Ratu Bagus Buang dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah barat, yang memaksa pasukan Ratu Fatimah hanya mampu bertahan di benteng saja, sedangkan pasukan Ki Tapa yang mencegat pasukan kompeni dari Batavia, melalui pertempuran hebat, mereka dapat menghancurkan pasukan kompeni. Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru dari negeri Belanda, Batavia pun mungkin dapat direbut pasukan Ki Tapa ini. Karena pasukan bantuan dari negeri Belanda ini pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat dipukul mundur. Demikian juga pengepungan di Surosowan dapat dibuyarkan.

Untuk menenangkan rakyat Banten, gubernur jendral kompeni yang baru, Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Fatimah selanjutnya diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda[22]. Belanda mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya.

Walau pun kompeni telah mengembalikan Pangeran Gusti dan bahkan menangkap Ratu Fatimah, namun perlawanan rakyat Banten tidak mereda. Barisan rakyat dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan mendadak di sekitar ibukota Surosowan. Tapi dalam serangan besar-besaran yang dilakukan kompeni, akhirnya pasukan perlawanan ini dapat dipukul mundur, hingga mereka hanya dapat bertahan di daerah pengunungan di Pandeglang. Baru pada serangan berikutnya, pasukan pejuang ini menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea, Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat dikuasai kompeni, sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor dan Banten Selatan.

Dalam pada itu di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alimin pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra Mahkota. Tapi dengan pengangkatan itu Sultan Abulma'ali harus menandatangani perjanjian dengan kompeni yang isinya[23]:

1) Banten di bawah kuasa penuh kompeni Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan sultan.

2) Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan kompeni.

3) Hanya kompeni Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.

4) Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada kompeni saja.

5) Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan kompeni.



Mengetahui tentang pasal-pasal perjanjian kompeni ini, beberapa pangeran dan pembesar kraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti. Rakyat kembali mengangkat senjata mengadakan perlawanan, dan kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman. Pasukan penentang mengadakan serangan serentak ke kota Surosowan; Ki Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar sedangkan rakyat yang dipimpin pangeran dan ponggawa Banten mengadakan pengacauan di dalam kota. Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan kota Surosowan.

Dengan susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan serangan-serangan tersebut. Ki Tapa menyingkir ke daerah Priyangan. Dan setelah terjadi peperangan di Bandung, akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya Ki Tapa pergi ke Jawa Timur untuk bergabung dengan para pejuang di sana. Sedangkan Ratu Bagus Buang sampai tahun 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Abu'l Nasr Muhammad 'Arif Zainul 'Asiqin. Sultan Abu'l Nasr Muhammad 'Asiqin wafat pada tahun 1773 dan digantikan putranya dengan gelar Sultan Abu'l Mafakhir Muhammad Aliuddin (1773 - 1799).

Karena tidak mempunyai anak laki-laki, Sultan 'Aliuddin, setelah wafat diganti oleh adiknya, Pangeran Muhiddin, dengan gelar Sultan Abu'lfath Muhammad Muhiddin Zainushalihin yang memerintah pada tahun 1799 sampai dengan 1801. Pada tahun 1801, Sultan Muhiddin dibunuh oleh Tubagus Ali, seorang putra Sultan 'Aliuddin, dan Tubagus Ali sendiri dapat dibunuh oleh pengawal kesultanan. Selanjutnya yang menjadi Sultan adalah putra Sultan 'Aliuddin, dari selir (istri yang bukan permaisuri), dengan gelar Sultan Abu'l Nasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801 - 1802).

Pada tahun 1802 kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya yang kemudian pada tahun 1803 digantikan putra kedua Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin dengan gelar Sultan Abu'lnasr Muhammad Ishak Zainulmuttaqin atau Sultan Aliyuddin II (1803 - 1808).

Pada akhir abad ke-18, yang berkuasa di sebagian besar kerajaan di nusantara hakekatnya adalah kompeni Belanda, sultan statusnya tidak lebih dari pegawainya saja. Melalui tangan Sultan, kompeni dapat memerintahkan apa saja kepada rakyat. Dalam hal perdagangan, kompeni bukan saja menghendaki monopoli pembelian hasil bumi, tetapi juga dalam hal perantaraan dan penjualan. Kompeni dapat memaksa Banten (dan Lampung) menjual lada hanya kepadanya saja, demikian juga dalam hal penanamannya. Cengkeh yang dibeli kompeni dari Ambon dan pala dari Banda dibelinya dengan barang-barang Eropa atau lokal, yang dari barang-barang itu saja sudah diambil keuntungan 50% hingga 75%. Sedangkan rempah-rempah yang dibeli dengan harga 7,5 sen per pon dijualnya 300 sen. Garam dari Rembang, Gresik dan Japara yang dibeli 6 ringgit per 500 pond dijual kompeni kepada rakyat Andalas seharga 30 hingga 35 ringgit per 300 pond. Di Banten pun ditetapkan bahwa hanya kompeni yang boleh menjual kain-kain dari Koromandel, keramik Cina, dan lain-lain.

Untuk lebih banyak mendapatkan laba, kompeni pun menerapkan aturan "pemberian wajib" kepada beberapa negara taklukannya. Mataram diharuskan memberikan beras dengan jumlah yang ditentukan dan harga yang juga ditentukan semurah-murahnya oleh kompeni. Banten diharuskan memberikan lada, Priyangan harus memberikan kayu, beras, lada, ternak, kapas dan nila. Dengan ketentuan ini, sultan pun mewajibkan rakyatnya untuk menyediakan kehendak kompeni itu dengan harga yang rendah.

Tahun 1707 kompeni mewajibkan kepada rakyat Priyangan untuk menanam kopi yang hasilnya harus diserahkan kepada kompeni. Mula-mula dihargakan 21 ringgit per pikul, kemudian diturunkan menjadi 5 ringgit per pikul, itu pun dibayar separoh dengan cara barter dan separohnya lagi dengan "surat utang". Dan tidak jarang pula, untuk "menyetabilkan harga" sewaktu-waktu tanaman kopi itu harus ditebang sebagian yang kemudian sewaktu-waktu harus ditanam baru lagi.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, atas perintah kompeni Belanda, rakyat Banten yang berumur lebih dari 16 tahun dan berbadan sehat, harus menanam 500 batang pohon lada. Lada yang dihasilkan harus dijual kepada kompeni melalui petugas kerajaan yang ditunjuk secara barter dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Karena barang kebutuhan pokok ini dihargakan terlalu tinggi dan harga sebahar (tiga pikul) lada kurang dari 4 ringgit Spanyol, maka rakyat penanam hanya mendapat sedikit kelebihannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena ketentuan ini, Belanda pada tahun 1774 dapat mengirimkan 19.000 bahar lada ke negeri Belanda. Semua ketentuan kompeni ini menambah kemak-muran kompeni yang kemudian dikirimkan ke negeri Belanda, di lain pihak rakyat pribumi semakin menderita.



G. PENGHANCURAN SUROSOWAN OLEH DAENDELS

Pada akhir abad ke-18, walau pun kompeni dapat menguasai hampir seluruh kepulauan nusantara, namun kompeni pun mengalami kemunduran dalam perdagangannya. Hal ini disebabkan karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, mengakibatkan hutang kompeni (VOC) bertumpuk. Di antara sebab penting lain dalam masalah ini adalah :

1) Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis dan Ingris.

2) Miskinnya penduduk nusantara, terutama pulau Jawa karena monopoli, sehingga rakyat tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.

3) Turunnya harga rempah-rempah di pasaran dunia, karena di samping seringnya penduduk pribumi yang melanggar monopoli kompeni, Inggris pun sudah berhasil menanamnya di India.

4) Banyak pegawai VOC melakukan korupsi.

5) Banyak biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru, terutama di Jawa dan Madura.

Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda, dan sejak saat itulah kepulauan Nusantara dijajah Belanda (Soetjipto, 1961:56).

Pada tahun 1789 terjadi Revolusi Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, yang mengguncangkan Eropa. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis, kecuali Inggris; Belanda pun dapat dapat dikuasainya tahun 1807 --- sehingga otomatis daerah jajahan Belanda, termasuk kepulauan Nusantara berada di tangan Perancis. Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon, yang diberi kuasa di Belanda, mengangkat Herman William Daendels sebagai Gubernur Jendral di kepulauan Nusantara. Ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan tentara Inggris yang berpangkalan di India. Untuk tugas tersebut Daendels membangun sarana-sarana pertahanan: jalan-jalan pos, personil, barak militer, benteng, pelabuhan, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan rodi atau kerja paksa, yaitu para pekerja tanpa upah.

Pekerjaan pertama adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Deandels memerintahkan kepada Sultan Banten mengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya. Tapi karena daerahnya berawa-rawa maka banyak pekerja yang mati, terkena hawa beracun atau penyakit malaria, atau melarikan diri.

Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biangkeladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan Sultan yang dipanggil datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya:

1) Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.

2) Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.

3) Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda.

Sudah tentu tuntutan ini ditolak oleh Sultan Aliudin. Mengetahui sikap Sultan yang demikian, dengan segera (dan sembunyi-sembunyi) dikirimnya pasukan dalam jumlah besar yang dipimpin Daendels sendiri ke Banten, yang dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Kemudian diutuslah Komondeur Philip Pieter du Puy dengan beberapa orang pengawalnya ke istana Surosowan untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan, tanpa memberitahukan bahwa pasukan Belanda sudah disiapkan di luar kota. Namun karena kebencian yang sudah memuncak kepada Belanda, Du Puy dan seluruh pengawalnya dibunuh oleh pasukan pengawal kraton di depan pintu gerbang benteng Surosowan.

Mengetahui keadaan utusannya itu Daendels segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang istana Surosowan pada hari itu juga, yakni tanggal 21 Nopember 1808 (Chijs, 1881:43). Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang di luar dugaan, sehingga Sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. Prajurit-prajurit Banten dengan keberanian yang mengagumkan memper-tahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Deandels dapat menumpas semua itu. Surosowan dapat direbutnya, Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan Patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga, dan Sadang dimasukkan ke dalam teritorial Batavia. Dan sebagai Sultan Banten diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809). Walaupun masih bergelar Sultan, namun kekuasaannya tidak lebih dari seorang pegawai Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa, dengan gaji 15.000 real setahun dari Belanda (Sanusi Pane, 1950 b:113).

Tindakan kejam Deandels ini menimbulkan kebencian rakyat kepada Belanda semakin memuncak. Perampokan kapal-kapal Belanda sering terjadi, demikian juga pengacauan-pengacauan di darat yang digerakkan oleh para ulama. Mereka bermarkas di daerah Cibungur, pantai Teluk Marica. Serangan pasukan Belanda ke daerah ini tidak berhasil, bahkan serangan yang dipimpin Daendels sendiri pun dapat dipukul mundur. Daendels mencurigai Sultan sebagai dalang kerusuhan tersebut, untuk itu bersama pasukannya ia datang ke Banten. Sultan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan istana Surosowan dihancurkan dan dibakar (1808).

Untuk melemahkan perlawanan rakyat, Daendels membagi daerah Banten dalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten: Banten Hulu, Caringin dan Anyer. Ketiga daerah tersebut di bawah pengawasan landros (semacam residen) yang berkedudukan di Serang. Daerah Tangerang dan Jasinga digabungkan dengan Batavia. Untuk daerah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafi'uddin (1809 - 1813), putra Sultan Muhyiddin Zainul Shalikhin (Sanusi Pane, 1950b:14 dan Ismail, 1983:270); karena Keraton Surosowan telah hancur maka pusat pemerintahan dialihkan ke Keraton Kaibon. Demikianlah, semenjak kejadian itu kesultanan Banten lenyap dan dilupakan orang. Perlawanan rakyat yang tanpa hentinya pun dihancurkan dengan kejam.

Tentang pembuatan pelabuhan militer di Ujung Kulon, karena banyaknya pekerja yang mati dan daerahnya yang berawa-rawa, maka pembangunannya dihentikan, dan dipindahkan ke Anyer. Pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan “jalan pos” dari Anyer sampai Panarukan (±1000 Km) yang akan digunakan untuk kepentingan militer; sedangkan pelaksanaan pembangunannya menjadi tanggung jawab bupati di daerah yang dilewati jalan tersebut. Dengan cara kerja paksa (rodi) begini, pembangunan jalan ini selesai dikerjakan hanya dalam tempo satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten.

Melihat tindakan Daendels yang dianggap sangat keras, maka Kaisar Napoleon pada tahun 1810 memanggil Daendels untuk pulang ke negerinya. Sebagai penggantinya, Napoleon menugaskan Jansens menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda.

Sekitar bulan Agustus 1811 pasukan Inggris dari India, dengan menggunakan 100 buah kapal, mendarat di Banten. Dengan mudah tentara Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles --- dengan bantuan beberapa raja yang sangat membenci Belanda --- dapat mengalahkan tentara Belanda. Jansen dengan beberapa sisa tentaranya melarikan diri ke Semarang, dan akhirnya menyerah tanpa syarat. Belanda menandatangani perjanjian menyerah pada tanggal 17 September 1811 di Salatiga; dengan demikian seluruh daerah jajahan Perancis ini beralih tangan di bawah kuasa Inggris.

#Pada masa pemerintahan Inggris ini, untuk memudahkan administrasi dan pengawasannya, Raffles membagi Pulau Jawa dalam 16 daerah karesidenan. Di samping itu Raffles pun mengadakan perobahan dalam bidang peradilan, yang disesuaikan dengan sistem peradilan di Inggris. Kerja rodi dan perbudakan, karena dianggap tidak sesuai dengan "prinsip kemanusiaan" dilarang. Untuk menambah pemasukan keuangan negara, Raffles menerapkan monopoli garam dan menjual beberapa daerah kepada partikelir --- seperti juga Daendels.

Di Banten, Sultan Muhamad Syafiuddin, pada tahun 1813, dipaksa turun tahta oleh Raffles dan menyerahkan jabatan pemerintahan Banten kepada pemerintah Inggris; kesultanan Banten dihapuskan. Seluruh daerah Kesultanan Banten telah dikuasai Pemerintah Inggris dan dijadikan sebuah karesidenan. Dengan demikian, berakhirlah keberadaan Kesultanan Banten. Gelar "sultan" boleh dipakai terus dan kepada Sultan diberi 10.000 ringgit Spanyol setahun. Sultan Muhyiddin meninggal pada tahun 1816 dan digantikan anaknya, Sultan Muhammad Rafi'uddin, --- yang pada tahun 1832 diasingkan ke Surabaya karena dituduh berkomplot dengan bajak laut.

Pada tahun 1813 itu juga, Raflles membagi wilayah Banten dari tiga daerah menjadi empat kabupaten yang masing-masing diperintah oleh seorang bupati:

1. Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) dengan ibukota Serang, diperintah oleh Pangeran Suramenggala.

2. Kabupetan Banten Kulon (Banten Barat) dengan ibukota Caringin, diperintah oleh Tubagus Hayudin.

3. Kabupaten Banten Tengah dengan ibukota Pandeglang, diperintah oleh Tubagus Ramlan.

4. Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) dengan ibukota Lebak, diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.



Setelah Kaisar Napoleon Bonaparte dikalahkan dalam pertempuran di Leipzig dan kemudian ditangkap, Pemerintah Inggris pada tahun 1814 memutuskan dalam Convention of London untuk menyerahkan kembali daerah bekas jajahan Belanda kepada pemerintah Kerajaan Belanda. Raffles, yang tidak setuju dengan keputusan itu meletakkan jabatannya, dan digantikan oleh Letnan Gubernur John Fendall. Pada tahun 1816 Fendall menyerahkan kepulauan Nusantara kepada pemerintah Belanda.




BAB V

BANTEN DI BAWAH KEKUASAAN PENJAJAH



Akibat politik adu-domba yang dilakukan kompeni Belanda di Banten, maka terjadilah perang antara anak dan ayah, antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan bantuan personil tentara kompeni, melalui tipu daya licik, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditangkap dan dipenjarakan sampai meninggalnya. Dengan demikian, untuk membalas "budi-baik" kompeni, Sultan Haji bersedia menandatangani perjanjian damai dan pembayaran kerugian perang yang telah dikeluarkan kompeni. Perjanjian "menentukan" ini terjadi pada tanggal 17 April 1684 (Tjandrasasmita, 1967: 51).

Untuk menjaga kelangsungan perjanjian itu, kompeni membangun sebuah benteng di pantai utara dekat Karangantu yang diberi nama Speelwijk pada tahun 1685. Semenjak ditandatanganinya perjanjian itu maka kedaulatan kesultanan Banten, secara bertahap dan pasti, terancam jatuh ke tangan penguasaan kompeni Belanda. Dalam kenyataannya, sampai kesultanan Banten dibubarkan Raffles, hutang kesultanan akibat perjanjian tahun 1684 itu tidak pernah lunas terbayar.

Dari sultan ke sultan, sejak digantikannya Sultan Haji kepada Sultan Abul Fadhal pada tahun 1687 yang dilanjutkan oleh sultan berikutnya, Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin pada tahun 1690, di Banten tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, kecuali sesaat setelah Sultan Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1733. Masa pemerintahan sultan ini banyak diwarnai dengan pemberontakan rakyat yang tidak puas dengan tekanan-tekanan Belanda, seperti kerja rodi dan sebagainya. Pembesar kerajaan hanyalah sebagai perpanjangan tangan Belanda terhadap rakyat dengan kesewenang-wenangan, tanpa memperhatikan penderitaan rakyat. Hingga tahun 1740 sampai 1753 dimana Sultan Syarifuddin baru memerintah menggantikan Sultan Fathi terjadi banyak pemberontakan rakyat. Terlebih lagi ketika Sultan Fathi ditangkap dan dibuang ke Ambon oleh tentara Belanda atas hasutan permaisurinya sendiri, Ratu Syarifah Fatimah, pada tahun 1735.

Pengikut dan pengagum Sultan Ageng bersama dengan Ki Tapa, seorang ulama asal Gunung Munara, Pandeglang, dan Ratu Bagus Buang dengan pengikutnya menyerang dan melumpuhkan kekuatan kompeni di Banten. Melihat keadaan genting ini Belanda segera menangkap Syarifah Fatimah dan anaknya, Syarif Abdullah, yang kemudian diasingkan ke Banda. Pangeran Gusti, putra Sultan Zainal Arifin, dinobatkan kompeni menjadi raja Banten dan Arya Adi Santika sebagai Wakil Sultan. Dengan cara demikian, Belanda berhasil memecah belah persatuan kaum bangsawan dan memisahkannya dengan kaum perlawanan rakyat. Meski pun demikian, perlawanan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang terus berlanjut sehingga sangat merepotkan tentara kompeni.

Dari sultan ke sultan berikutnya, Banten semakin dalam tenggelam ke tangan penjajah. Terakhir, pada tahun 1809, Deandels menyerang dan membakar habis keraton Surosowan. Sultan Muhammad Syafiuddin ditangkap dan dibuang ke Ambon sedangkan patihnya dihukum pancung. Penyerbuan Belanda terhadap keraton Surosowan memakan waktu lama sampai tahun 1832; gedung-gedung dihancurkan, lantai ubinnya dipindahkan ke gedung pemerintahan Belanda di Serang.



A. PERAN ULAMA DI TUBUH KESULTANAN BANTEN

Dalam perkembangan kesejarahan Banten peran ulama sejak berdirinya Kesultanan Banten sangatlah menentukan. Bahkan berdirinya kesultanan Banten itu sendiri didahului dengan motif penyebaran agama dan menolak kehadiran Portugis ─ yang gigih menghancurkan Islam dalam semangat Perang Salib. Pendiri kesultanan Banten pun, Syarif Hidayatullah, adalah seorang ulama yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Hasanuddin, juga seorang da'i yang berhasil. Penyerangan Banten ke Lampung dan Solebar pada masa Maulana Hasanuddin, penyerangan Palembang pada masa Sultan Muhammad dan juga penyerangan ke Pajajaran pada masa Maulana Yusuf, semuanya bermotifkan keagamaan, penyebaran agama Islam, di samping tidak menutup kemungkinan adanya motif ekonomi, motif kekuasaan, atau motif tambahan lainnya.

Dalam birokrasi kerajaan, dikenal adanya Kadhi (Hakim Agung) yaitu seorang ulama yang mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting. Kadhi atau disebut juga Faqih Najmuddin selalu dimintai pendapatnya dan persetujuannya dalam setiap perjanjian yang dibuat Sultan (Sudewo, 1986:65). Kadhi-lah yang menjadi Wali Sultan dan penasehat pengangkatan pengganti sultan pada masa Sultan Muhammad, yang masih kecil. Bahkan dalam keadaan genting, ia menjadi pemimpin angkatan perang di samping jabatan tetapnya sebagai pemimpin keagamaan, misalnya pada masa Sultan Tirtayasa.

Keadaan demikian berlangsung sampai dikenalkannya sistem penjajahan oleh Belanda. Pemerintah kolonial berusaha untuk memisahkan antara urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan, disesuaikan dengan prinsip yang dianutnya: sekularisme. Para ulama mengajarkan pada masyarakat bahwa penjajahan adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan juga bertentangan dengan ajaran Islam. Menentang penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam, dan bahwa “mencintai tanah air adalah sebagian dari iman”. Maka apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan, dia mati sahid yang balasannya hanya surga. Keyakinan semacam ini tertanam pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan demikian wajarlah apabila Banten yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa sebelah barat tidak pernah sepi dari pada perlawanan kepada penjajah. Dan benarlah bahwa nasionalisme Indonesia dimulai dengan nasionalisme Islam (Noer, 1982:8).

Pada masa awal kesultanan sampai dengan masa Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa selalu bergabung dengan para ulama. Sehingga seluruh kebijaksanaan pemerintah mendapat dukungan penuh dari rakyat. Semenjak kompeni Belanda dapat menguasai politik pemerintahan Banten, ─ yang mempunyai missi tertentu kepada agama Islam[1] ─ maka untuk keamanan diri dan keluarganya, kaum elit birokrasi sedikit demi sedikit menjauhi kaum agama. Merupakan satu kegembiraan tersendiri apabila mereka tidak dimasukkan kepada kelompok "fanatik", yaitu orang-orang yang memakai “ukuran agama” dalam setiap tindakannya, dan, karenanya orang "fanatik" inilah yang dianggap berbahaya oleh penjajah. Bagi para pejabat (yang sudah dipengaruhi "kuasa" penjajah), kesejahteraan rakyat tidaklah begitu diperhatikan, mereka hanya berlomba-lomba menye-nangkan tuannya dengan memeras rakyat. Sehingga sangat jarang sekali perlawanan bersenjata tumbuh dari kalangan birokrasi ini. Hal demikian memang disengaja oleh pemerintah penjajah, untuk mengadu-domba pimpinan pribumi. Penjajah merangkul penguasa-penguasa yang rakus dengan kekuasaan; dan dengan dalih mempertahankan adat istiadat nenek moyang mereka bekerjasama membendung pengaruh agama Islam. Dengan keadaan ini maka hanya kepada para ulama-lah tumpuan rakyat untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Meski pun akhirnya Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Banten, namun perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama terus meningkat; bahkan pada abad ke-19 perlawanan bersenjata ini lebih meningkat lagi, sehingga dikatakan bahwa sepanjang abad ke-19 ini Banten sebagai tempat persemaian “kerusuhan” dan “pemberontakan”. Tidak ada satu pun distrik di Banten yang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah Belanda (Kartodirdjo, 1984: 45).

Keadaan demikian sejalan dengan meningkatnya semangat kebangkitan Islam yang tumbuh di Timur Tengah, dan berkat semakin meningkatnya hubungan antara kedua daerah itu (Benda, 1972: 83). Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dari data yang diperoleh, dalam tahun lima puluhan dan enam puluhan, jamaah haji dari Indonesia rata-rata sekitar 1600 orang; dalam tahun tujuh puluhan jumlah itu meningkat menjadi sekitar 2600, sedangkan dalam tahun-tahun delapan puluhan (1879 - 1888) jumlah jemaah haji ini meningkat lagi menjadi 4968 (1887) orang (Kartodirdjo, 1984: 219).

Tidak sedikit di antara mereka, setelah sekian lama bermukim di tanah suci itu kembali ke tanah air dengan membawa kekuatan baru berupa ajaran Islam yang lebih murni. Lambat laun ajaran tauhid tersebut berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini menguasai Indonesia; dengan dimotori ulama-ulama inilah perlawanan umat Islam lebih bersemangat lagi (Suminto, 1985:3).

Walaupun dalam teorinya pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem politik netral agama, tapi dalam praktek bertolak belakang; banyaknya kemudahan yang diberikan bagi pemeluk agama Kristen sebanding dengan tekanan-tekanan pada pemeluk Islam.[2] Pada tahun 1859, Gubernur Jendral mengintruksikan agar selalu mengawasi setiap gerak-gerik ulama, terutama yang dianggap "fanatik" dan suka memberontak. Dengan melihat bahwa hampir setiap perlawanan rakyat selalu digerakkan oleh ulama ─ terutama yang sudah pergi haji ─ maka diadakanlah pembatasan, pengetatan dan pengawasan terhadap orang yang akan dan sudah haji. Dengan dalih untuk melindungi perjalanan jamaah haji ini, pemerintah kolonial mendirikan konsul di Singapura, Kalkuta, Kairo, dan Jeddah; melalui konsul-konsul itulah segala gerak-gerik jamaah haji dari Nusantara diawasi, sejak keberangkatannya sampai pulangnya dan perbuatan-perbuatan yang dilakukannya selama di Mekkah (Suminto, 1985: 3). Di antara jamaah haji dari Banten ini banyak yang mukim di Mekah untuk memperdalam pengetahuan keislaman, dan akhirnya mereka pun banyak yang menjadi tokoh terkemuka mukimin asal Nusantara ─ dikenal dengan nama masyarakat Jawah. Melalui jamaah haji ─ yang merupakan orang pilihan di daerahnya ─ kaum Jawah "memompakan" semangat perjuangan kebangkitan keagamaan dan politik, yang kemudian disebarkan kepada rakyat Banten (Kartodirdjo, 1985:221). Dengan kenyataan ini Snouck Hurgronye menyatakan bahwa dari Mekah inilah perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori (Kartono, 1985:222).

Salah seorang "kaum Jawah" yang terkenal dan berpengaruh asal Banten adalah Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani. Menurut tradisi, Nawawi adalah keturunan langsung dari Pangeran Sunyararas, putra Maulana Hasanuddin. Mulai dari usia 5 tahun, ia belajar ilmu-ilmu agama dari ayahnya, K.H. Umar, di daerah asalnya yakni di desa Tanara, Tirtayasa, Serang. Sepuluh tahun kemudian, setelah ayahnya meninggal, Nawawi melanjutkan belajar pada K.H. Sahal, seorang ulama terkenal di daerah Banten. Kemudian bertiga dengan saudaranya (Tamim dan Ahmad), mereka pergi ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf. Pada usia yang masih muda, tiga bersaudara itu pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmu keislamannya. Selama 30 tahun (1830 - 1860) Nawawi pun belajar pada Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sambulawesi, Nahrawi dan Abdul Gani Daghestani di Mekah. Selanjutnya, Syekh Nahrawi belajar pada Syekh Dimyati dan Muhammad Dahlan Khatib al-Hambali di Madinah (Hafifuddin, 1987: 40). Dari ilmu-ilmu yang diperolehnya di perantauan ini, ia banyak menulis buku yang antara lain 115 buah judul yang sudah diterbitkan dalam bahasa Arab, dalam berbagai bidang ilmu. Dari prestasi keilmuannya ini Nawawi digelari Ulama al-Hijaz, Imam Ulama al-Haramain.

Pengaruh Syekh Nawawi al-Jawi al-Banteni ini sangat terasa dalam pergerakan nasional menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Melalui murid-muridnya yang datang ke Mekah, sewaktu ibadah haji, Syekh Nanawi memompakan semangat perjuangan. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: K.H. Wasid (Cilegon), K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim Asyhari (Jombang), dan K.H. Tb. Asnawi (Caringin) (Steenbrink, 1984: 118; Chaidar, 1978:6 dan Kartodirdjo, 1988: 78),

Untuk menjaga dari pengaruh-pengaruh ajaran agama dan kebudayaan yang dibawa kolonial Belanda, para guru agama mendirikan pesantren, yaitu lembaga pendidikan agama, yang umumnya didirikan di tempat-tempat jauh dari keramaian kota. Di pesantren inilah para santri dididik untuk cinta agama dan semangat membela tanah air. Dalam beberapa dasawarsa, di Banten terdapat peningkatan fanatisme di kalangan masyarakat pesantren, dengan satu sikap bermusuhan dan agresif yang ditanamkan pada diri para santri terhadap penguasa kolonial beserta dan kaum priyayi yang dianggap sebagai antek penjajah (Kartodirdjo, 1985: 224). Ketimpangan sosial, penderitaan rakyat, dan perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah dan antek-anteknya ini menimbulkan kebencian yang mendalam kepada penjajah. Alasan inilah yang memudahkan timbulnya banyak api pemberontakan di Banten ─ yang hampir semuanya berbalutkan agama ─ walaupun dalam skala yang berlainan. Kerusuhan-kerusuhan kedaerahan terus bermunculan silih berganti, dan beberapa di antaranya berkembang menjadi pemberontakan yang sesunguhnya.

Dalam tahun 1808 dan 1809 terjadi pemberontakan oleh "bajolaut" di Teluk Merica dan di muara Cibungur menentang kerja paksa dan pembuatan pelabuhan di Ujung Kulon yang diberlakukan Daendels atas penduduk negeri. Di Cibungur, Caringin, timbul huru-hara, disambung dengan pemberontakan Pasir Peuteuy, Pandeglang, di bawah pimpinan Nuriman. Kekacauan ini memaksa pemerintah kolonial pada tahun 1810 menobatkan kembali Sultan,# di selatan, dengan harapan dapat meredam pemberontakan yang dianggap karena ketidakpuasan rakyat terhadap pembubaran kesultanan ini; walaupun akhirnya tidak berhasil, dan pemberontakan rakyat terus berkobar. Bahkan pada tahun 1811 para pemberontak yang dipimpin oleh Mas Jakaria dapat menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Melalui pertempuran hebat akhirnya Mas Jakaria ini tertangkap dan dipenjarakan, tapi dalam bulan Agustus 1827 ia dapat melarikan diri untuk kembali menyusun kekuatan ─ yang dalam tahun itu juga ia kembali menyerbu kota Pandeglang[3].

Kerusuhan yang dipimpin oleh Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi Utu dan Ngabehi Ikram, menimbulkan kerusakan dan kekacauan besar. Taktik gerilya yang dilancarkan pemberontak menyebabkan pasukan pemerintah kolonial benar-benar tidak berdaya. Pada tahun 1815 terjadi serangan besar dan pengepungan pada keraton Sultan di Pandeglang, dipimpin oleh Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Nuriman atau dikenal dengan nama Sultan Kanoman. Meski pun pasukan pemerintah akhirnya dapat memukul mundur mereka, namun sebagian pasukan pemberontak dapat melarikan diri, yang kemudian menyusun kekuatan untuk mengadakan penyerangan kembali. Situasi alam yang berbukit-bukit dan berhutan lebat mempersulit pasukan kolonial menumpastuntas pelawan ini, apalagi rakyat selalu membela mereka. Pada tahun 1818 dan awal 1819, Haji Tassin, Moba, Mas Haji dan Mas Rakka memimpin pemberontakan di Banten Selatan, dengan mengadakan perusuhan-perusuhan dan berhasil membunuh beberapa pejabat pamongpraja di Lebak. Demikian juga pada tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827 yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes dan Mas Aria dibantu oleh beberapa pemuka agama. Walau akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan namun sebagian dari mereka dapat mengobarkan pemberontakan baru. Demikian juga terjadi pemberontakan pada tahun 1832 dan 1833.

Pada tahun 1836 terjadi lagi pemberontakan yang dipimpin oleh Nyai Gumparo (Nyai Gamparan). Meski pun pemberontakan ini dapat dipadamkan, namun pengikut-pengikutnya yang dapat meloloskan diri, tetap berusaha kembali meneruskan perlawanan. Tahun 1839 terjadi persiapan pemberontakan yang dipimpin oleh Ratu Bagus Ali (pada pemberontakan tahun 1836 dikenal dengan nama Kiyai Gede), Pangeran Kadli dan Mas Jabeng, putra Mas Jakaria. Atas usaha Bupati Serang, usaha pemberontakan itu dapat digagalkan. Tahun 1840 Mas Jamin dan pengikutnya, yang sebagian besar pernah ikut dalam pemberontakan tahun 1836 dan 1839, kembali mengadakan perlawanan bersenjata. Dan walau pun akhirnya Mas Jamin dapat ditangkap pemerintah kolonial, para pengikutnya tetap meneruskan perlawanan. Pada tahun 1842, mereka berhasil membunuh seorang Belanda pemilik perkebunan nopal di Pandeglang. Tetapi mereka pun akhirnya dapat ditangkap dan di hukum buang. Namun ketika Mas Anom, Mas Serdang dan Mas Adong ─ yang kesemuanya anak Mas Jakaria ─ bergabung dengan sisa pasukan ini, maka pemberontakan berkobar lagi pada tahun 1845 yang dikenal sebagai Peristiwa Cikande Udik (Arsip Nasional, 1973: lvii).

Peristiwa itu bermula pada tanggal 13 Desember 1845 di mana kaum perusuh merebut rumah tuan tanah di Cikande Udik dan kemudian membunuh tuan tanah Kamphuys beserta istri dan kelima anaknya kecuali tiga anak lainnya diselamatkan oleh Mas Gusti Sarinten, salah seorang kepala perusuh, sedangkan semua orang Eropa di sekitarnya dibunuh. Jumlah perusuh bertambah sekitar 600 orang. Untuk menumpas pemberontakan itu, Residen segera meminta bantuan tentara dari Batavia. Mendengar akan adanya penyerangan penumpasan di Cikande ini, para pemberontak di daerah lain segera bangkit mengadakan perlawanan dan segera menguasai pos-pos militer di Warunggunung, Pandeglang dan Caringin. Beberapa pemimpin pembe-rontakan yang dikenal dalam peristiwa ini ialah: Mas Endong, Mas Rila dari Cikupa dan Mas Ubid dari Kolle (kemenakan dan menantu Mas Jakaria), Kiyai Gede, Samini, Pangeran Amir dari Bayuku, Raden Yintan, Pangeran Lamir, dan seorang wanita bernama Sarinem. Peristiwa Cikande ini dapat dikatakan merupakan awal dari pemberontakan bersenjata yang terkoordinir dengan mengikutsertakan beberapa kelompok penentang di hampir seluruh daerah Banten (Kartodirdjo, 1985: 176).

Berhubung dengan banyaknya pemberontakan yang dilakukan rakyat Banten itu, pemerintah Belanda, di samping menyelesaikannya dengan cara kekerasan dan penuntutan-penuntutan di pengadilan kolonial, tetapi juga secara politik. Untuk mencegah jangan sampai meletus lagi perlawanan rakyat itu, pemerintah kolonial berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan kehidupan sosial masyarakat. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan pemerintah di Keresidenan Banten dari tahun 1846 hingga 1848 antara lain: menambah jumlah pegawai pribumi; menghapuskan jabatan asisten residen di Anyer; membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten Pandeglang; memperluas saluran- irigasi; menyatukan kampung-kampung yang tersebar untuk memudahkan pengawasan; menghapuskan wajib tanam dan wajib kerja di perkebunan-perkebunan Eropa, terutama di daerah-daerah miskin.

Pada tahun 1839 Bupati Serang, Raden Adipati Jayakusumaningrat, dipensiunkan, dan diganti oleh Raden Adipati Manduraraja Jayanegara, Bupati Caringin. Karena di Banten tidak ada pembesar pribumi yang dianggap "cakap" oleh pemerintah Belanda, maka yang diangkat sebagai pengganti Bupati Caringin ialah Raden Aria Tumenggung Wiriadiyahya, seorang jaksa kepala di Bogor. Di Pandeglang, yang ditunjuk sebagai Bupati adalah Raden Tumenggung Ario Condronegoro, juga bukan bangsawan dari keturunan asli Banten (Arsip Nasional, 1973: lvii).

Pada tanggal 24 Pebruari 1850 telah terjadi pula pembunuhan terhadap Demang Cilegon dan stafnya yang sedang mengadakan inspeksi di Rohjambu. Kerusuhan ini dipimpin oleh Raden Bagus Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Di antara mereka Haji Wakhia-lah yang terkenal perjuangannya, ia sudah sejak tahun 1850 selalu mengadakan huru-hara menentang kolonial Belanda. Haji Wakhia adalah penduduk kampung Gudang Batu, orang kaya dan dianggap ulama besar. Haji Wakhia, atas ajakan Tubagus Iskak dan dengan dukungan penuh dari penduduk Gudang Batu, terus mengobarkan perjuangan menentang politik kolonial Belanda dan mengajak mengadakan “perang sabil”; dan persiapan-persiapan untuk itu dilakukan terus menerus di bawah pimpinan Penghulu Dempol. Pusat kerusuhan lainnya ialah Pulomerak, di sana dapat dihimpun orang-orang Lampung di bawah pimpinan Mas Diad.

Dalam strategi pertahanan "pemberontak Wakhia" ini, pasukan dibagi dalam tiga kelompok besar; kelompok yang dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di pegunungan sebelah timur Pulomerak, kelompok pimpinan Mas Diad dan Tubagus Iskak di distik Banten, dan kelompok pimpinan Haji Wakhia dan Penghulu Dempol bergerak di sebelah barat bukit Simari Kangen; yang ketiga daerah tersebut dilingkungi oleh hutan dan pegunungan yang sulit ditembus. Dalam beberapa kali penyerbuan, pasukan kolonial akhirnya dapat memukul mundur pemberontak ini. Pertempuran di Tegalpapak pada tanggal 3 Mei 1850, beberapa pemimpin pejuang dapat ditawan dan dibunuh. Haji Wakhia dan Tubagus Ishak dapat meloloskan diri ke Lampung, dan kemudian ia bergabung dalam perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Singabranta dan Raden Intan. Dalam satu pertempuran akhirnya Haji Wakhia dapat ditangkap dan dihukum mati pada tahun 1856.

Setelah pemberontakan Haji Wakhia berakhir, maka muncul pulalah peristiwa pemberontakan lain seperti “Peristiwa Usup” (1851), “Peristiwa Pungut” (1862), “Kasus Kolelet” (1866), serta “Kasus Jayakusuma” (1868). Peristiwa Usup ialah terjadinya pembunuhan terhadap Mas Usup, Jaro Tras Daud dengan keluarganya oleh orang yang tak dikenal pada tanggal 15 April 1851. Pejabat pemerintah telah mendengar adanya pertemuan yang diselenggarakan oleh para pemberontak di Tegalpapak, yang kemudian terjadi percobaan pembunuhan terhadap Residen. Semua peristiwa ini dipelopori oleh Ki Mudin, yang meramalkan bahwa pemerintahan kolonial sudah akan ambruk. Gerakan Mudin ini dibantu oleh Kamud dan Nur. Pemerintah kolonial akhirnya berhasil menangkap 20 orang pemberontak, dan mereka dibuang. Tahun 1862, Mas Pungut dan kawan-kawannya melakukan huru-hara dan pemberontakan lagi. Dengan mengaku sebagai anggota keluarga sultan dan anak Mas Jakaria, ia berhasil menarik simpati rakyat untuk menjadi pengikut-pengikutnya. Pada tanggal 19 September 1862, diketahui oleh pemerintah kolonial, bahwa ia sedang berada di hutan Cilanggar. Ketika Mas Pungut sedang singgah di rumah Usip ─ salah seorang pengikutnya ─ di desa Ciora, ia dengan 25 orang pengikutnya tertembak dalam perlawanan yang seru. Namun pada tahun 1866 muncul lagi gerakan perlawanan yang lebih besar, dikabarkan mereka akan menyerang dan menghancurkan kota Pandeglang, dan mengirimkan surat ancaman kepada para pejabat terutama Residen dan Bupati. Pemerintah kolonial berhasil menangkap Asmidin, dan dua orang yang diduga terlibat yaitu Mas Sutadiwirya, bekas Demang di Baros dan R.A.A. Natadiningrat, bekas Bupati Pandeglang. Para pemberontak ini berjumlah 30 orang yang berasal dari Kolelet, Cikande dan Kramatwatu, semuanya itu bekas pemimpin kerusuhan terdahulu.



B. PERISTIWA GEGER CILEGON 1888

Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.

Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.

Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia.



1. Beberapa Peristiwa Yang Mendahului Geger Cilegon

Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.

Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan" menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.

Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan (PAA. Djajadinigrat, 1936:8).

Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu. Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).

Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a.

Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), ─ yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.

Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.

Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa ─ yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut ─ menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.

Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka, 1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.

Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.



2. Jalannya "Pemberontakan"

Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pembe-rontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:

1) 4 Pebruari ─ 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja.

2) Maret ─ April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.

3) 23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli 1888.

Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat, (2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan khitanan.

Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid ─ di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.

Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.

Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan.

Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303).

Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55), sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56)[4].

Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.

Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak". Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.



Kejadian "Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah. Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan itu.

Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib. VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan “politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.

Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang" (Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi pemerintahan Belanda.

Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan", "kapir landa" ─ sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa ─ lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai "anjing belanda".

Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang. Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi.



C. GERAKAN POLITIK MENENTANG PENJAJAH

Pada akhir abad ke-19 permulaan abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan "malaise"?. Sekali pun telah mengeruk kekayaan alam Indonesia melalui peraturan tanam paksa, tetapi masih diperlukan banyak uang untuk membiayai peperangan menumpas pemberontakan yang terjadi silih berganti di seluruh nusantara, terutama perang Aceh (1876 - 1904).

Dalam usaha mengakiri keadaan tidak menentu ini pemerintah penjajah melakukan dua macam tindakan:

1. Para sultan/raja (kecuali Solo dan Yogya) dipaksa untuk menandatangani korte verklaring dengan maksud agar penguasa-penguasa daerah mau mengakui kekuasaan pemerintah penjajah Belanda.

2. Rakyat Indonesia dibuat tenang dengan cara menjalankan “politik etika”, yaitu suatu kebijaksanaan berkedok "memperhatikan dan memajukan rakyat". Cara yang digunakan adalah membuka lebih banyak sekolah-sekolah rendah, mendirikan rumah-rumah sakit serta membuat jalan-jalan kereta api, dan sebagainya.



Pada awal awad ke-20, terjadi perang antara Jepang dengan Rusia (1904 - 1905) yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Jepang. Peristiwa penting ini memberi dorongan semangat bangsa Asia, khususnya Indonesia, untuk bangkit merebut kembali kemerdekaannya dari para penjajah Eropa. Para pemimpin pergerakan perjuangan rakyat, yang tadinya hanya bersifat lokal kedaerahan, mulai mengadakan koordinasi dalam kesamaan cita-cita untuk memerdekakan diri secara nasional.

Pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah Budi Utomo, perkumpulan pelajar sekolah dokter pribumi STOVIA di Jakarta oleh Wahidin Sudirohusodo, Satiman Wiryosanjoyo, dan lain-lain. Walaupun anggota dan cita-cita perkumpulan ini masih bersifat kedaerahan, Jawa dan Madura saja, namun berdirinya Budi Utomo merupakan tonggak sejarah pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Pelajar-pelajar dari daerah pun kemudian membentuk perkumpulan kedaerahan, seperti: Jong Java, Jong Sumantranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timor, Sekar Rukun, dan sebagainya.

Pada tanggal 11 Nopember 1912, sudah lahir di Solo satu organisasi yang bersifat "gerakan", yaitu Sarikat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan Haji Samanhudi[5]. Kebangkitan itu timbul karena sebagian pengusaha pribumi merasa "dianaktirikan" oleh pemerintah penjajah Belanda dalam menghadapi pengusaha non-pribumi (baca: orang Cina) yang mendapat dorongan bantuan pemerintah kolonial. Gerakan ini mendapat sambutan rakyat banyak, sehingga oleh pihak penjajah dilokalisir jangan sampai merembes ke kota lain. Gerakan inilah yang menjelma menjadi satu partai politik dengan nama Sarikat Islam (SI), yang dengan cepat berkembang ke seluruh pulau Jawa. Anggota SI tidak terbatas hanya pedagang, tetapi semua orang Islam yang setuju dengan dasar dan tujuan organisasi. Tokoh-tokohnya antara lain H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Suryopranoto, dan lain-lain.

Pada tahun 1912 berdirilah Muhammadiyah di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan, suatu organisasi sosial pertama yang bersendikan keagamaan. Amal usaha Muhammadiyah ini antara lain mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit yang dalam waktu singkat berkembang ke seluruh tanah air. Organisasi ini, di samping untuk memajukan kecerdasan dan kesejahteraan ummat, juga sebagai antisipasi kristenisasi yang dibawa penjajah Belanda. Setelah itu tumbuh organisasi keagamaan lainnya seperti NU, Perti, Persis, dan lain-lain.

Sekedar untuk memenuhi permintaan beberapa organisasi politik itu, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dewan Rakyat (Volksraad) semacam parlemen pada tahun 1917. Walaupun Volksraad ini belum merupakan Parlemen yang sebenarnya, bahkan dianggap sebagai "sandiwara", namun banyak manfaatnya; antara lain mendidik putra-putra Indonesia menjadi lebih pandai berpolitik, seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, Mohamad Husni Thamrin dan sebagainya yang ditunjuk sebagai anggota.

H.F.J.M. Sneevliet, seorang sosialis radikal berkebangsaan Belanda, datang ke Indonesia pada tahun 1913. Bersama dengan J.A.Brandsteder, H.W. Dekker, P. Bergsma dan A. Baars, pada bulan Mei 1914, ia mendirikan Indishce Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) sebagai organisasi berhaluan Marxis pertama di Asia Tenggara. Sneevliet sangat tertarik dengan Serikat Islam (SI) ─ yang pada waktu itu telah mempunyai anggota lebih dari 1,5 juta yang tersebar sampai ke peloksok-peloksok ─ dan berusaha menginfiltrasinya. Ia berhasil menarik Semaun dan Darsono, yang keduanya adalah ketua dan sekretaris SI cabang Semarang, dan kemudian Tan Malaka, sebagai kader komunis pertama. Akibat infiltrasi komunis ini maka dalam tubuh Serikat Islam terjadi keretakan di antara pengurus dan anggotanya (Soerojo, 1988:34). Pada tanggal 23 Mei 1920, nama ISDV diubah menjadi PKI (Perserikatan Komunis Indie) dengan Semaun sebagai ketua dan Darsono sebagai wakil ketua, yang saat itu keduanya masih menjabat sebagai ketua dan sekretaris di Sarikat Islam cabang Semarang. Pada tanggal 24 Desember 1920 setelah PKI diakui sebagai anggota Komunis Internasional (Komintern), nama Persarikatan diganti dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam kongres Komintern ini Tan Malaka diangkat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Tenggara dan Australia yang berkedudukan di Manila. Karena adanya infiltrasi komunis itu maka Sarikat Islam pun terpecah dua. Semaun, Darsono, Tan Malaka, Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo memisahkan diri membentuk Sarikat Islam (Merah) yang kemudian menjadi Sarikat Rakyat (SR), organisasi bagian di bawah PKI. Sedangkan yang tetap di Sarikat Islam (Putih) adalah H.O.S. Tjokroaminoto, H.A. Salim dan H. Abdul Muis; yang pada tahun 1923 membentuk Partai Sarikat Islam (PSI) dan tahun 1930 bernama Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) (Soerojo, 1988: 40 dan Panitia, 1985: 33).

Di daerah Banten, yang dikenal dengan "fanatik" kepada ajaran Islam dengan cepat Sarikat Islam (SI) mendapat sambutan baik. Hampir semua ulama di Banten bergabung dalam persyarikatan. Tapi bagi ulama/rakyat Banten, yang memang bertemperamen keras dan radikal dalam menghadapi penjajah, kepemimpinan Sarikat Islam itu dianggap "kurang berani". Rakyat Banten menghendaki kepemimpinan yang lebih "tegas"; kebencian yang mendalam kepada pemerintah kolonial Belanda mendorong semangat keradikalan ulama. Keadaan demikian dimanfaatkan oleh PKI melalui cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama itu bergabung dengan PKI. "Kelihaian permainan politik" PKI itu membuat demikian banyak tokoh-tokoh agama di daerah Banten, yang di samping sebagai tokoh Sarikat Islam juga menjadi pengurus organisasi PKI. Misalnya K.H. Asnawi Caringin, di samping sebagai Ketua SI Cabang Caringin juga menjadi Ketua PKI cabang Caringin? ─ setelah tokoh ini meninggal dunia, jabatan rangkap organisasi di "serahkan" kepada mantunya, K.H. Ahmad Chatib.

Para pemimpin PKI menjadi semakin radikal. Alimin dan Muso merencanakan menggerakkan kaum buruh untuk mengadakan pemogokan di seluruh Jawa dan pemberontakan bersenjata di Jawa dan Sumatra. Untuk melaporkan rencana pemberontakan itu kepada Stalin, ketua Komintern, pada bulan Maret 1926 Alimin dan Muso berangkat ke Moskow. Rencana PKI ini sebenarnya tidak mendapat restu Stalin dan Tan Malaka, karena dianggapnya kekuatan PKI belum memungkinkan; Alimin dan Muso diperintahkan untuk segera menyetopnya. Tetapi sepulangnya dari Moskow, Alimin ditangkap pemerintah Inggris di Singapura dan dilarang masuk ke Indonesia, karenanya ia pergi ke Cina, sehingga berita tersebut tidak sampai diterima di tanah air.

Dalam pada itu di Indonesia, persiapan pemberontakan PKI ini terus berjalan. Markas Besar partai telah dipindahkan dari Batavia ke Bandung. Tanggal 13 Nopember 1926, pukul 12 malam, pasukan bersenjata mulai mengadakan pemberontakan, dengan merebut kantor telepon dan telegrap di Batavia. Demikian juga di Banten, rel kereta api dibongkar dan jalan-jalan dibarikade; serentak pula di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi pemberontakan. Karena kurangnya persiapan matang, dengan mudah revolusi komunis ini dapat dihancurkan Belanda. Sehingga di antara pemberontak ini 9 orang digantung, 1300 dipenjarakan, 5000 dilepas kembali, 5000 lainnya diberi hukuman ringan dan 823 orang dibuang ke Tanah Merah, Digul (Soerojo, 1988:35).

Dalam pemberontakan komunis 1926 - 1927 ini, banyak terdapat orang-orang Islam dan bahkan ulama dan kiyai yang ikut terlibat di dalamnya. Sehingga banyak ulama dari Banten ─ kebanyakan anggota Sarikat Islam ─ ditangkap dan dibuang ke Digul[6]. Karena pemberontakan itu, Partai Komunis Indonesia dibubarkan. Beberapa pemimpinnya seperti Tan Malaka, Semaun, Alimin melarikan diri ke luar negeri. Tan Malaka sendiri, karena merasa dikhianati Alimin, akhirnya mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI).

Pergerakan kebangsaan kaum terpelajar di Indonesia semakin marak. Beberapa perserikatan kemudian menjadi partai politik yang memiliki cita-cita kebangsaan menuju kesatuan Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927, lahirlah Partai Nasional Indonesia (PNI) atas prakarsa Ir. Sukarno, dibantu oleh Mr. Sartono, Mr. Iskak hadisurja, Ir. Anwari, dan lain-lain. Untuk menyatukan pandangan dan langkah dari beberapa partai yang banyak haluan itu, Ir. Sukarno berhasil membentuk suatu federasi yang dinamakan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), yang terdiri dari PNI, PSI, Budi Utomo, Kaum Betawi, Sarekat Sumatra, Sarekat Sunda, dan sebagainya; dengan Ir. Sukarno sebagai ketuanya.

Dalam pada itu, pada tanggal 7 Pebruari 1927 perkumpulan-perkumpulan pelajar seperti Jong Java, Jong Sumantranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timor, Sekar Rukun, Tirtayasa, dan lain-lain sepakat mengadakan fusi, menjadi satu wadah pemuda Indonesia. Dalam Kongres Pemuda Indonesia ke-2 yang diadakan pada tanggal 26 - 28 Oktober 1928 di Jakarta dicetuskan Sumpah Pemuda dimana diikrarkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; Lagu Indonesia Raya untuk pertama kali diperdengarkan oleh Wage Rudolf Supratman. Sedangkan bendera merah putih belum dapat dipasang, karena dilarang pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian terbentuklah embrio nasionalis Indonesia. Sejak saat itu perjuangan pemuda diteruskan dengan kegiatan politik. Pengaruh semangat Sumpah Pemuda membawa perkumpulan-perkumpulan pemuda tersebut pada tanggal 31 Desember 1930 melebur diri menjadi Indonesia Muda (IM). Partai Sarikat Islam berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia. Budi Utomo dan Sarikat Madura bersatu menjadi Partai Bangsa Indonesia yang kemudian menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).

Timbulnya beberapa partai politik, yang diantaranya berhaluan non-kooperatif, membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Dikeluarkanlah pasal tambahan pada Buku Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) dengan pasal 153, yang memberi hak kepada pemerintah Belanda menangkap dan menghukum mereka yang dianggap berbahaya terhadap ketertiban dan ketentraman umum. Pasal ini dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Dengan pasal ini beberapa pimpinan partai yang tidak "disenangi" pemerintah kolonial langsung ditangkap. Drs. Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Digul, sedangkan Ir. Sukarno diasingkan ke Endeh, Flores. PNI pun dilarang karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Bulan Mei 1931, Mr. Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan pada bulan Desember 1931, di Yogyakarta, Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru). Partindo bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka dengan memperluas hak-hak berpolitik, memperbaiki ekonomi rakyat, serta berkeyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan persatuan seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Berdasar keyakinan itu, para pemimpin rakyat merencanakan untuk menyelenggarakan Kongres Indonesia Raya pada tanggal 20 Mei 1933. Di saat itu rencananya akan diadakan aksi serentak di seluruh Indonesia, sambil memperingati ulang tahun Budi Utomo ke-25. Tapi karena tidak diizinkan oleh Residen Sala, maka acara besar ini pun tidak dapat dilaksanakan.

Karena terbukti bahwa PPPKI tidak dapat mempersatukan partai- partai, maka PPPKI dibubarkan. Pada tahun 1939 partai-partai politik ini bergabung lagi dalam Gabungan Politik Indonesia (Gapi), dengan pimpinan antara lain: Mohamad Husni Thamrin, Abikusno, dan Amir Syarifuddin. Pada tahun itu pula Gapi mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang dihadiri oleh 90 perkumpulan politik dan serikat kerja dan badan-badan sosial. Dalam kongres itu dibicarakan tentang “Indonesia Berparlemen”, artinya supaya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dewan Perwakilan Rakyat yang bertanggung jawab bagi bangsa Indonesia. Dalam kongres ini pun Merah Putih diterima sebagai bendera kebangsaan, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Darmodirdjo., 1982: 29)

Karena cita-cita mendirikan pemerintahan sendiri tidak mungkin akan dipenuhi oleh Belanda, atas usul Soetardjo Kartohadikoesoemo dan kawan-kawannya di Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1937 memajukan “Petisi Sutarjo”. Petisi ini minta Dominion Status kepada Indonesia dari pemerintah Belanda. Usul ini pun ditolak, dengan alasan Indonesia belum masak (Wirjosuparto, 1961:112). Barulah setelah Belanda mengalami tekanan hebat dalam perang Pasifik dengan Jepang, pada tahun 1942 Wilhelmina, Ratu Belanda, menjanjikan akan mengabulkan Petisi Sutarjo, apabila rakyat Indonesia membantu Belanda dalam menghadapi serangan tentara Jepang. Tawaran ini ditolak oleh Ir. Sukarno dan pemimpin pergerakan lainnya.



D. MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG DI INDONESIA



Salah satu faktor yang menarik dari Hindia Belanda (Indonesia) di mata Jepang adalah minyak, khususnya dalam melancarkan perangnya di Asia Pasifik;[7] oleh sebab itulah Jepang berusaha menguasai daerah ini. Pihak Belanda sudah merasa curiga terhadap tuntutan Jepang untuk penambahan kuota eksport minyak dari Indonesia yang dianggap sebagai langkah awal untuk memperluas wilayah. Apalagi Jepang juga terikat perjanjian dengan Jerman dan Itali, yang saat itu telah melancarkan serangan di Eropa, termasuk penyerangan ke negeri Belanda pada tanggal 10 Mei 1940. Kecurigaan ini bertambah setelah menyaksikan politik ekspansi Jepang, berupa pernyataan akan dibentuknya “Lingkungan Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya”,? yang meliputi Indochina, Thailand, Hindia Belanda, Selandia Baru, Australia dengan Jepang, dengan China dan Manchukuo sebagai tulang punggungnya (Williard, 1977:16).

Kecurigaan itu terbukti setelah secara tiba-tiba, pada tanggal 18 Desember 1941, Jepang mengadakan pemboman terhadap Pearl Harbour, Hawaii, pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik. Reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap pemboman itu adalah berupa pernyataan perang terhadap Jepang; yang diumumkan oleh Gubernur Jendralnya, Tjarda van Strarkenborg Stachouwer.



1. Masuknya Tentara Jepang di Indonesia

Awal tahun 1942, pasukan Jepang bergerak ke selatan dan menyerang beberapa wilayah Hindia Belanda. Tarakan, Kalimantan Timur pada tanggal 10 Januari 1942 dapat dikuasai tentara Jepang dengan mudah. Kemudian pada tanggal 20 Januari 1942 secara berturut-turut Jepang menduduki kota-kota di Kalimantan, yaitu Pontianak, Martapura dan Banjarmasin. Dan pada bulan Pebruari mereka pun telah menguasai kota Palembang. Dengan jatuhnya daerah-daerah ini maka terbukalah Pulau Jawa bagi tentara Jepang. Setelah perang Pasifik berjalan tiga bulan, pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura telah berada di Teluk Banten yang kemudian mengadakan pendaratan di dekat Merak dan di Bojonegara ─ tempat pendaratan lainnya: Eretan Wetan (Indramayu) dan Kranggan (Rembang) (Nasution, 1977:18).

Untuk menyerang Batavia, pasukan Jepang, yang diperkirakan berjumlah 30.000 personil, dibagi dalam dua kolone. Kolone pertama yang langsung dipimpin oleh Imamura, berangkat melalui arah Serang - Balaraja - Tangerang menuju Batavia; sedangkan kolone kedua melalui arah Serang - Rangkasbitung - Leuwiliang menuju Bogor. Tanggal 5 Maret 1942, kolone pertama sampai ke Batavia yang dengan leluasa dapat menguasai kota, karena sehari sebelumnya tentara Belanda mundur menuju Bandung melalui Bogor dan Sukabumi; dan menyatakan 'Batavia kota terbuka untuk menerima kedatangan serdadu utusan Tenno'. Pada hari yang sama kolone kedua telah memasuki kota Bogor, dan berhasil mencerai-beraikan perlawanan Belanda (Pemda Jabar, 1972: 222).

Penyerahan kota Batavia ini diselenggarakan di lapangan gedung kantor Residen Batavia, pada awal Maret 1942 disaksikan ribuan rakyat setempat (Malik, 1975:17). Dengan didudukinya Batavia, maka secara simbolis Hindia Belanda telah jatuh ke tangan Jepang; tetapi secara formal, Jepang harus merebut pemerintahan Hindia Belanda yang telah mengungsi ke Bandung. Tanggal 7 Maret 1942, tentara Jepang telah berhasil mendesak pasukan KNIL (Koninklijks Nederlands Indies Leger = tentara Hindia Belanda) yang ada di Lembang, Jawa Barat, dan akhirnya, pada tanggal 8 Maret pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Perundingan penyerahan ini dilangsungkan di Kalijati Jawa Barat, antara Letnan Jendral Immamura dari pihak Jepang dengan Jendral Ter Poorten, panglima tentara Belanda dan sekaligus panglima ABDACOM (American British Dutch Australian Command). Dan sejak saat itu pemerintah Jepang mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda (Kartodirdjo, 1977:4 - 5).

Ada beberapa faktor yang mempermudah Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda, antara lain :

1) Secara militer Jepang lebih unggul dalam jumlah personil maupun persenjataan. Sebagai perban-dingan, kekuatan Hindia Belanda di pulau Jawa pada waktu itu seluruhnya berjumlah sekitar 40.000 orang (kurang lebih 4 devisi). Sedangkan kekuatan invasi Jepang ke pulau Jawa seluruhnya terdiri kurang lebih 6 sampai 8 devisi (sekitar 100 sampai 120 ribu orang).

2) Tidak ada dukungan dari penduduk bumi putra terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini terutama ditunjukkan oleh kaum pergerakan yang sering dikecewakan oleh pemerintah Hindia Belanda.

3) Adanya kepercayaan sebagian masyarakat bumi putra kepada ramalan Joyoboyo, yang menyatakan bahwa bangsa kulit kuning dari utara akan datang ke Nusantara dan akan berkuasa seumur jagung; setelah itu Nusantara akan mengalami jaman keemasan yang diperintah oleh Ratu Adil; sehingga masyarakat enggan membantu Belanda bahkan merasa gembira dan berharap besar kepada kemerdekaan.

Khususnya karena percaya akan ramalan Joyoboyo tersebut, maka penduduk pulau Jawa, termasuk penduduk Banten, menyambut kedatangan orang Jepang dengan gembira, dan dianggap sebagai pembebasan dari penjajahan Belanda. Kekalahan Hindia Belanda tersebut menimbulkan dua persepsi bagi para pemuda: pertama, martabat Belanda di mata rakyat menjadi turun, dan kedua, menimbulkan kepercayaan akan kekuatan diri sendiri. Para pemuda ini yakin jika mereka diberi senjata, akan mampu berbuat seperti Jepang (Kahin, 1970:102).

Semboyan "Asia untuk bangsa Asia", "Kemakmuran bersama di Asia Timur Raya" betul-betul memikat hati, sehingga di antara pemimpin-pemimpin Indonesia ada yang bersedia bekerja sama dengan Jepang. Mereka percaya dengan propaganda Jepang yang mengadakan "perang suci" untuk kejayaan Asia ─ di balik tujuan sebenarnya yaitu menguasai bahan-bahan mentah, terutama minyak bumi yang banyak terdapat di Indonesia. Jepang juga berbuat seolah-olah memperhatikan tuntutan bangsa Indonesia, seperti pelarangan memakai bahasa Belanda dalam kegiatan sehari-hari, dan digantikan perannya oleh bahasa Indonesia. Di sekolah-sekolah, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar, demikian juga di kantor pemerintahan. Nama-nama kota yang pada masa Belanda diberi nama Belanda, diganti lagi dengan nama Indonesia; misalnya Batavia diubah kembali menjadi Jakarta. Pe-ngibaran bendera merah-putih, sebagai lambang kemerdekaan Indonesia pun pada awalnya tidak dilarang oleh tentara Jepang. Bahkan sebelum tentara Jepang mendarat di Indonesia, lagu Indonesia Raya sering dikumandangkan lewat Nihon Hosyo Kyoku (siaran radio Jepang). Tindakan pemerintah Jepang menghargai tiga atribut kebangsaan Indonesia itu sangat menggembirakan rakyat.

Segera setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia, dibentuklah suatu pemerintahan militer yang bersifat sementara sesuai dengan Undang-undang No. 1/1942 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret 1942. Pada dasarnya, susunan pemerintahan masa pendudukan Jepang tetap mempertahankan sistem lama. Pada masa penjajahan Belanda, sejak tahun 1834, daerah kesultanan Banten dijadikan sebagai satu karesidenan, meliputi kabupaten Serang, kabupaten Pandeglang dan kabupaten Lebak. Jabatan mulai dari residen sampai dengan kontrolir selalu dipegang orang Belanda; sedangkan jabatan mulai dari bupati ke bawah barulah diserahkan kepada orang bumiputera. Penguasa tertinggi di karesidenan (residentie) adalah residen yang dalam menjalankan tugas sehari-hari dibantu oleh sekretaris residen, asisten residen, dan kontrolir. Asisten residen dan kontrolir biasanya ditempatkan di setiap kabupaten yang berfungsi sebagai pembantu residen dalam menangani masalah pemerintahan di wilayah kabupaten. Penguasa tertinggi di kabupaten adalah bupati, yang bertanggung jawab langsung kepada residen. Dalam melaksanakan tugasnya, bupati dibantu oleh patih, wedana, asisten wedana atau camat, dan lurah atau jaro.

Pada masa kekuasaan pemerintah Jepang, administrasi pemerintahan ini diadakan perubahan-perubahan dengan beberapa undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Jepang disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di negara Jepang. Berdasarkan UU No. 27 tanggal 5 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan daerah) dan UU No. 28 tanggal 7 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan shu dan tokobetsusyi). Pulau Jawa, kecuali Surakarta dan Jogjakarta, dibagi atas daerah-daerah yang disebut: shu, shi, ken, gun, son, dan ku. Shu adalah pemerintahan tertinggi yang berotonomi di bawah seorang shucokan yang kedudukannya sama dengan karesidenan (residentie); shi sama dengan stadsgemeente; ken sama dengan kabupaten (regentschaap); gun sama dengan kawedanaan (district); son sama dengan kecamatan (onder-district), dan ku sama dengan desa.

Untuk jabatan-jabatan di wilayah seperti shi, ken, gun, son, dan ku, masing-masing diangkat sityoo, kentyoo, guntyoo, sontyoo, dan kutyoo. Aturan pada jaman Hindia Belanda yang dulu berlaku untuk stadsgemeente, kabupaten (regentshap), kawedanaan (district), dan kecamatan (onder-district) serta desa; berlaku juga untuk shi, ken, gun, son, dan ku; kecuali ada peraturan istimewa yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Jepang. Akan tetapi kekuasaan otonomi yang dahulu diberikan mulai dari bupati sampai ke lurah dalam menangani urusan pemerintahan, kecuali untuk tingkat ken dan shi, ditarik menjadi wewenang sityoo; dengan demikian semua otonomi yang ada pada tingkat residentie dihapuskan. Segala kekuasaan yang dahulu di tangan Gubernur Jenderal kini dipegang oleh Panglima Tentara Jepang (Saiko Shikikan), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Kepala Pemerintahan (Gunseikan). Begitu pula pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh tentara Jepang (Surianingrat, 1981: 72-75).

Pada tanggal 29 April 1942, bersamaan dengan pengangkatan wakil gubernur dan pembantu wakil gubernur Jawa Barat, R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat diangkat sebagai residen Banten (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984: 8). Wilayah karesidenan Banten ─- di bawah koordinator Gunseibu Jawa Barat ─ meliputi 4 ken, yaitu: Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Karena koondisi geografis ─ sebagai daerah ujung barat pulau Jawa, keletakan Banten merupakan pintu masuk yang sangat strategis ─ serta atas dasar pertimbangan ideologi, politik, sosial ekonomi dan strategi militer, Banten dijadikan benteng pertahanan wilayah pendudukan Jepang di pulau Jawa bagian barat. Basis-basis pertahanan yang terpenting dengan kesatuan tempur cukup besar ditempatkan di Pulau Sangiang, sebagai pangkalan Angkatan Laut (Kaigun) di Selat Sunda, dengan markas komando di Anyer; kekuatan Angkatan Udara (Kidobutai) di Gorda, menghadap ke pantai Laut Jawa; kesatuan Angkatan Darat (Rikugun) di tempatkan di Sajira (Rangkasbitung). Di Serang ditempatkan satu Sub Detasemen Kempetai (Polisi Militer), untuk meliputi seluruh daeran Banten. Dengan dalih untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum, ─ di balik tujuan Jepang untuk mengontrol dan memperkuat kedudukannya di Indonesia, dikeluarkan Undang-Undang No. 3 tanggal 30 Maret 1942 dan Undang-undang No. 23 tanggal 15 Juli 1942. Undang-undang yang disebutkan pertama adalah larangan untuk berkumpul lebih dari 2 orang dan larangan mendengarkan siaran radio asing. Sedangkan Undang-undang kedua mengenai peraturan pembubaran semua organisasi sosial politik yang ada ─ kecuali NO (Nahdatul Oelama) dan MIAI (Majlis Islam 'Ala Indonesia) (Adam Malik, 1975: 18).

Setelah kehidupan organisasi sosial-politik bangsa Indonesia dimatikan dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang disebutkan di atas, pemerintah pendudukan Jepang membentuk organisasi baru yang merupakan organisasi propaganda perang Jepang, yaitu: “Gerakan Tiga-A” dengan slogannya: ‘Nipon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia dan Nippon cahaya Asia.’

Organisasi ini dibentuk pada tanggal 29 April 1942 ─ dengan Mr. Samsudin ditunjuk sebagai ketuanya. Tapi baru berusia delapan bulan organisasi ini dibubarkan kembali, karena dianggap gagal dalam missinya oleh pemerintah Jepang, yaitu menarik simpati rakyat Indonesia. Salah satu sebab kegagalan organisasi ini karena pemimpin yang dipilih bukanlah tokoh nasional yang populer di mata rakyat. Di samping itu kalangan militer Jepang sendiri nampaknya merasa khawatir kalau-kalau organisasi ini dipakai oleh golongan nasionalis untuk menyebarkan ide-ide kemerdekaan (Berita Oemoem, 2 April 1943; dan Kahin, 1970: 103-104).

Sebagai gantinya pemerintah Jepang membentuk Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) pada tanggal 9 Maret 1943 dimana para pemimpinnya diambil dari tokoh-tokoh nasional yang populer dan berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia, antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K. H. Mas Mansur; yang keempatnya dikenal sebagai “Empat Serangkai”. Dengan menempatkan orang-orang tersebut sebagai pimpinan Poetera, Jepang berharap dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mengerahkan potensi rakyat guna memenangkan perang di Asia Pasifik; karena diperhitungkan, perang dengan pasukan sekutu akan segera mendekati Pulau Jawa (Kahin, 1970:106). Tapi tidak lama kemudian, Poetera pun bubarkan dan digantikan dengan Jawa Hookookai (Gerakan Kebaktian Rakyat Jawa).

Untuk mengambil hati rakyat, Jepang melakukan berbagai cara pendekatan, misalnya: memberi pelajaran baris berbaris kepada para pemuda, dengan membentuk sainendan dan keibodan. Di samping itu juga pemerintah pendudukan Jepang membangun beberapa gedung sekolah ─ antara lain di kota Serang dibangun sebuah Chugakko (SMP), di Pandeglang dibangun sebuah Sihan gakko (Sekolah Guru) dan sebuah Nogyo gakko (Sekolah Menengah Pertanian Pertama) (Asia Raya, 20 Oktober 1942 dan Djajamihardja: Wawancara). Program pendidikan yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang bagi penduduk di Banten ─ sebagai usaha men-Jepang-kan penduduk ─ dilakukan lewat sekolah-sekolah yang para gurunya telah dipersiapkan melalui kursus pendidikan guru yang "dipola" sesuai dengan propaganda Jepang. Kursus untuk guru-guru ini diselenggarakan di Jatinegara, Jakarta, yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan; gelombang pertamanya mulai diselenggarakan pada bulan April 1942. Dalam kursus ini para guru di samping mendapat pelajaran kependidikan juga diajarkan bahasa Jepang, adat istiadat Jepang dan taiso (semacam senam pagi). Dari karesidenan Banten di antaranya yang pernah mengikuti kursus guru tersebut adalah: Sumintapura dari Pandeglang, Suwardilangi dari Serang dan R. Djajaroekmantara dari Lebak.

Untuk membantu pasukan-pasukan Jepang di medan pertempuran dibentuk Heiho, sebagai prajurit pembantu. Dalam prakteknya, untuk mencari pemuda-pemuda yang akan dijadikan Heiho ini, pemerintah pendudukan Jepang pun tidak jarang menggunakan cara paksaan. Pemuda-pemuda Heiho ini dilatih secara kemiliteran dan ditempatkan dalam barak khusus yang diawasi ketat oleh tentara Jepang. Para heiho ini dikirim ke front-front pertempuran di luar tanah air, sehingga banyak pemuda Banten, yang ikut dalam barisan heiho gugur dalam pertempuran di kepulauan Salomon melawan tentara Sekutu.



Perubahan sosial politik mulai terasa setelah Jepang berkuasa selama satu tahun. Sikap mereka yang semula ramah dan simpati berubah kejam, menekan rakyat dengan berbagai peraturan ketat. Pemerintah melarang rakyat mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berkumpul lebih dari dua orang. Semua rakyat yang mempunyai radio harus mendaftarkan di tempat-tempat dan waktu yang ditentukan dalam Maklumat Kantor Besar Pemerintah Dai Nippon. Radio tersebut harus dibawa ke kantor wedana setempat untuk dilak/disegel. Tujuannya agar rakyat tidak mendengarkan berita dari luar negeri, terutama berita yang menyangkut kedudukan Jepang dalam perang. Di antara peraturan-peraturan itu, ada satu ketentuan yang sangat ditentang oleh para ulama, yaitu kewajiban untuk melakukan seikerei yaitu membungkuk ke arah timur untuk memberi hormat kepada Kaisar Jepang, yang dianggap dewa matahari. Sikap tersebut oleh para ulama diartikan sebagai penyembahan kepada selain Allah yang termasuk syirik (mempersekutukan Allah). Penyembahan hanyalah kepada Allah, bukan kepada yang lain; apabila sikap itu dilakukan kepada selain Allah maka termasuk syirik, dosa yang terbesar dalam Islam.



2. Pembela Tanah Air (PETA)

Sejak Agustus 1943, inisiatif pertempuran Pasifik beralih ke pihak Sekutu. Di Pasifik Utara pihak Sekutu telah mengusir tentara Jepang dari kepulauan Aleuten; di Pasifik Tengah armada Amerika telah siap mendekati Philipina; di Pasifik Selatan pulau-pulau Guadalcanal dan New Georgia di kepulauan Salomon telah dikuasai Sekutu; di Pasifik Barat, pulau Papua juga telah didarati pasukan Sekutu; bahkan beberapa pulau di Indonesia Timur telah mengalami serangan udara Sekutu. Sehingga otomatis kedudukan Jepang di Indonesia terancam, sedangkan kekuatan tentara Jepang sudah mengalami kemunduran, sehingga diperlukan tambahan tenaga Heiho yang sudah tidak mencukupi lagi. Dalam pada itu, semangat patriotisme pemuda Indonesia yang sudah dapat bersatu, menginginkan adanya "pasukan" yang menguasai bidang kemiliteran, dan semua anggotanya berasal dari orang Indonesia sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kemerdekaan Indonesia.

Melihat situasi yang dialami tentara Jepang yang dalam keadaan terdesak itu, Gatot Mangkuprojo, salah seorang aktifis pergerakan, pada tanggal 7 September 1943 mengirimkan surat kepada Saiko Sakikan (panglima tertinggi) dan Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang, yang isinya tentang permohonan pembentukan Jawa kyodo bo ei gyugun (pasukan sukarela untuk membela tanah Jawa); dengan alasan untuk membantu tentara Jepang dalam mempertahankan pulau Jawa dari serangan pasukan Sekutu. Pada tanggal 3 Oktober 1943 permohonan dikabulkan oleh pemerintah militer Jepang. Demikianlah pada tanggal tersebut Gunsireikan (Panglima Tentara XVI) Letjen Kumakici Harada mengeluarkan sebuah peraturan yang dikenal dengan nama Osamu Seirei no. 44, yang berjudul "Pembentukan pasukan sukarela untuk membela tanah Jawa"; yang selanjutnya disebut Pembela Tanah Air (PETA) (Panitia, 1985: 55).

Pembentukan PETA dimulai dengan memilih calon-calon perwira, yakni calon untuk shoodancho (komandan peleton), cudancho (komandan kompi), dan daidancho (komandan batalyon).

a. Untuk calon shodancho umumnya diambil pemuda-pemuda yang baru saja selesai sekolah dan belum bekerja.

b. Untuk calon cudancho diambil dari masyarakat yang sudah mempunyai kedudukan, seperti guru, pegawai pamong-praja, dan pegawai lain.

c. Untuk calon daidancho umumnya dipilih dari tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh luas di daerah setempat.



Untuk calon perwira PETA ini didirikan tempat-tempat pelatihan yang disebut Jawa bo ei gyugun kanbu rensentai (korps latihan pemimpin tentara sukarela pembela tanah air di Jawa), disingkat rensentai, dan kemudian berganti nama menjadi Jawa bo ei gyugun kanbu kyoikutai disingkat kyoikutai. Pemusatan pelatihan untuk perwira wilayah Jawa dan Madura terletak di Bogor, sedangkan untuk tingkat budancho (bintara) diselenggarakan di Cimahi, Jawa Barat, dan Magelang, Jawa Tengah; dengan lama latihan antara dua bulan sampai lima bulan, sesuai dengan kepangkatannya. Untuk membantu dan mengawasi keadaan gerakan PETA, di setiap daidan ditempatkan beberapa orang perwira, bintara, dan tamtama Jepang, sebagai penasihat dan pengawas. Dalam waktu singkat, berdirilah di daerah-daerah kesatuan PETA di bawah pimpinan perwira-perwira muda. Hal ini menambah rasa harga diri dan kebanggaan rakyat yang menginginkan mempunyai angkatan perang sendiri. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa dalam organisasi PETA tidak ada "jenjang karir", seperti pada ketentaraan layaknya. Tidak ada persyaratan ijazah, kontrak kerja, bayangan gaji, ataupun kenaikan pangkat. Motivasi pemuda waktu itu hanyalah "semangat keinginan membela tanah air" dan "memperoleh keterampilan kemiliteran" untuk nanti melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Tingkat kepangkatan dalam PETA ini terdiri dari: (1) Daidancho (komandan batalyon), (2) Chudancho (komandan kompi), (3) Shodancho (komandan peleton), (4) Budancho (komandan regu), dan (5) Giyuhei (prajurit sukarela).

Tentara PETA di Jawa secara organisatoris di bawah koordinasi 3 orang Ciku bo ei sireikan (setingkat Kodam): (1) untuk wilayah Jawa Barat di bawah pimpinan Mayjen Mabuci dan berkedudukan di Bandung, (2) wilayah Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Nakamura berkedudukan di Magelang, dan (3) wilayah Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen Iwabe dan berkedudukan di Surabaya (Nasution, 1982: 65-67).

Di wilayah Banten terbentuk 4 daidan, yang terdiri:

a. Dai ichi Daidan (batalyon I), dipimpin oleh K.H. Tb. Ahmad Chatib, yang berkedudukan di Labuan.

b. Dai ni Daidan (batalyon II), dipimpin oleh Entol Oyong Ternaya, berkedudukan di Kandangsapi, Malimping.

c. Dai san Daidan (batalyon III), dipimpin oleh K.H. Syam'un, berkedudukan di Serang, dengan kompi-kompinya di Merak dan Anyar.

d. Dai yon Daidan (batalyon IV), dipimpin oleh Uding Suriatmadja, berkedudukan di Pandeglang ─ sebagai daidan cadangan (Panitia ... Naskah).

Di Serang dibentuk pula Yugeki tai (pasukan bawah tanah) merupakan pasukan khusus yang tidak berseragam tentara, dan secara organisatoris berdiri sendiri. Anggotanya ada sekitar 27 orang yang dipimpin oleh Ali Amangku (shodancho), Umar Syarif (shodancho) dan Kamaruzaman (shodancho). Tugas resmi mereka itu sebenarnya adalah untuk meneliti sikap masyarakat terutama tokoh-tokohnya terhadap pemerintah Jepang. Tapi dalam prakteknya, para yugeki inilah yang secara diam-diam mendekati para pelajar di sekolah untuk menumbuhkan rasa kebangsaan kepada mereka, sehingga dari mereka itulah kemudian tumbuh TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) (Djadjamihardja, Wawancara, 11 Nopember 1992).



3. Penderitaan Rakyat Selama Penjajahan Jepang

Setelah pasukan Jepang mengalami kekalahan terus-menerus dalam medan perang di Pasifik, pemenuhan kebutuhan logistik tentara di garis belakang pun banyak mendapat kesulitan. Untuk mengatasi hal tersebut, Jepang berusaha merekrut penduduk dari daerah-daerah kuasanya untuk dikerahkan dalam segala kegiatan ekonomi dan perang. Rakyat. Melalui unit-unit desa terkecil masyarakat diwajibkan mengumpulkan dan menyerahkan hasil bumi berupa padi, karet dan sebagainya; dan juga barang-barang berharga lainnya seperti emas, perak, intan, sampai dengan besi tua. Petani dipaksa untuk menyerahkan hampir seluruh hasil panennya, di samping dibebani kewajiban untuk menanam pohon jarak ─ yang dipakai sebagai bahan baku membuat minyak pelumas mesin. Padi untuk persediaan makan habis dan beras sudah lama menghilang dari pasaran. Akibat tindakan tentara Jepang semacam itu, penghidupan rakyat menjadi semakin sengsara. Untuk memperoleh makanan pokok seperti beras dan jagung saja mereka harus mempunyai "kartu tanda beli" dari lurah. Penduduk harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu liter beras. Para pegawai pemerintah (dari bangsa Indonesia) saja hanya dapat jatah dua kilogram untuk kebutuhan keluarganya selama satu minggu. Sehingga untuk mengatasi kelaparan ini orang terpaksa makan umbi-umbian seperti umbi jalar, ketela pohon dan talas, bahkan tidak jarang ada yang makan pokok batang pisang (gedebong) atau umbut batang nipah. Kerena keadaan kurangnya persedian pangan dan kondisi yang sangat menyedihkan ini, banyak penduduk yang sakit berat dan meninggal disebabkan kelaparan dan kekurangan gizi. Penyakit kolera, malaria, busung lapar dan penyakit cacar mewabah serta banyak menelan korban (Soeara Merdeka, 28 Oktober 1945).

Bahan pakaian pun sulit diperoleh, sehingga penduduk terpaksa memanfaatkan bahan kelambu, seprei atau gorden yang masih dapat dipakai. Bahkan di pedesaan keadaannya lebih sulit lagi, banyak penduduk desa yang mengunakan bahan bekas karung goni atau lembaran karet sebagai bahan penutup tubuh. Akibatnya banyak yang menderita penyakit borok karena gigitan kutu atau karena lekatnya baju karet itu dengan kulit tubuh si pemakai.

Yang paling mengenaskan bagi penduduk adalah kewajiban untuk menjadi romusha, yaitu pekerja kasar yang bekerja untuk kepentingan perang dan tidak mendapat bayaran ─ semacam pekerja rodi pada masa Belanda. Di samping kekurangan makanan, penginapan dan kebebasan, para romusha ini diperintahkan untuk bekerja keras tanpa henti, seperti layaknya budak belian. Tragisnya, oleh pemerintah Jepang, para romusha itu dijuluki "pahlawan ekonomi".

Para romusha inilah yang dikerahkan untuk pembuatan jalan kereta api dari Seketi ke Bayah, pembuatan lapangan terbang Gorda, pembuatan basis pertahanan di Pulau Panaitan, penggalian batu bara di Bayah, Banten Selatan. Untuk menggambarkan bagaimana keadaan para "pahlawan ekonomi" ini, dapat dilihat dari keadaan para romusha di pertambangan batubara di Bayah Kozan. Tenaga mereka diperas habis-habisan, sementara kesejahteraannya tidak diperhatikan pemerintah. Mereka ditempatkan di bedeng-bedeng kecil yang tidak berdinding dan hanya beratapkan daun kirai (sejenis daun enau atau aren) sebagai penahan air hujan dan segatan matahari. Makanan yang disediakan dijatah sangat terbatas, masing-masing mereka hanya mendapat 2 ons beras per hari setiap orang (Tan Malaka t.t. :53). Karena tindakan tentara pendudukan Jepang di luar batas nilai-nilai kemanusiaan itu, beribu-ribu romusha meninggal di tempat mereka bekerja. Sepanjang jalan antara Saketi dan Bayah ditemui banyak mayat para romusha yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi sepanjang jalan kereta api dari Saketi sampai Bayah, atau dalam pembuatan lapangan udara di Gorda, Cikande (Sudiro, 1979:).

Disamping itu, untuk keperluan memelihara "semangat bertempur" di kalangan tentara Jepang, mereka mendirikan "tempat-tempat rekreasi" ─ lebih tepat disebut rumah bordil ─ yang didirikan di beberapa kota. Di tempat-tempat semacam itulah disediakan jugun ianfu, yaitu wanita penghibur yang mengikuti tentara Jepang; atau dalam arti yang sebenarnya adalah wanita-wanita pelacur, yang disiapkan untuk penghibur dan pemuas seks tentara Jepang. Untuk mendapatkan jugun ianfu ini ditempuh dengan berbagai cara, baik dengan tipuan halus ─ misalnya dengan bujukan untuk disekolahkan di Singapura, dan lain-lain ─ ataupun dengan kekerasan; misalnya ancaman keluarganya akan dijadikan romusha. Beribu-ribu gadis muda Indonesia dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual tentara Jepang ini, seperti layaknya budak seks. Sebagai gambaran yang jelas tentang banyaknya jugun ianfu ini, gadis-gadis Korea yang dipaksa untuk pekerjaan itu diperkirakan lebih dari 200.000 orang. Dan tidak jarang terjadi kekerasan bagi gadis yang menolak melayani tentara Jepang itu; ia dihukum dengan cara mengikatkan leher dan keempat anggota tubuhnya ke lima ekor kuda yang menariknya ke arah yang berlawanan. Malahan bagi jugun ianfu yang ketahuan telah mengidap penyakit kotor dibakar hidup-hidup atau diledakkan dengan granat. Para wanita ini dibawa kemana tentara Jepang itu dikirim, berkeliling sampai ke Cina, Asia Tenggara, bahkan sampai ke Rabaul di Papua Nugini, salah satu pangkalan militer Jepang. Di antara para jugun ianfu yang selamat dari kekejaman tentara Jepang pun banyak yang akhirnya bernasib sangat mengenaskan: mati bunuh diri atau menjadi gila (Tempo, No. 21/XXII, 25 Juli 1992).

Di Serang, para jugun ianfu itu ─ oleh penduduk setempat disebut "jobong jepang" ─ ditempatkan di beberapa hotel, bar, rumah peristirahatan perwira, dan di dekat tangsi militer Jepang; misalnya di perumahan perwira di Cirendong, di Kantin atau di tempat perisrahatan tamu penting (sekarang rumah dinas Danrem). Biasanya, untuk menghindari timbulnya emosi masyarakat, para jugun ianfu tidak ditempatkan di daerah asalnya, melainkan ditukar-tempat; misalnya gadis asal Serang ditempatkan di Bogor, demikian juga sebaliknya.

Anak-anak pelajar Sekolah Rakyat (SR), setiap hari sebelum masuk kelas, diharuskan melakukan sinkerei yang dilanjutkan dengan taiso. Kemudian setiap hari Senin, sambil mengibarkan bendera Jepang mereka menyanyikan lagu Kimigayo. Hari-hari berikutnya, para siswa ini diharuskan mencari bebangah dan menanam pohon jarak, yang hasilnya nanti dikumpulkan di tiap-tiap sekolah untuk keperluan Jepang. Orang-orang kampung diintruksikan untuk membuat lobang-lobang perlindungan, misalnya di pinggir Kalibanten (Cibanten), berupa gua-gua sedalam 2 meter lebar dan tinggi 1 meter. Gua-gua perlindungan ini digunakan sebagai tempat perlindungan, dimana anak-anak dibekali karet untuk digigit bilamana sirine dibunyikan. Begitulah gambaran suasana yang mencengkam dalam saat transisi selama 3,5 tahun.





4. Reaksi Rakyat Terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang

Karena tindakan kejam dari pemerintah pendudukan Jepang yang di luar batas kemanusiaan itu, kepercayaan bangsa Indonesia kepada “niat baik” Jepang, dengan semboyan "Perang Suci di Asia Timur Raya", mulai sirna. Perlawanan bersenjata timbul di beberapa daerah; baik secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh Kiyai Zaenal Mustafa di Singaparna ─ karena menentang upacara sinkerei ─ dan pemberontakan PETA di Blitar, ataupun perlawanan di bawah tanah seperti yang dilakukan oleh kelompok pemuda perjuangan (Kahin, 1970: 11-112).

Rakyat di Caringin, sebuah desa di dekat Labuan, dengan dipimpin kyai-kyai dan pemuka masyarakat merencanakan mengadakan pemberontakan kepada penguasa militer Jepang. Rencana itu sempat tercium oleh kempetai, sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan. Para kyai dan pemimpin perencana pemberontakan itu ditumpas secara kejam sampai ke akar-akarnya.

Di daerah Serang, sejak awal pendudukan Jepang sudah ada gerakan bawah tanah yang menentang fasisme ini, yaitu Gerakan Djojobojo yang dibentuk pada tahun 1941. Organisasi ini berpusat di Jalan Semar, Bandung, yang dipimpin oleh seorang tokoh komunis Mr. Muhammad Yusuf. Cabangnya yang ada di Serang dipimpin oleh Ce Mamat yang sekaligus mendapat wewenang untuk menangani masalah di karesidenan Banten, Tangerang dan Jakarta. Kegiatan organisasi ini terutama banyak dilakukan di kalangan buruh minyak dan buruh perkebunan, dimana mereka melakukan taktik sabotase misalnya dengan membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran, yang mengakibatkan tergulingnya kereta api militer Jepang pada awal tahun 1943 (Kertapati, 1961: 18-19).

Pada akhir tahun 1943, Gerakan Djojobojo tercium oleh pemerintah Jepang. Para tokohnya ditangkap dan bahkan ada yang dihukum mati. Tokoh Haji Sinting dari Kaujon, Serang, tertangkap dan dijatuhi hukuman tembak. Ce Mamat sendiri tertangkap di Serang kemudian dibawa ke markas kempetai (polisi militer) Serang, kemudian dipindahkan ke markas pusat kempetai di jalan Tanah Abang III, Jakarta, dan baru dibebaskan pada tanggal 19 Agustus 1945.

Pada tahun 1944 bermunculan organisasi pemuda, yang pada umumnya merupakan cabang yang berpusat di Jakarta; misalnya Hizbullah, Sabilillah, Lasykar Wanita Indonesia, Barisan Pelopor, Barisan Banteng dan Barisan Indonesia Merdeka (Bima). Organisasi yang disebut terakhir ini merupakan kegiatan di bawah tanah, yang dalam menyampaikan informasi kepada anggotanya dilakukan secara berantai semacam sel sistem. Menurut Ayip Dzuhri, bekas tokoh pemuda di Serang, kegiatan Bima ini sebenarnya diujudkan untuk merongrong pemerintah pendudukan Jepang, misalnya melakukan sabotase dan lain-lain.

Sedangkan Barisan Pelopor, merupakan organisasi bentukan Jepang, yang didirikan pada tanggal 1 Maret 1944. Cabangnya di Serang diketuai oleh Ayip Dzuhri ─ yang juga menjadi anggota Bima. Menurut Sudiro (1979:4) tujuan utama dari Barisan Pelopor ini adalah sebagai kaderisasi pemuda dan aksi massa. Dalam waktu yang hampir bersamaan, didirikan pula organisasi Barisan Banteng ─ cabangnya di Serang dipimpin Ayip Dzuhri dan Abduhadi. Organisasi ini bertujuan untuk menanamkan semangat kebangsaan. Dalam waktu yang relatif singkat Barisan Banteng ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan pemuda. Gambar kepala banteng yang mereka pakai di ikat kepala, baju atau senjata (berupa tombak), adalah sebagai lambang menolak kerja sama dengan Jepang (Rasyidi, 1979:15). Karena Barisan Banteng menunjukkan sikap yang menentang pemerintahan Jepang, maka organisasi ini pernah dibubarkan. Tapi sejak tanggal 3 Nigatsu 2603 (1943) latihan-latihan dibolehkan lagi dengan beberapa syarat. Walaupun Barisan Pelopor dan Barisan Banteng merupakan organisasi di bawah naungan pemerintah pendudukan Jepang, namun dalam kegiatannya tidak luput dari hasrat menanamkan dan mengobarkan semangat kebangsaan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh para pemimpinnya.

Organisasi pemuda lain yang juga berperan dalam menyambut kemerdekaan Indonesia adalah Angkatan Pemuda Indonesia (API) yaitu badan perjuangan yang bernaung di bawah Komite van Aksi yang bermarkas di Menteng Raya 31, Jakarta, dipimpin oleh tokoh-tokoh pemuda seperti Adam Malik, Sukarni, M. Nitimiharjo, dan lain-lain. Di Serang, organisasi perjuangan API ini dipimpin oleh Ali Amangku, yang juga sebagai pimpinan Yugekitai. Organisasi inilah yang kemudian menggerakkan pemuda-pemuda Serang untuk mempersiapkan dirinya dalam merebut markas kempetai di Serang pada tanggal 10 Oktober 1945.



BAB VI

MASA AWAL KEMERDEKAAN





Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1942 dan tiga hari kemudian di kota Nagasaki, membuat kaisar Jepang, Hirohito, terpaksa menyerah tanpa syarat dan mengakui kekalahannya dalam Perang Dunia II, pada tanggal 14 Agustus 1945. Berita mengenai penyerahan Jepang ini segera menyebar ke seluruh dunia. Tetapi berita ini rupanya sengaja diperlambat penyiarannya bagi daerah pendudukan Jepang. Walau demikian, berita kekalahan dan bertekuk-lututnya Jepang atas Sekutu itu pun segera diketahui oleh pegawai kantor berita Jepang Domei, di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 1945, yang kemudian menyampaikannya kepada pimpinan pergerakan. Mendengar berita tersebut para pemuda mengambil inisiatif, mendesak para tokoh masyarakat supaya secepatnya merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang, sebelum Indonesia menjadi pampasan perang pihak Jepang kepada Sekutu. Ketika berita besar ini disampaikan oleh beberapa wartawan Indonesia kepada pemimpin Jawa Hoo-kookai, mereka tidak percaya bahwa Jepang akan menyerah begitu saja. Keadaan inilah yang menyebabkan para pemuda -- antara lain Khaerul Saleh, Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dll. -- terpaksa "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengas Dengklok untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia[1]. Karena ketidak-percayaan tentang menyerahnya Jepang dan "kehati-hatian" kedua pemimpin besar pergerakan itu, barulah dua hari kemudian, pada hari Jum'at, 17 Agustus 1945 jam 4.00 menjelang sahur, dengan disaksikan oleh Sukarni, Khairul Saleh, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sudiro, BM. Diah, Sayuti Melik dan Semaun Bakri, naskah proklamasi kemerdekaan ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia di Orange Nassau-boulevard, Jakarta, rumah Laksamana Maeda. Dan pada pukul 10.00 WIB Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dari jalan Pegangsaan Timur 56, tempat kediaman Bung Karno, dengan disaksikan oleh beribu-ribu masyarakat Jakarta (Malik, 1975: 66). Berita proklamasi kemerdekaan ini pun berhasil diselundupkan untuk disiarkan ke seluruh dunia melalui kantor berita Domei dan Hosho Kyoku (RRI sekarang).

Pada sidang pertama tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan: (1) mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara RI, (2) mengangkat/ menetapkan Ir. Sukarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden, dan (3) menetapkan bahwa, untuk sementara, pekerjaan presiden dibantu oleh Komite Nasional sampai terbentuknya MPR/DPR. Pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan untuk segera membentuk tentara kebangsaan, tapi karena alasan "kehati-hatian" pula, keputusan ini dibatalkan dengan hanya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada sidang ketiga tanggal 22 Agustus 1945 (Yamin, 1969: 339)[2]. Pada sidang yang ketiga ini pula berhasil dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI), yang kemudian dilantik pada sidang selanjutnya, pada tanggal 29 Agustus 1945. Dengan dibantu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada tanggal 4 September 1945, terbentuklah kabinet presidentil pertama terdiri dari 12 kementrian dan 5 orang mentri negara.

Rapat pertama KNIP pada tanggal 16-17 Oktober 1945, menetapkan Sutan Syahrir sebagai ketua KNIP. Dan melalui Maklumat Pemerintah No. 10/1945 ditetapkan pula bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi tugas untuk menyusun GBHN; dan berhubung situasi genting, maka pekerjaan KNIP sehari-hari dibantu oleh Badan Pekerja yang dipilih dari anggota KNIP itu sendiri dan juga bertanggung jawab pada KNIP. Dengan adanya kekuasaan besar tersebut, melalui keputusan KNIP pada tanggal 26 Nopember 1945, Sutan Syahrir mengajukan usulan untuk mengadakan perubahan dalam susunan pemerintahan. Hal ini berarti runtuhnya Kabinet pertama, dengan mengganti Kabinet Presidenter menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab. Akhirnya melalui Keputusan Presiden, Sutan Syahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Walaupun perubahan ini bertentangan dengan Undang Undang Dasar namun karena KNIP "dianggap" sebagai MPR (yang belum terbentuk) maka keputusan KNIP pun dianggap sah saja (Malik, 1984: 75-76).

Dalam pada itu, pasukan Sekutu, sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, sesuai dengan perjanjian Potsdam, Juli 1945, menugaskan pasukan Inggris untuk "menormalisasi" keadaan di Asia Tenggara.? Tugas-tugas South East Asia Command (SEAC) itu adalah: mengembalikan tentara Jepang -- yang di Indonesia berjumlah 283.000 orang -- ke tempat asalnya, membebaskan tawanan perang Sekutu, memulihkan keamanan di Asia Tenggara dan mengembalikan daerah tersebut kepada pemiliknya masing-masing. Dalam hal ini, Indonesia dikembalikan kepada Belanda; Indo-China kepada Perancis; Semenanjung Melayu, Singapura dan bagian utara Kalimantan kepada Inggris; dan Timor Timur kepada Portugis (Malik, 1984:30).

Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Inggris dengan panglimanya Letnan Jenderal Sir Philips Christison mendarat di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dari daerah-daerah ini mereka bergerak ke pemusatan tentara Jepang yang terletak di beberapa kota sekitar. Bersama dengan pasukan Inggris tersebut, pasukan Belanda -- yang menamakan diri Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Badan Urusan Sipil Hindia Belanda -- yang direncanakan akan menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris, dipimpin oleh Van Mooks dan Van der Plas. Masuknya tentara NICA ini hampir selalu menimbulkan kekacauan di semua kota yang didarati tentara Inggris. Hal ini disebabkan karena teror dan kekacauan yang sengaja ditimbulkan oleh tentara NICA. Di kota Jakarta misalnya hampir setiap hari pasukan NICA mengadakan penculikan dan pembunuhan pada pemuda Indonesia; dan pasukan Sekutu tidak dapat berbuat banyak (Soeroyo, 1988:58 dan Sudirdjo, ed., 1985:39).



A. PENYERANGAN MARKAS KEMPETAI DI SERANG

Berita tentang kekalahan Jepang dan disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, baru dapat diterima dan disebarkan kepada penduduk di kota Serang pada tanggal 20 Agustus 1945 oleh Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Ajiz. Mereka adalah pemuda dari Jakarta yang diutus oleh Chaerul Saleh untuk menyiarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia ke daerah Banten. Berita besar ini terutama disampaikan kepada tokoh masyarakat Serang seperti : K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Zulkarnain Surya, serta para tokoh pemuda seperti: Ali Amangku dan Ayip Dzuhri, dengan maksud agar mereka meneruskan berita itu secara berantai kepada seluruh masyarakat di karesidenan Banten (Sandjadirdja, Naskah).

Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh pemuda di Serang segera merebut kekuasaan dari penguasa militer Jepang. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945 beberapa pemuda, di antaranya pemudi Sri Sahuli, pegawai kantor sosial pemerintahan Jepang, berani memprakarsai penurunan bendera Jepang yang ada di Hotel Vos, Serang (sekarang kantor Kodim Serang). Peristiwa ini disusul dengan penurunan bendera di kantor-kantor pemerintah Jepang lainnya pada keesokan harinya.

Adanya gelagat penurunan bendera ini menunjukkan bahwa para pemuda semakin berani bertindak dan mulai giat menggerakkan kekuatan rakyat untuk melucuti serdadu Jepang dan merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan orang-orang Jepang. Melihat kejadian itu, maka banyak orang Jepang Sakura[3] mulai meninggalkan Serang menuju ke Jakarta. Syucokan (Residen) Banten Yuki Yoshii menyerahkan jabatannya kepada Fuku-syuchokan (Wakil residen) Raden Tirtasujatna. Sedangkan orang-orang Jepang militer masih tetap berada di pos-pos mereka di Gorda, Sajira dan Anyer untuk melaksanakan perintah Sekutu supaya tetap menjaga status quo.

Di samping orang-orang Jepang Sakura, beberapa pamongpraja yang berasal dari daerah Priyangan pun banyak yang pergi meninggalkan Banten. Kepergian mereka bukan berarti mereka setia kepada Jepang, akan tetapi ia merasa takut menjadi sasaran luapan kemarahan rakyat karena bekas pejabat kolonial yang tidak disenangi; termasuk juga Raden Tirtasujatna yang baru menerima penyerahan jabatan dari Yuki Yoshii pun melarikan diri ke Bogor, meskipun sebenarnya ia telah ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Residen Banten.

Sejak Residen Tirtasujatna melarikan diri dari Banten, jabatan Residen menjadi kosong, sedangkan waktu itu belum ada penunjukan sebagai gantinya. Semetara itu pemerintah pusat di Jakarta secara resmi telah mengumumkan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kedua badan tersebut dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 sebagai organisasi resmi yang membantu aparatur pemerintah dalam menangani bidang politik, militer dan keuangan negara. Kepada setiap daerah diintruksikan supaya segera membentuk KNI dan BKR (Nasution, 1970: 144-145). Di daerah Banten kedua badan tersebut belum dapat terbentuk, hal ini disebabkan antara lain karena pucuk pimpinan pemerintah yang resmi di daerah yakni Residen belum ada; sedangkan pejabat tinggi lain yaitu Bupati Raden Hilman Djajadiningrat, tidak berani mengambil alih tanggung jawab Residen (Sandjadirdja, Naskah).

Dalam situasi yang tidak menentu itu hanya kelompok pemudalah yang berani bergerak dan mengambil inisiatif untuk melucuti orang-orang Jepang yang berada di Serang dan sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh pemuda yang tergabung dalam suatu organisasi yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Organisasi ini dibentuk pada tanggal 1 September 1945 atas prakarsa Chaerul Saleh didukung oleh pemuda Menteng 31 yang tidak puas atas tindakan pemerintah karena dirasa lambat menangani pemindahan kekuasaan dari Jepang. Organisasi API di Serang didirikan oleh pemuda ex. Yugekitai yang diketuai oleh Ali Amangku, sedangkan pemimpin API putri adalah Sri Sahuli dan bermarkas di kampung Kaujon Kalimati.

Atas desakan pemuda API maka pada pertengahan bulan September 1945, diadakan perundingan dengan para tokoh masyarakat Kabupaten Serang, diantaranya: K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Zulkarnain Surya Kartalegawa. Perundingan ini dilaksanakan di tempat kediaman Zulkarnain Surya Kartalegawa, di dekat Rumah Sakit Serang. Dalam perundingan ini dibicarakan tentang pembagian tugas, khususnya dalam pemerintahan di Banten. Hasil perundingan itu adalah (Amangku dan Soendjojo, Naskah):

1) Pengambilalihan kekuasaan Jepang diserahkan kepada Zulkarnain Surya Kartalegawa.

2) Urusan keamanan diserahkan kepada K.H. Ahmad Khatib.

3) Urusan yang berhubungan dengan badan-badan atau organisasi perjuangan pemuda diserahkan kepada Ali Amangku.

Dalam perundingan itu pun para pemuda mengusulkan kepada pemerintah Republik Indonesia agar segera mengangkat K.H. Ahmad Khatib sebagai Residen Banten, yang menangani administrasi dan pemerintahan sipil di Banten; dan K.H. Syam'un menangani segala urusan militer.

Tokoh K.H. Ahmad Khatib adalah seorang ulama yang cukup disegani masyarakat. Ia alumni pesantren Kadupiring, yang kemudian melanjutkan ke pesantren Caringin, keduanya berada di Pandeglang. Semenjak remaja, putra Kiyai Waseh ini setelah berguru pada Kiyai Asnawi (atau dikenal Kiyai Caringin) di Caringin, aktif dalam kegiatan pergerakan pemuda, sehingga tahun 1920 menjadi ketua Syarikat Rakyat (SI) di Banten. Karena kepintaran dan kecerdasannya Ahmad Khatib menjadi murid kesayangan dan bahkan dijadikan mantu Kiyai Caringin. Yang paling menonjol pada K.H. Ahmad Khatib adalah sikapnya yang keras dan tegas terhadap penjajah. Seperti juga gurunya, Kiyai Caringin -- yang menjadi salah seorang pimpinan dalam pemberontakan komunis di Banten pada tahun 1926-1927 -- K.H. Ahmad Khatib dibuang ke Boven Digul (Tanah Merah), Irian. Lima belas tahun kemudian, setelah dibebaskan, ia kembali ke Serang dan aktif dalam bidang pendidikan agama, memimpin pesantren mertuanya di Caringin (Benda and Ruth MacVey, 1969:45).

Sedangkan K.H. Syam'un adalah seorang ulama yang cukup disegani rakyat di Banten. Tokoh kelahiran Citangkil, Cilegon, Serang ini adalah cucu dari K. H. Wasid, salah seorang tokoh dalam peristiwa Geger Cilegon, yang kemudian dihukum gantung oleh Belanda. Mencapai usia remaja, pemuda yatim piatu ini setelah tamat belajar di pesantren Teneng dan pesantren Kamasan ini kemudian melanjutkan belajar ke Mekah, Saudi Arabia. Setelah lima tahun (1905 - 1910) belajar di Mekah, kemudian Syam'un muda ini melanjutkan ke Al-Azhar University, Cairo, Mesir. Beberapa tahun kemudian ia pergi kembali ke Mekah dan mengajar di Masjidil-Haram. Belum genap satu tahun di Mekah, ia kembali pulang ke kampung halamannya di Citangkil, Serang, sebagai guru agama Islam di pesantren yang ia dirikan pada tahun 1925 (Rahmatullah, Wawancara, 4 Juni 1981).

Pada tanggal 19 September 1945, K.H. Ahmad Khatib resmi diangkat menjadi Residen Banten oleh Presiden Soekarno. Untuk membantu kelancaran pemerintahan, K.H. Ahmad Khatib menunjuk Zulkarnain Surja Kertalegawa sebagai Wakil Residen. Dan untuk jabatan bupati di daerah Serang, Pandeglang dan Lebak, K.H. Ahmad Khatib meminta agar para bupati lama, untuk sementara tetap dalam jabatannya dan meneruskan tugasnya sebagai Bupati; dengan pertimbangan, dalam masa transisi, para bupati lamalah yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan di daerahnya. Para bupati itu adalah: Raden Hilman Djajadiningrat (Bupati Serang), Mr. Djumhana (Bupati Pandeglang) dan Raden Hardiwinangun (Bupati Lebak). Sedangkan jabatan-jabatan dalam badan KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap kabupaten, masing-masing diserahkan kepada Ce Mamat untuk kabupaten Serang, Mohamad Ali untuk kabupaten Pandeglang, dan Raden Djajarukmantara untuk kabupaten Lebak (Nasution, 1977: 522- 523).

K.H. Syam'un yang ditunjuk menangani bidang militer segera merealisir pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Karesidenan Banten. Anggota BKR ini terdiri dari bekas anggota PETA, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API, dan lain-lain barisan kelasykaran. Susunan organisasi BKR masih menggunakan bentuk yang terdapat dalam Daidan (kesatuan batalion) pada PETA di masa pendudukan Jepang. Beberapa hari kemudian, terbentuk pula BKR-Laut Banten yang diketuai oleh Gatot; terdiri dari 2 bagian: Armada Perikanan dan Pasukan Marinir[4]. Pendirian BKR-Laut Banten disyahkan oleh K.H. Ahmad Khatib, Residen Banten, dan K.H. Syam'un, Kepala BKR Serang (Letkol Ngaliman, Wawancara.)

Dalam hal persenjataan, pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api saja untuk sekian banyak anggotanya, karena dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan RI para pemimpin PETA (orang Jepang) sudah melucuti senjata anak buahnya[5]. Oleh sebab untuk mendapatkan senjata yang diperlukan pasukan yang akan menjadi pasukan inti perjuangan rakyat Banten, K.H. Syam'un menyusun suatu rencana untuk "meminta" dari pasukan Jepang. Untuk keperluan itu K.H. Syam'un mengadakan perundingan dengan K.H. Ahmad Khatib, yang kemudian disepakati untuk mencoba berunding dengan Kempetai di Serang, agar pihak Jepang menyerahkan senjatanya kepada BKR. Perundingan dengan Kempetai ini dilakukan sampai 2 kali. Pertama dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1945 dengan mengutus Wakil Residen Zulkarnain Suria Kartalegawa, karena dia mengerti bahasa Jepang dan pernah menjadi fuku-syucokan (wakil residen) zaman Jepang. Perundingan pertama ini tidak memuaskan pihak BKR, karena pihak Jepang minta agar perundingan dilakukan secara resmi, yang langsung dihadiri Residen Banten. K.H. Khatib menyetujui usul ini. Karenanya perundingan dilakukan lagi pada keesokan harinya, kali ini dihadiri langsung oleh Residen didampingi Wakil residen.

Hasil perundingan itu adalah bahwa pihak kempetai menyetujui usul K.H. Chatib asalkan BKR dan residen bersedia menjamin keselamatan seluruh orang Jepang yang masih ada di Karesidenan Banten. Berdasarkan persetujuan ini, maka Residen mengumumkan agar semua orang Jepang yang masih berada di Karesidenan Banten segera berkumpul di kota Serang, di markas Kempetai, selambat-lambatnya sebelum tangggal 9 Oktober 1945 untuk diangkut ke Jakarta dengan pengawalan pasukan BKR (Amangku dan Soendjojo, Naskah).

Pada tanggal 7 Oktober 1945 pasukan marinir Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang bermarkas di Anyer tiba di Serang dengan selamat tanpa gangguan amarah rakyat, karena rakyat telah menerima pesan Ali Amangku agar mereka jangan mengganggu orang Jepang yang menuju ke Serang[6]. Untuk mengumpulkan pasukan Jepang yang berada di Gorda dan Sajira, pihak kempetai meminta bantuan BKR untuk mengawalnya, karena merasa khawatir atas keselamatan mereka dari serbuan rakyat. Maka untuk menjemput pasukan kidobutai (angkatan udara) Jepang di Gorda, diutuslah dua anggota BKR yaitu Sadheli dan Tb. Marzuki dengan dikawal 10 orang dengan berpakaian dinas polisi istimewa, mengendarai dua buah mobil yang masing-masing berisi 5 orang berangkat ke lapangan udara Gorda. Kedatangan mereka disambut dengan baik, dan tanpa kesulitan semua tentara Jepang dikawal sampai di markas kempetai; tetapi kendaraan truk yang memuat senjata dibelokkan ke markas BKR di jalan Pamelan (markas Korem sekarang)[7]

Pada hari yang sama pula, pimpinan BKR mengutus Abdul Mukti dan Juhdi untuk melakukan penjemputan pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun) di Sajira, Rangkasbitung. Untuk melaksanakan tugas itu, kedua utusan dikawal oleh 9 orang tentara Jepang. Sebelum mereka sampai di tujuan, rombongan ini dihadang oleh rakyat di lintasan jalan kereta api Warunggunung, Rangkasbitung. Dendam rakyat terhadap Jepang sudah tidak dapat dikendalikan, sehingga melihat adanya iring-iringan tentara Jepang, rakyat menyerbu ke dalam truk, dan, kesembilan serdadu Jepang ini semuanya dibunuh (Nasution, 1977:522). Abdul Mukti dan Juhdi melarikan diri dan melaporkan kejadian itu kepada pimpinan BKR di Serang. Keesokan harinya Tb. Kaking, seorang anggota BKR, dipanggil oleh perwira kempetai yang pernah menjadi gurunya sewaktu latihan PETA. Dia diminta pertolongannya untuk menjemput jenazah korban insiden Warunggunung. Tb. Kaking menyanggupi permintaan itu.[8] Maka bersama dengan Emon dan beberapa orang pengawal, jenazah orang-orang Jepang itu dapat diangkut ke Serang yang kemudian -- atas permintaan kempetai -- diperabukan secara massal di Kuburan Cina, Kampung Kaloran, Serang (Panitia ..., Naskah; Djajamihardja, Wawancara, 9 Nopember 1992; Tb. Kaking, Wawancara, 30 Mei 1983; Ali Amangku, Wawancara, 2 Juni 1983).

Peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Jepang di Warunggung telah mengecewakan kedua pihak, baik kempetai maupun BKR. Semuanya menyesalkan kecerobohan tindakan pemuda Warunggunung itu. Dengan alasan terjadinya peristiwa Warunggunung ini, pihak kempetai membatalkan persetujuannya untuk menyerahkan senjata kepada BKR. Ali Amangku mencoba berunding lagi dengan perwira kempetai, tetapi kedatangannya tidak dihiraukan oleh mereka. Bahkan Ali Amangku melihat kesibukan tentara Jepang membuat barikade-barikade di sekeliling markas sebagai persiapan menghadapi suatu serangan. Menyaksikan hal ini Ali Amangku menemui wakil residen, yang pada hari itu juga dilaporkan kepada K.H. Sam'un, sebagai pimpinan BKR. Ketiga tokoh itu berunding, dan diambil keputusan untuk segera menggempur markas kempetai yang terletak di sebelah barat alun-alun kota Serang. Keputusan demikian mengandung resiko yang sangat mengkhawatirkan, yaitu akan banyaknya korban yang jatuh dari pihak republik, mengingat persenjataan BKR yang sangat sedikit. Hari itu juga, keputusan hasil rapat kilat tersebut disebarkan kepada pimpinan pemuda, masyarakat dan para ulama sekabupaten Serang. Sore harinya para pemimpin pasukan dari kecamatan-kecamatan Ciomas, Pabuaran, Baros, Taktakan, Padarincang, Kramatwatu, Cilegon dan Ciruas datang ke kota Serang untuk membicarakan rencana rinci penyerangan itu. Dan malam harinya diadakan perundingan di markas BKR/API di Kaujon Kalimati, Serang.

Sebagai gambaran, markas kempetai di kota Serang terletak di sebelah selatan gedung kabupaten, terdiri dari tiga gedung besar (sekarang dipergunakan sebagai Kantor Angkatan 45, kantor kepolisian dan kantor Dokabu), dikelilingi oleh pohon-pohon karet besar. Sekitar halaman, dipasangi kawat berduri tiga lapis dan pagar bambu gelondongan sehingga tidak tembus oleh peluru karaben. Pintu masuk ke halaman markas hanya satu yang juga dihalang barikade kawat berduri. Di beranda depan gedung yang tengah, ditempatkan satu regu tentara penjaga bersenjata brengun, standgun dan karabeyn mitalyur. Di samping kiri pintu masuk ditempatkan dua mitalyur yang dilindungi tumpukan karung pasir. Walaupun pasukan Jepang yang ada di markas itu hanya sekitar 3 kompi, namun mereka memiliki persenjataan lengkap, di samping kuatnya pertahanan.

Pertemuan para pemimpin ini berlangsung sampai pukul 3.00 dini hari, yang akhirnya diputuskan bahwa penyerbuan ke markas kempetai akan dimulai setelah adzan subuh, yaitu sekitar pukul 4.30, hari Kamis, tanggal 10 Oktober 1945. Untuk mengadakan serbuan ke markas kempetai itu, disusunlah siasat dan strategi penyerangan sebagai berikut: Medan pertempuran (palagan) dibagi menjadi 4 sektor yang masing-masing sektor dipimpin oleh pemuda-pemuda bekas syudanco PETA; Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah memimpin sektor timur (samping kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat (samping kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan (belakang). Sedangkan pasukan rakyat dari luar kota Serang akan menempati daerah-daerah di sekitar markas kempetai, yaitu di Kampung Dalung, Benggala, Kaujon dan Lontar. Penyerangan akan dimulai pada hari Kamis, 10 Oktober 1945/ 5 Zulkaidah 1365 H pukul 05.00 pagi; kode penyerangan akan dimulai dengan pemadaman listrik di seluruh kota Serang dan diawali dengan tembakan keiki kanju (karaben steyer berkaki dua) oleh Iski. Komando penyerangan dipegang oleh Ali Amangku.

Pada hari Rabu, 9 Oktober 1945, beberapa pemimpin pejuang rakyat yang bersenjata dari seluruh peloksok Banten berdatangan ke markas BKR di kota Serang untuk meminta intruksi penyerangan; diperkirakan massa rakyat dari beberapa daerah itu akan masuk kota pada malam harinya. Penampungan para pejuang disiapkan; massa dari daerah Pandeglang dan Lebak ditampung di Kampung Benggala, dari daerah Cilegon, Merak dan Anyer ditampung di Lontar dan Kaloran, sedang massa yang datang dari Tangerang ditampung di sekitar daerah Pegantungan. Ibu-ibu dan para remaja putri yang bertempat tinggal di kampung-kampung sekitar markas kempetai, spontan ikut menyibukkan diri bergotong-royong membantu dengan menyediakan makanan dan minuman bagi para pejuang. Di lokasi-lokasi strategis dan yang dianggap aman di sekitar lokasi penyerbuan, mereka membuat beberapa dapur umum. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya pun tidak ketinggalan menyumbangkan bahan-bahan makanan ke dapur umum. Penduduk yang tinggal di sekitar markas kempetai diperintahkan untuk segera menyingkir dan mengosongkan rumahnya demi keselamatan mereka.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00 tanggal 9 Oktober 1945, berturut-turut datang rombongan BKR serta pemuda-pemuda dari Kecamatan Ciomas, Pabuaran, Baros, Cilegon, Padarincang, Ciruas, Mancak, Taktakan, dan Kramatwatu. Mereka semua berkumpul di asrama Sekolah Guru di jalan Pamelan, Serang, yang sementara menjadi markas BKR (sekarang markas Korem 064 Maulana Yusuf).

Sekitar pukul 4.30 pagi hari tanggal 10 Oktober 1945, seluruh pasukan telah siap di tempat yang direncanakan. Pasukan yang berada di sektor utara dipimpin oleh Iski menjadi barisan penyerang. Pasukan ini mengambil lokasi mulai dari perempatan Jalan Kantin (sekarang Jalan Juhdi) sampai ke halaman gedung kabupaten Serang. Pasukan ini terdiri dari anggota pilihan yang dipersenjatai dengan karaben Jepang, pistol dan granat tangan. Satu-satunya keiki kanju yang dimiliki oleh BKR, ditempatkan pada sektor ini dan dipegang oleh bekas budanco Juhdi, sebagai pendamping Iski. Sedangkan barisan-barisan pada ketiga sektor lainnya berfungsi sebagai barisan pengepung dan penghadang musuh. Sektor barat mulai dari halaman gedung karesidenan dan di sepanjang Kali Banten dipimpin oleh eks shodanco Nunung Bakri dengan membawahi pasukan rakyat. Sektor selatan di sekitar kampung Benggala, sepanjang sisi selatan alun-alun sampai ke batas Rumah Sakit Serang, dipimpin oleh eks shodanco Salim Nonong; sektor barat dan selatan ini terdiri dari massa rakyat yang kebanyakan bersenjatakan golok dan bambu runcing. Sedangkan barisan yang ada di sektor timur dipimpin oleh bekas syudancho Zainal Falah dengan anggotanya terdiri dari para pemuda eks bintara PETA, tetapi mereka pun hanya memiliki beberapa pucuk senjata api.

Setelah terdengar suara adzan subuh dari beberapa masjid, dan disusul dengan pemadaman lampu-lampu di dalam kota, terdengar tembakan kode penyerangan oleh Iski, maka dimulailah penyerangan ke markas kempetai. Dengan pekikan takbir "Allahu Akbar", para pejuang sebelah timur mulai menembaki markas kempetai sambil maju menyerang. Dari arah markas kempetai terdengar pula tembakan beruntun yang mengarah ke posisi penyerang, maka terjadilah tembak-menembak berbalasan antara dua kubu yang berlawanan, dalam suasana gelap. Karena pertahanan tentara Jepang yang begitu kuat, maka sulitlah bagi para pejuang Banten untuk merebut markas kempetai ini. Sampai pukul 6.30 pertempuran berlangsung tanpa henti, dan pihak pejuang belum berhasil mendekati gedung sasaran; karena di sekitar markas kempetai itu dikelilingi lapangan terbuka -- sehingga apabila ada penyerang, dengan mudah tentara Jepang menembakinya baik yang berusaha menyeberangi jembatan atau yang merayap dari arah belakang gedung. Sekitar pukul 07.00, tersiar berita bahwa pemuda Nunung Bakri, pemimpin sektor barat dan Juhdi dari sektor selatan telah gugur. Mendengar berita gugurnya dua pemuda itu para pejuang baik dari BKR, lasykar rakyat dan pemuda, semakin beringas dan menjadi "nekad", mereka hendak menyerang kubu musuh dari jarak dekat, walau harus menebusnya dengan nyawa. Beberapa pemuda yang tidak tahan menahan amarahnya lalu meninggalkan pasukan dan menyerang markas kempetai dalam jarak dekat. Namun belum mencapai jarak 100 meter, peluru kempetai yang bersembunyi di atas pohon di sekitar markas menewaskan mereka. Di antara yang meninggal ini adalah Kudsi dan Thalib, pemuda dari laskar Ciomas. Sampai sekitar pukul 10 pagi pertempuran belum mereda.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, para sesepuh BKR: K.H. Ahmad Khatib, K.H. Sam'un, H. Abdullah dan K.H. Djunaedi segera memanggil para pemimpin pejuang. Dinasehatkan bahwa berjihad yang dikehendaki Islam bukanlah berarti bunuh diri, tapi mati sahid dalam membela agama dan negara dengan strategi yang sewajarnya. Sebaliknya cara berperang yang akan mereka lakukan itu cenderung kepada bunuh diri yang mengorbankan ratusan bahkan ribuan pemuda dengan sia-sia. Oleh karena itu musuh cukup dikurung terus sampai kehabisan perbekalan, nanti baru diserbu. Mendengar nasehat itu, para pemimpin pejuang berjanji akan menuruti nasehat itu dan baru akan mengadakan penyerangan apabila dikomandokan oleh Ali Amangku sebagai Komandan Pertempuran.

Sampai menjelang sore, tembak-menembak tidak terdengar lagi dari kedua belah pihak, pasukan rakyat tetap berjaga-jaga dan mengepung markas kempetai. Dalam pada itu. K.H. Ahmad Khatib mengajak para pemimpin penyerangan itu untuk bersama-sama mengerjakan shalat berjamaah di Masjid Agung Serang.

Sekitar pukul 20.00, tiba-tiba terdengar tembakan gencar dari markas kempetai yang diarahkan ke Kampung Benggala. Setengah jam kemudian, tembakan pun berhenti, sehingga suasana menjadi hening sampai matahari terbit. Hal ini menimbulkan kecurigaan para pemuda, sehingga beberapa di antara mereka mengintip keadaan di dalam markas kempetai yang ternyata telah kosong, kecuali dua mayat tentara Jepang. Rupanya tembakan gencar yang dilakukan pada malam itu merupakan pengalihperhatian pasukan rakyat dari gerakan pasukan Jepang yang sebenarnya, yaitu meloloskan diri. Dengan menggunakan 4 buah truk mereka meloloskan diri dari belakang, jalan Rumah Sakit, ke Jakarta dari arah timur dengan melalui jalan Cijawa, Cipete dan Ciceri. Sedangkan kedua mayat Jepang yang tertinggal itu diduga adalah tentara yang mendapat tugas melakukan tembakan perlindungan, yang kemudian (mungkin) melakukan harakiri (bunuh diri) setelah merasa tugasnya berhasil baik. Jumlah korban dalam pertempuran ini dari pihak kempetai hanya 2 orang dan dari pihak republik 5 orang (Panitia ..., Naskah; Djadjamihardja, Wawancara, 11 Nopember 1992).

Tiga hari setelah pertempuran perebutan markas kempetai, yaitu pada tanggal 14 Oktober 1945 K.H. Syam'un membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai Divisi I Komandemen Jawa Barat dengan nama Divisi 1000/I (dibaca: divisi seribu satu); sesuai dengan maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945.



B. PENGHIANATAN DEWAN RAKYAT

Setelah penyerbuan ke markas kempetai pada tanggal 10 Oktober 1945, situasi kota kembali dalam keadaan semula. Pemerintahan sipil sudah berjalan seperti apa adanya. Namun, sebenarnya, sejak K.H.Ahmad Khatib resmi menjabat sebagai Residen Banten, tanggal 19 September 1945, dan mengangkat kembali pejabat lama -- semasa pemerintahan Hindia Belanda ataupun Jepang -- menjadi aparat-aparat di bawahnya, terjadi intrik-intrik ketidakpuasan di antara sebagian pemuda pergerakan. Para pemuda itu menginginkan adanya "pembaharuan total", dan mencap "orang-orang lama" ini sebagai "warisan kolonial", "penghianat bangsa", menak dan, bahkan dikhawatirkan nanti membantu Belanda yang akan datang dengan pasukan Sekutu. Tuntutan beberapa pemuda ini oleh K.H. Ahmad Khatib tidak dikabulkan, dengan alasan bahwa untuk menangani administrasi pemerintahan daerah haruslah dipilih orang yang cakap dan biasa menanganinya; karena pemerintahan Republik Indonesia masih muda maka sangat sulit mencari "orang baru" yang memenuhi syarat. Rasa ketidak-puasan "kelompok muda" ini akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok lain untuk maksud yang lain pula.

Pada tanggal 27 Oktober, sekitar jam 10.00 pagi, saat itu di karesidenan sedang berkumpul K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Abdulhadi, datang serombongan orang yang menamakan dirinya “Dewan Rakyat”. Dengan ancaman kasar mereka memaksa Residen Banten untuk membatalkan surat pengangkatan aparat-aparat pemerintahan di seluruh karesidenan Banten, dan menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat. Pembatalan dan pengangkatan pejabat-pejabat baru itu harus dibacakan di depan umum besok tanggal 28 Oktober 1945. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan melenyapkan orang-orang "yang tidak disenangi rakyat".

Karena sergapan yang tiba-tiba dan ancaman pembunuhan kepada semua yang hadir, K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Abdulhadi tidak dapat berbuat selain "terpaksa" menyetujui keinginan Dewan Rakyat. Keesokan harinya, tanggal 28 Oktober 1945 sekitar jam 10.00 pagi, di hadapan beberapa pejabat yang sudah berkumpul di halaman karesidenan, diumumkan bahwa mulai hari itu kekuasaan di seluruh Karesidenan Banten diambil alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin Ce Mamat,? walaupun jabatan resmi Residen dan Bupati Serang masih tetap.

Residen Banten, K.H. Ahmad Khatib, "terpaksa" menyusun aparat pemerintah daerah yang "disesuaikan" dengan tuntutan Dewan Rakyat, sebagai berikut: K.H. Ahmad Khatib tetap sebagai Residen; K.H. Syam'un diangkat sebagai Bupati Serang, merangkap sebagai pimpinan tertinggi TKR; Haji Hilman (bukan R. Hilman Djajadiningrat) diangkat sebagai Bupati Pandeglang dan Haji Hasan sebagai Bupati Lebak. Untuk jabatan wedana, camat bahkan sampai lurah diserahkan kepada kaum ulama. Di samping itu juga dibentuk semacam "Majlis Ulama" yang berfungsi sebagai badan penasehat residen dan juga mengawasi residen. Anggota majlis ini terdiri dari 40 orang kiyai yang berpengaruh di karesidenan Banten.[9]. Komite Nasional Indonesia (KNI) dibubarkan.

Perubahan personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan Rakyat itu akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Hal ini terutama disebabkan oleh aksi teror yang dilakukan oleh "pasukan" Dewan Rakyat, yang menamakan diri Laskar Gulkut atau Laskar Gutgut[10]. Mereka sering berkeliaran di peloksok-peloksok kota Serang menakut-nakuti penduduk, bahkan tidak jarang merampas, merampok harta dan membunuh penduduk, terutama keluarga pamongpraja banyak yang "di-56".[11]

Setelah paginya berhasil "merebut kekuasaan" residen di hadapan rakyat, pada malam harinya Laskar Gulkut menculik Bupati Raden Hilman Djajadiningrat, yang kemudian dipenjarakan di Serang -- penculikan ini dilakukan oleh anggota TKR yang menyeberang ke Dewan Rakyat. Kejadian penculikan ini baru diketahui keesokan harinya oleh K.H. Syam'un dan Ali Amangku, yang selanjutnya mereka mengumpulkan anggota TKR untuk merencanakan penyerbuan ke markas Dewan Rakyat di daerah Ciomas. Rencana penyerbuan ini pun mendapat dukungan dari Oscar Kusumadiningrat, kepala polisi Serang, yang kemudian menyerahkan senjata-senjata yang ada di pasukannya kepada pimpinan TKR. Pertimbangan Oscar, di samping untuk membantu TKR juga supaya senjata-senjata itu jangan jatuh ke tangan Dewan Rakyat; menurut firasatnya, dia pribadi, termasuk "orang asing" yang berasal dari Priyangan dan juga "warisan kolonial", karena ia pernah menjadi aparat pemerintahan Hindia Belanda dan pendudukan Jepang, karenanya Laskar gulkut tentu akan datang ke tempatnya, sekaligus merampas senjata-senjata itu. Ternyata tidak lama kemudian, Oscar Kusumadiningrat pun didatangi oleh lima pemuda laskar gulkut dan diculik dari rumahnya, yang kemudian ditahan di penjara Serang bersama dengan R. Hilman; sehari kemudian dia dibawa ke daerah Ciomas, yang di sana pun telah ditangkap Entol Ternaya, Kepala Kejaksaan Serang. Sementara itu, Wakil Residen Zulkarnain Surja Kertalegawa, yang juga mempunyai latar belakang sama dengan Oscar, lebih dahulu melarikan diri ke Sukabumi. Memang dalam aksi Dewan Rakyat itu beberapa pejabat di daerah seperti Camat Baros, Mantri Polisi Pabuaran dibunuh Laskar Gulkut, terutama yang perlakuannya kejam terhadap rakyat.

Melihat adanya penculikan-penculikan pejabat dan perampokan itu, Residen K.H. Ahmad Khatib mengintruksikan kepada Bupati Serang K.H. Sam'un untuk secepatnya menumpas gerakan Dewan Rakyat ini. K.H. Syam'un segera memanggil Ali Amangku dan Tb. Kaking, sebagai pimpinan TKR, untuk menyusun siasat penumpasan. Langkah pertama adalah membebaskan R. Hilman Djajadiningrat dari penjara Serang. Usaha ini tidak mengalami banyak kesulitan, karena penjagaan laskar gulkut di tempat itu tidak begitu kuat. Langkah berikutnya adalah menyerang "markas besar" Dewan Rakyat di daerah Ciomas.

Sewaktu pasukan TKR bergerak dari Serang ke Ciomas, di perjalanan mendapat perlawanan dari Laskar Gulkut yang meng-akibatkan dua orang anggota TKR terbunuh. Tapi akhirnya, pasukan TKR dapat mendesak "pasukan jawara" sampai di dekat kantor Kawedanaan Ciomas (Nasution, 1970: 125). Rupanya kantor Kawedanaan Ciomas itu dijadikan markas dan juga pertahanan Dewan Rakyat. Ali Amangku memerintahkan pasukan TKR untuk mengepung kantor kawedanaan itu sambil menyerang dengan tembakan-tembakan gencar. Dengan demikian pertahanan Laskar Gulkut dapat dipatahkan, dan sebagian besar anggotanya dapat ditawan sedangkan sisanya dapat melarikan diri ke daerah Lebak. Di halaman belakang kantor kawedanaan itu pasukan TKR juga dapat membebaskan Oscar Kusumaningrat dan Entol Ternaya, yang terikat di sebuah pohon besar.

Pada tanggal 9 Desember 1945, Presiden Soekarno beserta wakilnya, Mohamad Hatta, datang mengadakan peninjauan ke Serang guna melihat situasi politik di Karesidenan Banten. Dalam pidatonya di alun-alun Serang, presiden merasa prihatin dengan adanya aksi Dewan Rakyat dan menghimbau agar fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara/ pemerintahan setempat, seperti Komite Nasional Indonesia (KNI) diaktifkan kembali. Selanjutnya, presiden juga mengintruksikan agar Dewan Rakyat dibubarkan. Ali Amangku, yang ditugaskan menjaga keamanan kedua tokoh besar itu, harus mengerahkan seluruh anggota TKR untuk menjaga tempat- tempat yang akan dikunjungi presiden; karena adanya khabar bahwa Dewan Rakyat akan menculik presiden dan wakilnya.

Penculikan kedua tokoh nasional ini tidak pernah terlaksana, tetapi di tempat lain, waktu itu, bekas Bupati Lebak, R. Hardjawinangun, diculik oleh beberapa orang pemuda tak dikenal. Di jambatan Cisiih, R. Hardjawinangun diturunkan dengan tangan terikat, lalu ditembak mati. Mayatnya dilemparkan ke dalam sungai, yang dua hari kemudian barulah mayatnya ditemukan penduduk setempat (Sin Po, 11 Desember 1945).

Pada bulan itu juga, tanpa diduga, markas polisi di Serang diserbu oleh pasukan "tak dikenal", yang kemudian diketahui simpatisan gerakan Dewan Rakyat dari Ciomas. Namun serbuan itu dapat diatasi oleh TKR; bahkan akhirnya pasukan TKR Serang berhasil menghancurkan markas Dewan Rakyat di Rangkasbitung. Tachril, ketua Dewan Rakyat di Rangkasbitung, dapat ditangkap.



C. DARI TKR SAMPAI TNI

Pada tanggal 22 Agustus 1945, dalam sidang PPKI ke-3 diputuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan tersebut kemudian disusul pula dengan seruan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1945 yang ditujukan kepada para pemuda Indonesia, antara lain berbunyi:

"... Saya harap kepada kamu sekalian hai prajurit PETA, Heiho dan Pelaut-pelaut serta pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu masuklah dan bekerjalah dalam Badan-badan Keamanan Rakyat. Percayalah nanti akan datang saatnya kamu dipanggil menjadi Prajurit Tentara Kebangsaan Indonesia. . . ." (Disjarah, 1973: 93).

Sejalan dengan seruan itu, maka dalam waktu yang tidak begitu lama seluruh lapisan pemuda segera membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai barisan perjuangan bersenjata. Karena kepentingan perjuangan, BKR yang berfungsi sebagai unsur pertahanan keamanan nasional, pemerintah memandang perlu untuk menjadikan BKR sebagai satuan tentara yang teratur, bersifat nasional dan langsung di bawah komando Kementerian Pertahanan. Maka pada tanggal 5 Oktober 1945 keluarlah Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Maklumat tersebut disusul dengan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945 sbb:

"Ini hari telah dilakukan pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah dekat Jakarta dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik Indonesia.

Pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda dari Barisan Pelopor telah menyiapkan tenaganya, agar setiap waktu dapat membangkitkan tenaganya untuk menentang kembalinya penjajah Belanda.

Pemuda-pemuda dan Tentara Kebangsaan ini segera diperlengkapi dengan persenjataan agar dengan demikian dapat mempertahankan keamanan umum." (Soeara Asia, 12 September 1945).

Maka disusunlah personalia Kementrian Keamanan Rakyat sebagai berikut (Surjohadiprodjo, 1971:13):

Menteri Keamanan Rakyat : Mr. Amir Syarifuddin

Pimpinan Tertinggi TKR : Supriyadi

Kepala Staf Umum TKR : Urip Sumoharjo



Selanjutnya dibentuk divisi-divisi, yaitu di Sumatra (6 divisi) dan di Jawa (10 divisi). Kesepuluh divisi di Jawa itu terbagi dalam 3 komandeman, yang masing-masing dikomandani seorang Mayor Jenderal. Divisi-divisi itu adalah:

Divisi I : di Serang pimpinan Kolonel K.H. Syam'un.

Divisi II : di Cirebon pimpinan Kolonel Asikin.

Divisi III : di Tasikmalaya pimpinan Kolonel Aruji Kartawinata.

Divisi IV : meliputi wilayah Pekalongan timur, Semarang dan Pati pimpinan Mayjen. G.P.H. Jatikusumo dengan komando di Salatiga.

Divisi V : meliputi wilayah Banyumas dan Kedu pimpinan Kolonel Sudirman.

Divisi VI : di Kediri pimpinan Mayjen. Sudiro, wilayahnya meliputi Kediri dan Madiun.

Divisi VII : di Selorejo Mojokerto pimpinan Mayjen Yonosewoyo.

Divisi VIII : di Malang pimpinan Mayjen Imam Suja'i.

Divisi IX : di Yogyakarta pimpinan Mayjen Sudarsono.

Divisi X : di Surakarta pimpinan Kolonel Sutarto.



Karena ex. sjodancho Supriadi, yang diangkat sebagai Pimpinan Tertinggi TKR, tidak pernah tampil menduduki posnya,[12] maka pada tanggal 12 Nopember 1945 diadakan rapat yang dihadiri pimpinan senior TKR di Markas Tinggi (MT) TKR di Yogjakarta. Hasil keputusan rapat dikuatkan dengan Keputusan Pemerintah, yaitu dengan dilantiknya Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal dan Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal, tanggal 18 Desember 1945 (TKR, No. 1/1, 10 Januari 1946).



1. Berdirinya Divisi 1000/I Banten

Dalam pada itu, di Serang, empat hari setelah penyerbuan ke markas tentara Jepang, pada tanggal 14 Oktober 1945 diadakan rapat pembentukan Divisi I Komandemen Jawa Barat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempat di markas BKR di Jalan Palem, Serang. Pembentukan Divisi I Komandemen Jawa Barat itu didasarkan surat Komandan Komandemen Jawa Barat, Mayor Jendral Abdulkadir, yang dibawa oleh Mayor Soeroto Koento, 12 Oktober 1945. Dalam surat perintah Komandemen Jawa Barat itu juga dilampirkan Maklumat Pemerintah No. 5 (tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat) dan Pola Organisasi Devisi.

Dalam rapat pimpinan BKR itu diputuskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi I Banten, sebagai berikut:

1) Divisi I Komandemen I Jawa Barat yang dibentuk itu diberi nama Divisi 1000/I (dibaca: divisi seribu satu) dengan wilayah meliputi seluruh Karesidenan Banten dan sebelah barat Sungai Cisadane, dari pantai utara sampai pantai laut selatan.

2) Personalia Slagorde Organik Divisi 1000/I, sbb.:

Panglima Divisi :Kolonel K.H. Syam'un

Ajudan :Mayor Sukahardja

Kepala Bagian Penyelidik :Mayor Salim Satiadinata[13]

Kepala Bagian Siasat :Mayor Tb. Syamsuddin Nur[14]

Kepala Bagian Organisasi :Mayor Kusendidjaja.

Kepala Bagian Perbekalan :Mayor Hamdani.



Pada permulaan terbentuknya Divisi 1000/I terdiri dari 2 resimen infantri yang masing-masing berkekuatan 3 batalyon. Setiap batalyon membawahi 4 kompi dan setiap kompi mempunyai 4 seksi; tiap seksi membawahi 4 regu yang masing-masing regu terdiri dari 14 orang prajurit. Resimen-resimen itu adalah (Panitia ..., Naskah):

1) Resimen I di Serang dengan kekuatan 4 batalyon:

Batalyon I : di Serang, di bawah pimpinan Mayor H. Abdullah

Batalyon II : di Cilegon, di bawah pimpinan Mayor Samanhudi

Batalyon III : di Serang di bawah pimpinan Mayor Tb. Syamsudin Nur.

Batalyon IV : di Menes di bawah pimpinan Mayor Tb. Soehadisastra. Batalyon ini masih meru-pakan Batalyon persiapan.

2) Resimen II di Rangkasbitung dengan kekuatan 2 batalyon:

Batalyon I : di Rangkasbitung, di bawah pimpinan Mayor Doedoeng Padmasoekarta.

Batalyon II : di Cikadu, Rangkasbitung, di bawah pimpinan Kapten Ukon. Batalyon ini pun masih merupakan batalyon persiapan.

Selanjutnya, dibentuk lagi Batalyon III di Pandeglang, di bawah pimpinan Mayor Soleman.



Susunan personalia Resimen I Divisi 1000/I, yang berkedudukan di Serang:

Komandan Resimen : Letkol K.H. Djoenaedi

Kepala Staf : Mayor Tb. Soehadisastra

Kepala Bag. Organisasi : Kapten Edi Soemantri

Kepala Bag. 1 (Penyelidik) : Letnan I Ending

Kepala Bag. Sekretariat : Letnan II Tituler Hidayat

Kepala Bag. Persenjataan : Letnan I Memed Hadi

Kepala Bag. Perlengkapan : Kapten M. Sani

Kepala Dinas Kesehatan : Mayor Dr. Soeparsono



Batalyon I/Serang

Komandan Batalyon : Mayor K.H. Abdullah

Komandan Kompi I : Kapten Tb. Syapei

Komandan Kompi II : Kapten Tb. Muh. Hasan Sutawinangun

Komandan Kompi III : Kapten Widagdo

Komandan Kompi IV : Kapten O. Soepaat



Batalyon II/Cilegon

Komandan Batalyon : Mayor Samanhudi

Komandan Kompi I : Kapten Soenarjo, kemudian diganti oleh Kapten Chaerani Soma.

Komandan Kompi II : Kapten Bachri

Komandan Kompi III : Kapten Abdullah Isa

Komandan Kompi IV : Kapten Sapta



Batalyon III/Serang

Komandan Batalyon : Mayor Tb. Syamsuddin Nur (eks. Kepala Bag. Siasat Divisi 1000/I)

Komandan Kompi I : Kapten Sofyan Syafe'i

Komandan Kompi II : Kapten Soenarjo

Komandan Kompi III : Kapten Saleh Syamsuddin

Komandan Kompi IV : Kapten Memed Hadi



Personalia slagorde organik Resimen II Divisi 1000/I, yang kedudukan di Rangkasbitung:

Komandan Resimen : Letkol Djajaroekmantara

Kepala Staf : Mayor Sutisna Mihardja

Kepala Bag. Organisasi : Kapten Oeka Soerjadi

Kepala Bag. Sekretariat : Letnan Kombali Nitipradja

Kepala Bag. Keuangan : Letnan I Atmadikusuma

Kepala Bag. Persenjataan : Kapten Supardi

Kepala Bag. Perlengkapan : Letnan I Entjon

Kepala Dinas Kesehatan : Letkol. Dr. Satrio



Batalyon I/Rangkasbitung

Komandan Batalyon : Mayor Doedoeng Padmasoe-karta

Kepala Staf : Kapten Chalik Hasan

Komandan Kompi I : Kapten Endang Danoeat-madja

Komandan Kompi II : Kapten Basyah Soetman

Komandan Kompi III : Kapten Ahim

Komandan Kompi IV : Kapten Soepardi



Batalyon II/Rangkasbitung

Komandan Batalyon : Mayor Djatmika

Komandan Kompi I : -

Komandan Kompi II : -

Komandan Kompi III : -

Komandan Kompi IV : -

Komando Keamanan Kota : Kapten Rahajoe

Komandan Yon Cadangan : Kapten Oekon



Batalyon III/Pandeglang

Komandan Batalyon : Mayor Soleman

Komandan Kompi I : Kapten Abdulhalim

Komandan Kompi II : Letnan I M.A. Hasan

Komandan Kompi III : Letnan I Djakasoendang

Komandan Kompi IV : -





Kecuali pasukan Infantri juga terdapat Pasukan Khusus yang terdiri dari eks yugekitai dipimpin oleh eks syodanco yugeki Ali Amangku. Pasukan yang terakhir ini merupakan pasukan pengintai langsung di bawah komando Divisi -- pasukan pengintai inilah yang kemudian menjadi Polisi Tentara Batalyon XI Divisi 1000/I yang susunan personalianya sebagai berikut:

Panglima Batalyon : Mayor Ali Amangku

Ajudan : Letnan II Tb. Mardjuki (kemudian diganti oleh Letnan Muda R. Soebagyo).

Kepala Staf : Kapten Rd. Achmad (kemudian diganti oleh Kapten B.A. Hariri).

Sekretariat : Letnan I Achmad Bahar (kemudian diganti Letnan II Enggung)

Tata Usaha : Letnan II Soma Atmadja

Perlengkapan : Letnan Muda Mansyur

Persenjataan : Kapten Tb. Arsyad

Kepolisian/Intel : Letnan I Tb. Sanusi

Polisi Kampemen : Letnan II Sukimin



Kompi I Batalyon XI di Serang, merupakan Kompi Markas.

Komandan Kompi : Kapten M. Isky

Kepala Staf : Letnan Muda Reksowongso

Kepolisian : -

Sekretariat : -

Komandan Seksi I : Letnan II Syadeli kemudian diganti Letnan II M. Djanawi.

Komandan Seksi II : Letnan II Ahdi Syadeli

Komandan Seksi III : Letnan II Moh. Zen

Komandan Seksi IV : Letnan II Nafeng

Kompi II, berkedudukan di Pandeglang.

Komandan Kompi : Kapten Umar Sarie

Kepala Staf : Letnan II Tb. Suwandi

Kepolisian : -

Sekretariat : -

Komandan Seksi I : Letnan II Ayip Rughby

Komandan Seksi II : Letnan II Tb. Chaerkusuma

Komandan Seksi III : Letnan Muda Hikmat



Kompi III berkedudukan di Rangkasbitung.

Komandan Kompi : Kapten Rd. Achmad (kemudian diganti Kapten Tb. Arsyad).

Kepala Staf : Letnan II Soewarno

Kepolisian : Letnan Muda Chudori

Sekretariat : Letnan Muda S.M. Ali

Komandan Seksi I : Letnan II Djadjamihardja

Komandan Seksi II : Letnan II Moh. Ishak , kemudian diganti oleh Letnan Muda Ito K.

Komandan Seksi III : Letnan II Saryono

Komandan Seksi IV : Letnan Muda Syayuti



Kompi IV; yang berkedudukan di Balaraja; kompi ini merupakan kompi mobile khususnya dalam penguasaan teritorial, kompi yang selalu di Sektor I, yang terdiri dari:

Komandan Kompi : Kapten R. Mahdi Winatapradja

Kepala Staf : Letnan II Tb. Mardjuki

Kepolisian : Letnan Muda M. Djidun

Sekretariat : Letnan Muda Herman

Seksi khusus di Curug : Letnan I Siswoyo

Komandan Seksi I : Serma M. Mursyid

Komandan Seksi II : Serma Karmail

Komandan Seksi III : Serma Chaidir

Komandan Seksi IV : Serma Tb. Subli



Bersamaan dengan pembentukan Divisi 1000/I, Letnan Kolonel Harsono mendapat tugas khusus dari Markas Tertinggi TKR untuk membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC), yang kemudian menjadi Fild Paraparation (FP). Sebagai samaran dibentuklah Badan Pemuda Pendidikan Militer Rakyat (BPPMR) pada tanggal 20 Oktober 1945 di Rangkasbitung. Tugas pokok dari satuan khusus ini adalah: (1) menyelidiki medan palagan, (2) menyelidiki formasi dan kekuatan musuh, (3) melakukan sabotase, (4) mengadakan perang urat syaraf, (5) spionase dan contra-spionase, dan (6) lain-lain gerakan rahasia untuk kepentingan militer.

Di samping tugas pokok yang disebutkan di atas, juga mengadakan pendidikan Kader Bintara Teritorial guna menghadapi perang semesta jangka panjang. Para pendidik dan instruktur pelatihan itu diambil dari eks anggota yugekitai. Badan ini disebut juga Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) yang berada langsung di bawah Komando Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, yang tidak harus diketahui oleh Staf Divisi, kecuali Komandan Divisi.

Susunan personalia badan rahasia itu adalah:

Komandan : Letkol Harsono

Kepala Staf : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Kabag. Administrasi : Kapten Kamaruzzaman

Personalia : Letnan II Halimi

Keuangan : Letnan II Nadelan

Kabag. Logistik : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Perlengkapan : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Pendidikan : Letnan II Soedibyo

Kutai I (Kompi I) : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Kumi I/I : M. Djadjamihardja

Kumi II/I : Sihabuddin

Kumi III/I : M. Djanawi

Kumi IV/I : Moh. Yusuf

Kutai II : Kapten Kamaruzzaman

Kumi I/II : Soekarman

Kumi II/II : Asnawi

Kumi III/II : Moh. Ishak

Kumi IV/II : Moh. Hasan.

Setiap Kumi (Regu) beranggotakan 10 siswa. Hasil pendidikan pertama menghasilkan 50 orang kader/bintara. Sebagian dari mereka mendapatkan pendidikan lanjutan di bidang intelejen di Pingit, Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis; dan sebagian lagi ditugaskan di Polisi Tentara (PT) Batalyon XI sebagai kader, dan sebagian lagi dikirim ke Pandeglang untuk mengikuti pendidikan periode ke-2.

Pendidikan keintelejenan ini di samping diselenggarakan di Rangkasbitung dan Pandeglang juga dibuka di Serang pendidikan militer khusus untuk putri di bawah pimpinan Letkol Harsono. Lulusan pendidikan ini disalurkan pada PMI Serang, staf polisi dan (nanti) Biro Perjuangan XXXV Banten (Panitia Sejarah Perjuangan Divisi 1000/I, Naskah).

Lima hari setelah terbentuknya Divisi 1000/I Banten, pada tanggal 19 Oktober 1945, BKR dari unsur armada dan tentara laut mengadakan rapat di Cimuncang, Serang, dipimpin oleh Gatot (sebagai ketua rapat) dan Samsudin (sebagai sekretaris rapat). Pada hari itu dibentuklah Pangkalan I Tentara Laut, disingkat Pangkalan I/TL[15]. Pangkalan I/TL ini (pada mulanya) hanya berkekuatan 4 batalyon Polisi Tentara Laut dan Armada Tentara Laut, yang bertugas sebagai tentara pertahanan dan keamanan pantai, mulai dari Mawuk sampai pantai Pelabuhan Ratu (yang panjang pantainya diperkirakan ±400 km); dengan pos pangkalan berada di Mawuk, Labuan, Bayah, Pelabuhan Ratu, Merak dan Pontang. Secara taktis, Pangkalan I Banten itu berada tetap di bawah komando Divisi 1000/I Banten (Panitia ..., Naskah).



Untuk melaksanakan tugas pengamanan pantai yang begitu luas, seharusnya, paling sedikit, diperlukan 6 batalyon Tentara Laut dan 1 detasemen Polisi Tentara Laut (PTL). Maka untuk memenuhi tuntutan tugas tersebut, diadakanlah pendaftaran bagi anggota TKR-Laut Pangkalan I Banten.



Bergabung dalam Divisi I Siliwangi

Pasukan NICA (Nederlands Indies Civil Administration) -- yang datang bersama dengan pasukan Sekutu -- banyak mengadakan teror, kekacauan, penculikan dan pembunuhan di beberapa daerah, terutama di ibukota negara, Jakarta. Dengan dalih "mengamankan" kerusuhan-kerusuhan yang ditimbul-kannya itu, pasukan NICA mengadakan serangan mendadak untuk menguasai kota. Kecurangan-kecurangan tentara NICA itu tidak begitu diperhatikan oleh tentara Inggris (sebagai tentara Sekutu), karena di samping jumlah personil yang kurang juga menganggap bahwa Belanda memang sudah disiapkan untuk menerima kembali Indonesia (Nasution, 1977: 30). Karena ketidakamanan di Jakarta ini maka pada tanggal 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden pindah ke Jogjakarta, dan kemudian dijadikan ibukota negara, demikian juga beberapa kementrian -- kecuali Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berkedudukan di Surakarta. Sedangkan Perdana Mentri Sutan Syahrir tetap di Jakarta.

Karena kepentingan Hankamnas yang mendesak, maka pada tanggal 7 Januari 1946 berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 2/S.D./1946, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dengan singkatan yang tidak berubah TKR. Tiga minggu kemudian, tanggal 25 Januari 1946, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang antara lain mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), sebagai satu-satunya organisasi militer negara. Pada tanggal yang sama, dimana TKR menjadi TRI, maka Tentara Laut (TL) pun berubah nama menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Dan pada hari pula dibentuk Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Pangkalan Udara Gorda.

Untuk tujuan efektivitas kerja, pada tanggal 23 Pebruari 1946 diadakan pengurangan divisi; Divisi yang semula 16, diperkecil menjadi 10; di Jawa - Madura 7 divisi dan di Sumatra 3 divisi, ditambah 3 brigade langsung di bawah Panglima Besar sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI (APRI). Mengikuti keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia (PT APRI), maka sejak tanggal 25 Mei 1946, susunan divisi Angkatan Darat adalah sebagai berikut:

Divisi I : bernama Siliwangi di Tasikmalaya di bawah pimpinan Mayjen A.H. Nasution.

Divisi II : bernama Sunan Gunungjati di Cirebon, di bawah pimpinan Mayjen Abdul Kadir.

Divisi III : bernama Diponegoro di Yogyakarta, di bawah pimpinan Mayjen Sudarsono.

Divisi IV : bernama Panembahan Senopati di Surapati, di bawah pimpinan Mayjen Sudiro.

Divisi V : bernama Ronggolawe di Mantingan, di bawah pimpinan Mayjen GPH. Jatikusumo.

Divisi VI : bernama Narotama di Kediri, di bawah pimpinan Mayjen Sungkono.

Divisi VII : bernama Suropati di Malang, di bawah pimpinan Mayjen Imam Suja'i.



Dengan penciutan organisasi TRI ini, Komandemen Jawa Barat, yang tadinya terdiri dari 3 divisi, dihapuskan dan dilebur menjadi 1 divisi, yang bernama Divisi Siliwangi -- terdiri dari 5 brigade -- yang berkedudukan di Tasikmalaya Karena itulah maka Divisi I Banten (Divisi 1000/I Banten) pada tanggal 25 Mei 1946, diubah menjadi sebuah Brigade dengan nama Brigade I Tirtayasa. Staf Komando Resimen I dan Resimen II dihapuskan, dan digabung menjadi 5 batalyon:

Balayon I : berkedudukan di Serang, dipimpin Mayor K.H. Abdullah

Batalyon II : berkedudukan di Cilegon, dipimpin Mayor Samanhudi

Batalyon III : berkedudukan di Serang, dipimpin Mayor Tb. Syamsudin Nur.

Batalyon IV : berkedudukan di Rangkasbitung, dipim-pin Mayor Doedoeng Padmasoekarta.

Batalyon V : berkedudukan di Pandeglang, dipimpin Mayor H. Djoenaedi.

Ada pun kesatuan-kesatuan lain yang taktis komando Brigade I Tirtayasa Divisi I Siliwangi yaitu: Pangkalan I ALRI, Pangkalan Udara AURI di Gorda dan Batalyon XI Polisi Tentara (walau pun secara administratif berada langsung di bawah Markas Besar Polisi Tentara (MBPT) (Panitia …, Naskah)[16].



Pembentukan Resimen Singandaru

Pada bulan Mei 1946 itu pula diputuskan bahwa badan perjuangan dan lasykar-lasykar bentukan partai-partai politik yang tidak mau bergabung kepada TRI diberi tempat dalam Biro Perjuangan, di bawah komando Kementrian Pertahanan -- saat itu Mr. Amir Syarifuddin.[17] Sesuai dengan Undang-undang Pertahanan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 19/1946, pada tanggal 27 Desember 1946 dibentuk Biro Perjuangan Daerah untuk wilayah Karesidenan Banten yang berkedudukan di Serang dengan nama Biro Perjuangan (BP) XXXV[18]. Biro Perjuangan ini dibentuk sebagai wadah persatuan bagi laskar-laskar perjuangan rakyat, seperti Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Lasykar Rakyat, Barisan Banteng, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pesindo, yang tadinya dibentuk oleh partai-partai politik (Notosusanto, 1985: 45). Adapun personalia pimpinan staf BP XXXV Banten adalah:

Kepala : Letkol Adi Soendjojo

Inspektorat : Kapten Abang Usman

Perlengkapan : Letnan I Asyhari

Humas : Letnan I Hasan Suleman

Sekretariat : Letnan I Tetuler Khusnun

Keuangan : Letnan II Tetuler M. Arif

Inspektorat Wanita : Sri Sahuli

Inspektorat Kab. Serang : Kapten Abang Usman

Inspektorat Kab. Pandeglang : Letnan II Suntara

Inspektorat Kab. Lebak : Letnan II Gozali

Inspektorat Kab. Tangerang : Letnan I Saleh Saisyam



Bekerjasama dengan Batalyon XI/GM/ Polisi Tentara, Penyelidik Militer Chusus (PMC), pamongpraja, pimpinan badan-badan kelasykaran, tokoh-tokoh masyarakat dan instansi lainnya maka hingga tanggal 17 Maret 1947 Biro Perjuangan XXXV (BP XXXV) berhasil membentuk Resimen dari kelasykaran yang dibinanya berkekuatan 3 batalyon. Resimen BP XXXV ini kemudian dinamai Resimen Singandaru, dengan susunan personalia sebagai berikut:

Komandan Resimen : Letkol Adi Sundjojo

Wkl. Komandan : Mayor Saleh Iskandar

Kepala Staf : Mayor Syamsudin Nur

Kabag. Organisasi : Letnan I Sufri Djamhari

Kabag. Perlengkapan : Letnan I Asmawi

Ajudan : Letnan Muda Zainal Arifin Billah



Komandan Batalyon I : Mayor Soleh Iskandar, bermar-kas di Nanggung, Jasinga

Komandan Batalyon II : Kapten Ayip Samin Salsufi, ber-markas di Serang

Komandan Batalyon III : Kapten Abdurahman Abdullah, bermarkas di Pandeglang.



Untuk menjadikan satunya kekuatan angkatan bersenjata RI, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang menyatakan pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan penyatuan dari TRI dan lasykar perjuangan rakyat. Pimpinan dipegang oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, dibantu oleh beberapa anggota yaitu Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, Laksamana Muda Nazir, Komandan Muda Udara S. Suryadharma, Ir. Sukirman, Djokosuyono dan Sutomo (ed. Sudirjo, 1985:65). Sejak itulah segala macam biro perjuangan bersenjata, baik yang berafiliasi kepada partai politik maupun bukan, dilebur ke dalam wadah TNI. Dan atas keputusan Panglima Divisi Siliwangi, pada akhir bulan Agustus 1947 Resimen Singandaru dimasukkan dalam Brigade Tirtayasa. Komandan Resimen Singandaru dan perwira stafnya berstatus Perwira Brigade Tirtayasa dan bertugas dalam Bagian V yang kemudian menjadi Perwira Staf Territorial Brigade Tirtayasa (Panitia …, Naskah).



2. Terbentuknya ALRI di Banten

Sesuai dengan Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 dan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945, yaitu tentang dibentuknya satu badan ketentaraan nasional, maka BKR-Laut punyang terdiri dari bekas anggota Heiho Kaigun, Koninklijke Marine (KM), Jawa Unko Kaisha, Akabutsi Butai, pemuda-pemuda yang bekerja pada jawatan pelayaran dan lain-lain bergabung dalam TKR-Laut. Di Serang, pada tanggal 19 Oktober 1945 dibentuklah Pangkalan I Tentara Laut dengan markas komando di Cimuncang, Serang (sekarang dipakai Dinas Kesehatan Tentara /DKT). Tugas Pangkalan I/Tentara Laut (TL) adalah sebagai tentara pertahanan dan keamanan pantai mulai dari Mauk sampai ke Pelabuhan Ratu, sepanjang ±400 km. Untuk itu paling sedikit diperlukan 6 batalyon Tentara Laut dan 1 detasemen Polisi Tentara Laut (PTL) yang berkedudukan di Merak, Labuan, Bayah, Pelabuhan Ratu, Mauk dan Pontang.



Susunan Personalia Pangkalan I/TL

Panglima Pangkalan I : Kolonel Gatot

Wakil Panglima : Letkol. JH. Tombing

Sekretaris : Letnan Laut (Letnl) Udjer

Personalia : Letnl. Sutoyo

Keuangan : SK. Effendi, Letnl.

Peralatan : Letnl. Rusli Miskat

Komandan Armada : Mayor Laut Arga

Kompi Markas : Letnan I M. Samsudin

Batalyon I Merak : Kapten Atuk Mansur

Kompi Bojonegara : Letnan Sujadi

Batalyon II/Labuan : Kapten Said Sutawijaya

Batalyon III/Mauk : Kapten Ajirahmat

Kompi Pontang : Letnan Atori.



Pada bulan Nopember 1945 diadakan rapat di Markas TKR-Laut Serang yang dihadiri pula oleh utusan Markas Besar TKR Yogyakarta. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengangkat Kolonel Misbah sebagai pimpinan TKR-Laut Banten menggantikan Kolonel Gatot[19]. Susunan organisasi TKR-Laut Banten sebagai berikut:

Komandan TKR Laut : Kolonel Misbah

Wakil Komandan : Mayor Tombing.

Bagian Keuangan : Letnan II Abas Syamsudin

Bagian Persenjataan : Letnan I Jatmiko

Bagian Perwira Siasat : Letnan I Ngaliman

Bagian Perkapalan : Letnan I Ahmad Hadi

Bagian Polisi Tentara Laut (PTL) :

Letnan I Sukarno Wirejo.

Komandan Pasukan Batalion : Letnan Karso

Kompi Anyer : Letnan Sepong

Kompi Merak : Letnan Bunsaman

Kompi Serang : (belum ditemukan data outentik)



TKR-Laut Banten dalam waktu singkat telah memiliki pasukan sebanyak dua batalyon, yaitu Batalyon Serang di bawah pimpinan Kapten Margolan dan Batalyon Malingping di bawah pimpinan Letnan I Darmo Sudiskam. Di Malimping, Darmo Sudiskam berhasil membentuk satu batalyon pasukan yang terdiri dari 450 personil. Pasukan ini ditempatkan di Binuangeun, Malimping, Cihara dan Bayah (Cikotok), sebagai pertahanan di Banten Selatan, dengan susunan organisasi sebagai berikut:

Komandan Batalyon : Letnan I Darmo Sudiskam

Wakil Komandan : Letnan II Wibowo Sumantri

Bagian Tata Usaha : Sersan Toha

Bagian Intenden : Kopral Ahmad Ilyas

Dalam masa berlangsungnya pembinaan dan penyusunan organisasi TKR Laut Banten, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Yogyakarta mengeluarkan ketetapan bahwa kekuatan diperbesar dari Batalyon menjadi Devisi. Berdasarkan keputusan bulan September 1945 tentang pembentukan Devisi ini, maka seluruh pasukan TKR-Laut di Pulau Jawa dibagi atas tiga devisi. Devisi I meliputi Jawa Barat di bawah pimpinan Laksamana III Adam yang berkedudukan di Cirebon. Devisi I ini terdiri atas tiga Resimen yaitu :

1) Resimen I berpangkalan di Serang

2) Resimen II berpangkalan di Karawang

3) Resimen III berpangkalan di Cirebon

Dengan adanya ketentuan itu, maka TKR-Laut Banten di Serang menjadi Resimen I/ Divisi I yang terdiri dari dua batalyon yaitu:

1) Batalyon I di Serang di bawah pimpinan Margolan,

2) Batalyon II di Malimping dibawah pimpinan Darmo Sudiskam.

Jumlah personil kedua Batalyon TKR Laut Banten seluruhnya 800 orang dengan perincian 350 orang anggota Batalyon I termasuk anggota Staf Resimen dan 450 orang anggota Batalyon II.



Pengembangan organisasi dari Batalyon menjadi Resimen menyebabkan tugas TKR-Laut di bidang pertahanan dan keamanan semakin bertambah luas dan memerlukan tambahan personil. Kekurangan personil itu diatasi dengan mengadakan penerimaan anggota baru. Dengan bertambahnya personil itu, maka kekuatan pasukan TKR-Laut Banten menjadi lima Batalyon, yang masing-masing beranggotakan antara 350 sampai 450 orang. Kelima Batalyon itu adalah :

Batalyon I : di Merak, dipimpinan Letnan I Sutoyo Condrowinoto

Batalyon II : di Pontang, dipimpinan Abas Syamsudin

Batalyon III : di Labuan, dipimpin oleh Mayor Rachmat.

Batalyon IV : di Malimping, dipimpin Letnan I Darmo Sudiskam -- kemudian diganti oleh Letnan Wibowo sejak bulan Juni 1946.

Batalyon V : di Pelabuhan Ratu, dipimpin Sersan Mayor Samsudin.

Dengan bertambah besarnya jumlah anggota, maka sistem pengamanan di wilayah pantai diperkuat, yaitu dengan menambah pos-pos penjagaan pantai; sebelumnya, pos penjagaan pantai ini hanya ada di lima tempat, yaitu: Merak, Pontang, Labuhan dan Anyer. Kemudian dibuka pos-pos baru yaitu di Pelabuhan Ratu, Karangantu, Sangiang, Bojonegara, Mauk, Citeurep dan Pandeglang.

Diperkuatnya daerah pantai ini karena kapal selam dan kapal peronda pantai Belanda semakin giat mengadakan pengintaian di Selat Sunda. Tiap-tiap batalyon menempatkan anggota pasukannya pada pada pos-pos keamanan pantai yang menjadi wilayah operasinya. Pasukan yang ditempatkan pasa tiap pos dibagi dalam kompi, seksi, peleton, regu dan juga pembagian sampai 3 atau 5 orang anggota. Pos pengintaian didirikan hampir sepanjang pantai Banten mulai dari Mauk sampai Pelabuhan Ratu.

Walaupun dalam hal personil bertambah, namun persenjataannya sangatlah memprihatinkan. Persenjataan di tiap-tiap Kompi hanya terdiri dari 5 pucuk senjata ringan dan selebihnya senjata tajam, setiap Peleton hanya mempunyai 2 pucuk senjata ringan dan senjata tajam, sedangkan Regu hanya memiki senjata tajam. Batalyon Malimping hanya mempunyai 11 pucuk senjata karabejn dan tiga bayonet yang diperoleh dari front Mauk (Letkol. Purn. Darmo Sudiskam, Wawancara). Karena kurangnya persenjataan ini maka Komandan Devisi I, Laksamana III Adam, di Cirebon, memberikan bantuan berupa 1 pucuk bren, 1 pucuk senjata 12,7 dan 2 pucuk karabejn (Letkol Ngaliman, Wawancara).

Masih dalam usaha pengadaan senjata, pimpinan TKR Laut Banten mengirim utusan,yang terdiri dari Letnan Ngaliman, Moh Karsowidjaja, Udjer, Dulman dan Sersan Mayor Samsudin, ke MBU Yogyakarta dan MBT Lawang untuk meminta biaya pasukan, perlengkapan dan senjata. Utusan ini berhasil memperoleh uang dari MBU Yogyakarta dan sepucuk senjata anti tank (volstein) kaliber 20 mm dengan satu peti pelurunya dari MBT (Letkol (Pur) I C. Souhaka, Wawancara, Ciawi, 16 Januari 1979)[20]. Kapal yang dimiliki TKR-laut Banten hanya ada dua, yaitu Pulo Merak I dan Pulo Merak II, yang keduanya berukuran 20/25 ton. Kedua kapal ini sebenarnya milik Jawatan Pelabuhan, dalam keadaan rusak, kemudian diambil alih dan diperbaiki oleh TKR. Setelah Mayor Achmad Hadi menyelesaikan pendidikan Latihan Opsir di Serang, maka dibentuk Armada baru dengan susunan sebagai berikut :

Kepala Bagian Armada : Mayor Achmad Hadi.

Bagian Perkapalan : Kapten S. Abdullah.

Staf Perkapalan : -

Mualim I Bagian Dek : Letnan Muda Tb. Hari Achmadi

Perwira Kepala Mesin : Letnan II Sukiran

Operasionalnya, bagian Armada berada di bawah Batalyon I Merak. Tugas utama dari kapal Pulo Merak I adalah melakukan penyeberangan anggota Angkatan Laut, Angkatan Darat dan Pegawai pemerintah. Sedangkan kegiatan Kapal Pulo Merak II adalah mengangkut pasukan dan suplai bagi yang bertugas di pos pulau-pulau di sekitar Banten.



Sekolah Kelautan di Serang

Keputusan pimpinan MBU TKR Laut di bidang penambahan personil pasukan juga harus diimbangi dengan pengadaan pendidikan profesional kelautan. Pendidikan kelautan tersebut dilaksanakan di beberapa kota yaitu Tegal, Banten, Lampung, Malang, Tanjung Balai dan Pariaman.

Di Banten, pendidikan kelautan ini dilaksanakan di Serang dengan Kolonel Misbah sebagai penanggung jawabnya; sesuai dengan instruksi Panglima Devisi I TKR Laut Jawa Barat, Laksamana III Adam. Maka disusunlah Staf Pendidikan Latihan Opsir TKR Laut (LO TKRL) di Serang sebagai berikut: -

Komandan Latihan Opsir : Mayor Kun Djelani

Wakil : Letnan Margolan

Ajudan Sekretaris : Letnan I Djatmiko

Instruktur pengajar :

Pelatih Teori Ketentaraan : Ajudan Ahmad Kletskop

Pelatih Kemiliteran : Aji Rachmat.

Pelatih Pelayaran Praktis : Letnan Djatmiko

Ilmu Navigasi Cosmograf : Mayor Kun Djelani

Ilmu Kemasyarakatan : Letnan Margolan

Bahasa Inggris : Letnan Supardi

Ilmu Praktek Senjata : Letnan Supardi

Organisasi Angkatan Laut : Mayor Kun Djelani

Tiup Trompet, Fluit Anggar: instruktur gabungan.

Persyaratan untuk menjadi siswa Latihan Opsir TKR Laut (LO TKRL) di Serang ini adalah para pemuda yang mempunyai pendidikan paling tinggi siswa MULO (SMP) dan terendah lulusan HIS (SD) (Tb. Hari Achmad, Wawancara, Cikirai, Pandenglang, 20 Mei 1980). Pendidikan dilaksanakan di gedung bekas Asisten Residen Banten yang terletak di Cipare (sekarang Dinas Kesehatan Tentara) Serang, berlangsung selama tiga bulan (1 Januari - 31 Maret 1946). Siswa yang mengikuti pendidikan dibagi dalam dua tingkat kepangkatan disesuaikan dengan pendidikan umum yang dimilikinya, yaitu Cadet I dengan pangkat calon Letnan dan Cadet II dengan pangkat calon Sersan Mayor dan Sersan.

Pada malam penutupan Latihan Opsir ALRI[21] di Serang, yang dihadiri oleh pimpinan pemerintahan sipil dan militer, dilakukan pemberian tanda lulus kepada setiap siswa. Siswa yang lulus dengan nilai terbaik diangkat sebagai Letnan Muda dan yang nilainya lebih rendah diangkat sebagi Sersan Mayor atau Sersan (Laks. Purn. Atung Sudibyo, Wawancara, Jakarta, 25 Maret 1975). Selanjutnya, siswa latihan Opsir ALRI di Serang yang mempunyai nilai terbaik diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Tegal. Dalam kesempatan itu dikirimkan 5 orang siswa, tetapi yang lulus testing hanya satu orang yaitu Atung Sudibyo.

Pendidikan latihan Opsir TKR Laut Serang hanya berlangsung satu angkatan saja. Hal ini disebabkan karena Mayor Kun Djelani dan tenaga pengajar lainnya, pada bulan April 1946, dimutasikan untuk mengajar di Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Tegal.

Organisasi TKR Laut yang baru tumbuh itu lebih menitik beratkan kepada pengembangan pasukan tempur dan belum berorientasi ke laut. Hal itu terjadi karena terdapat dua Markas Tinggi Laut yaitu di Lawang dan Yogyakarta. Pimpinan TKR Laut Lawang lebih menitik beratkan pada pengembangan pasukan darat (korps marinir), sedangkan pimpinan TKR Laut Lawang lebih menitik beratkan pada pengembangan armada. Untuk menyatukan perbedaan pendapat ini, pada tanggal 24 Desember 1945 diadakan pertemuan antara kedua pimpinan TKR Laut di Yogyakarta, yang dihadiri oleh Wakil Presiden dan Panglima Besar Sudirman. Karena tidak ada kesepakatan, maka pada bulan Januari 1946 Pimpinan Markas Tinggi Angkatan Laut kembali mengadakan pertemuan di Yogyakarta untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas melakukan perbaikan dalam organisasi TKR Laut. Diputuskan nama TKR Laut diganti menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 7 Januari 1946 (Berdjoeang, II/65, 20 Maret 1946).

Komisi tersebut mengusulkan kepada pemerintah tentang susunan organisasi baru Angkatan Laut Republik Indonesia, dengan Atmaji terpilih sebagai pimpinan umum ALRI dan M. Nazir menjadi Staf Umum (Kedaoelatan Rakjat, 30 Januari 1946).

Pada tanggal 16 Pebruari 1946 dikeluarkan penetapan Presiden tentang pengangkatan Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia yaitu :

a. Pimpinan Tertinggi : Jendral Sudirman

Pembantu Kepala Staf Umum : Laksamana Muda M. Nazir

Pembantu Kepala Staf Umum : Laksamana Muda Pardi dan Laksamana Muda Gunadi.

b. Mengangkat Atmaji sebagai Kepala Urusan Angkatan Laut pada Kementerian Pertahanan (Soeloeh Merdeka, 11 Pebruari 1946).

Atmaji di samping menjabat Kepala Urusan Angkatan Laut pada Kementerian Pertahanan juga merangkap sebagai Pimpinan Umum di Markas Besar Tinggi, Lawang. Kedua markas tinggi itu masih tetap mengembangkan apa yang menjadi rencana mereka semula, walaupun keduanya dilandasi semangat dan kesadaran yang sama yaitu tekad perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sementara dualisme pimpinan dalam lingkungan Angkatan Laut Republik Indonesia belum teratasi, keadaan negara bertambah genting; dimana Belanda mendatangkan pasukan yang baru untuk memperkuat pertahanannya, untuk menggantikan kedudukan pasukan Inggris di Indonesia.

Pasukan Belanda melancarkan serangan-serangan ke wilayah Republik untuk memperluas wilayah pendudukannya, sehingga timbullah pertempuran-pertempuran seperti di Medan Area, Palembang, Padang Area, Surabaya serta Jakarta dan sekitarnya. Untuk meng-antisipasi hal itu, pada tanggal 17 Juni 1946 Presiden Republik Indonesia menyatakan negara dalam keadaan bahaya perang. Pada tanggal 26 Juni 1946 dibentuk Dewan Militer yang diketuai oleh Presiden, sebagai anggota adalah Panglima Besar, Pimpinan Umum Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Republik Indonesia, Kepala Staf Angkatan Laut dan Direktur Jenderal Kementerian Pertahanan (Nasution, 1977: 327).

Pada tanggal 26 Juni 1946 Presiden mengangkat Laksamana Muda M. Nazir menjadi Pimpinan Umum Angkatan Laut Republik Indonesia, dengan tugas penting mengatasi dualisme yang terjadi dalam tubuh ALRI (Nasution, 1977: 328). Untuk tujuan itu diadakan pendekatan pada pimpinan ALRI di Lawang dan Yogyakarta, yang selanjutnya pada tanggal 19 Juli 1946 dilangsungkan Komperensi Angkatan Laut Republik Indonesia di Lawang, yang hasilnya menetapkan antara lain (Disjarah, 1973: 173 dan 183-188):

1) Nama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diresmikan, sehingga nama Tentara Republik Indonesia Laut atau Marine Keamanan dan sebagainya tidak berlaku lagi.

2) Markas Tertinggi ALRI berkedudukan di Lawang dan Sub Markas Tertinggi berkedudukan di Yogyakarta.

3) Pembentukan 12 pangkalan ALRI di Pulau Jawa.

Pimpinan ALRI MBU Yogyakarta yang lebih menekankan fungsi ALRI sebagai alat negara yang bertugas di laut, sehingga dalam pembinaan organisasi banyak meniru Koninglijke Mariane (KM) dan mengutamakan pembinaan kebaharian melalui pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, maka tiap-tiap Resimen ALRI di Pulau Jawa diresmikan menjadi pangkalan, yang merupakan eselon kedua dalam struktur organisasi ALRI.

Karenanya, Resimen ALRI Banten ditetapkan menjadi Pangkalan I; dan statusnya -- sebelumnya berada di bawah Cirebon -- langsung di bawah Markas Besar ALRI di Yogyakarta. Resimen ALRI Banten berubah menjadi Pangkalan ALRI Banten, dengan struktur organisasi sebagai berikut (Disjarah, 1977: 164)[22]:

1) Unsur Staf :

Panglima Pangkalan : Kolonel Misbah

Wakil Panglima : Mayor Tombing

Kepala Administrasi : Kapten Darmo Sudiskam

Kepala Personalia : Letnan I Sutoyo Condro-winoto

Kepala Keuangan/Intenden : Mayor Ashari

Kepala Operasi : Mayor Hasan Acang

Perwira Siasat : Letnan I Ngaliman

Kepala Persenjataan : Letnan I Supardi

2) Unsur Tempur

Komandan Pasukan : Kapten Margolan

Dan Yon II Pontang : Kapten Atuk Mansur

Dan Yon III Labuan : Letnan I Rahmat

Dan Yon IV Malimping : Letnan I Wibowo Sumanto

Dan Yon V Pelab. Ratu : Letnan M. Samsudin

3) Armada/Perkapalan dan Establismen

Komandan : Mayor Ahmad Hadi

Ka Bagian Elektro/Teknik : Letnan II Maskalir dibantu oleh Letnan Muda Mursid dan Letnan Muda Agus Rubayah serta Letnan Muda Basuni.

Bagian Perkapalan : Kapten S. Abdullah.

Persenjataan Armada : Serma M. Sulaiman dibantu oleh Sersan Nurdin dan Sersan Intan Iskandar

4) Unsur Pembinaan

Pendidikan : Letnan I Jatmiko

Pembantu : Letnan II Aji Rahmat dan Ajudan Ahmad

Kesehatan : Manteri Kesehatan Emon, dibantu oleh Zuster Suhaima.



Markas Pangkalan I Banten terletak di gedung bekas Asisten Residen di Cipare, Serang, dengan jumlah personil lebih dari 3000 orang, yang sebagian besar terdiri dari anggota Pasukan Tempur/Corp Marinir (CM); tetapi jumlah pelaut sangat terbatas, hanya terdiri dari para eks perwira Koninglijke Mariene (KM), Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulusan Latihan Opsir (LO) TKR Laut Serang.

Personil Pangkalan I tersebar di lima kota pantai dan sebagian kecil di markas Serang. Tiap-tiap batalyon menye-barkan anggotanya untuk mengadakan pengawasan pantai dan pulau-pulau yang ada di sekitar perairan Banten. Setiap ada hal yang mencurigakan dengan segera mereka memberi laporan kepada pos terdekat yang kemudian diteruskan ke Markas Pangkalan di Serang. Kegiatan Pangkalan di samping melakukan tugas pengawasan, juga untuk bagian perkapalan bertugas mengoperasikan kapal Pulo Merak I dan Pulo Merak II.

Menjelang akhir tahun 1946 kegiatan operasi laut dari kapal-kapal perang Belanda di Selat Sunda semakin meningkat, sehingga kegiatan kapal Pulo Merak I dalam melakukan penyeberangan dihentikan, karena khawatir diserang patroli Belanda. Tetapi akhirnya Pulo Merak I jatuh juga ke tangan Belanda, menjelang akhir tahun 1947. Usaha penyelamatan kapal oleh pasukan Letnan II Tb. Hari Ahmad -- memerintahkan anggotanya untuk melepaskan kran pipa air agar kapal bisa tenggelam -- tidak berhasil karena kapal Belanda yang bernomor lambung B. 251 sudah hampir merapat ke Kapal Pulo Merak I. Kapal Pulo Merak I kemudian diseret oleh kapal Belanda keluar dari pelabuhan Merak. Ketika pasukan bantuan dari Batalyon I Merak datang, kapal Belanda tersebut telah berada di tengah laut bergabung dengan kapal Belanda yang lain (Tb. Hari Ahmad, Wawancara).

Di samping menjaga pantai -- secara bergiliran antara anggota Corp Marinir dan Pasukan Tempur Laut -- dan mengadakan latihan, juga ikut dalam operasi tempur ke front Mauk sebelum dan sesudah Aksi Militer Belanda I. Selain itu Pangkalan I Banten pun mengadakan kerja sama dengan Pangkalan I Lampung; juga mempunyai gagasan supaya Pos ALRI di Pelabuhan Ratu dikembangkan dan ditingkatkan menjadi Pangkalan ALRI XIII di bawah pimpinan Kapten Saleh, karena sulitnya hubungan antara pos-pos pengintai di pantai Selatan dengan Markas di Serang. Untuk mewujudkan gagasan ini, Kolonel Misbah, Panglima Pangkalan I Banten, setelah mengadakan inspeksi ke pelabuhan Ratu kemudian mengirimkan utusan ke Yogyakarta untuk meminta pengesahan dari Markas Besar ALRI di Yogyakarta. Karena persetujuan dari Markas Besar ALRI lama tidak kunjung datang, maka Kolonel Misbah pergi ke Yogyakarta.

Begitu lamanya Kolonel Misbah meninggalkan Markas Pangkalan, sehingga perkembangan Pangkalan I ALRI Banten menjadi terganggu. Hal ini disebabkan timbulnya perpecahan di kalangan Perwira Staf. Keadaan itu menimbulkan kekacauan dalam organisasi dan garis komando, sehinggga pada awal tahun 1947 Mayor Ashari perwira keuangan mengambil alih pimpinan, yang disetujui dan didukung oleh Perwira Staf lainnya. Kejadian di Serang ini segera dilaporkan oleh Mayor Tobing, Wakil Panglima Pangkalan I Banten, kepada Kolonel Misbah di Pelabuhan Ratu dan ke MBU ALRI di Yogyakarta.[23] Kolonel Misbah berhasil mengatasi kemelut dan kembali memegang pimpinan di Pangkalan I Banten. Untuk menghindari timbulnya masalah baru dalam organisasi, Mayor Ashari diberi tugas untuk mengurus keuangan dan perlengkapan ALRI ke Markas Besar Yogyakarta. Sejak pimpinan berada kembali di tangan Kolonel Misbah dengan dukungan dari para Perwira Staf, maka disiplin kerja berhasil ditegakkan kembali

Pada awal kemerdekaan, masalah paling sulit diatasi adalah masalah keuangan dan perlengkapan personil ALRI Banten, karena memang dukungan dari pemerintah daerah dan Markas Besar tidak mencukupi. Untuk mengatasi hal ini, terpaksa Kolonel Misbah sering mengadakan perjalanan dinas ke daerah lain untuk mencari dukungan keuangan dan perlengkapan; misalnya ke Tegal, Garut, dan Tasikmalaya. Dari Tegal diperoleh bantuan berupa beberapa pucuk senjata (antara lain 12,7 dan karaben), kain (blaco), sepatu dan gula. Selama Kolonel Misbah ke luar kota, pimpinan sementara dipegang oleh Mayor Hasan Acang. Kekosongan pimpinan ini menimbulkan kekompakan kerja tidak seperti semula; perasaan saling curiga mencurigai antara Perwira Staf dan Komandan Batalyon tumbuh dengan subur, yang berkembang ke arah terbentuknya sistem kelompok.

Dalam pada itu untuk mengatasi keruwetan yang sedang berkembang dalam organisasi ALRI, diadakan pertemuan di Yogyakarta pada bulan Januari 1947 yang dihadiri oleh pimpinan MBU Yogyakarta dan MBT Lawang. Pada pertemuan tanggal 21 Januari 1947 diputuskan untuk membentuk Dewan Angkatan Laut, yang tugasnya di samping mengawasi MBU ALRI juga mengawasi tugas Departemen Pertahanan ALRI dalam menyusun suatu rencana reorganisasi yang dapat memenuhi aspirasi anggota ALRI (Disjarah, 1977: 175).

Dewan Angkatan Laut memutuskan untuk mengurangi 12 pangkalan Angkatan Laut yang sudah ada menjadi 3 pangkalan. Berdasarkan keputusan itu Panglima ABRI Laksamana Muda M. Nazir, pada bulan Pebruari 1947, menginstruksi agar para Panglima Pangkalan melaksanakan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan organisasi.[24]

Perubahan itu adalah sebagai berikut :

1) Probolinggo menjadi Pangkalan I: gabungan Pangkalan VII, Pangkalan IX Probolinggo, dan Pangkalan X Banyuwangi.

2) Cilacap menjadi Pangkalan II.

3) Cirebon menjadi pangkalan III: gabungan Pangkalan I Banten, Pangkalan II Karawang, Pangkalan III Cirebon dan Pangkalan IV Tegal.



Instruksi Panglima ALRI tersebut mengubah kembali Pangkalan I Banten menjadi Sub Pangkalan yang berada di bawah Pangkalan III Cirebon. Perubahan itu tidak mempengaruhi struktur organisasi, yang terjadi hanya penyesuaian organisasi dengan bentuk baru dan pergeseran personalia serta memindahkan markas dari Serang ke Cilegon, dengan tujuan agar dekat dengan pasukan dan laut. Di samping itu, Pasukan Corp Marinir (CM) berada dalam satu komando Komandan Panglima ALRI. Sedangkan organisasi Bagian Armada Perkapalan di bawah pimpinan Mayor Ahmad Hadi diperbantukan ke Lampung untuk mengembangkan organisasi Armada di bawah pimpinan Letnan I Hotma Harahap.

Dengan demikian organisasi ALRI Banten pada pertengahan tahun 1947 adalah sebagai berikut :

Komandan Panglima : Kolonel Misbah

Wakil Komandan : Kapten Margolan

Bagian Tata Usaha : Letnan I Darmo Sudiskam dan M. Ujer

Bagian Personalia : Kapten Sutowo Condrowinoto

Bagian Keuangan : Letnan I Kairupan

Bagian Perbekalan/Suplay : Letnan I Supomo

Bagian Pendidikan : Letnan I Jatmiko



Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Aksi Militer ke-I. Maka pada tanggal 28 Juli 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan No. 97-A-47, tentang Pembentukan Pucuk Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia (PP. ALRI). Dalam organisasi ALRI, PP. ALRI adalah suatu organisasi pusat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang mempunyai tanggung jawab penuh baik secara taktis operasi, organisasi maupun administrasi. Pimpinan yang duduk dalam organisasi Pucuk Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia adalah terdiri dari tokoh pimpinan Lawang dan Yogyakarta, dengan tujuan untuk menghilangkan dualisme dalam Pimpinan ALRI.



D. PERANG MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK

Dengan masuknya tentara Sekutu yang diwakili oleh Inggris ke Indonesia, masuk pulalah tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Badan Urusan Sipil Hindia Belanda -- yang direncanakan akan menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris, dipimpin oleh Van Mooks dan Van der Plas -- pada tanggal 29 September 1945. Pasukan Sekutu yang ditugaskan untuk melucuti semua tentara Jepang di Asia Tenggara hanya tersedia lebih kurang 8 atau 9 divisi. Dan yang ke Indonesia terdiri dari 2 divisi, yaitu divisi 23 dan 26, untuk Jawa dan Sumatra. Sehingga untuk menduduki beberapa pelabuhan penting seperti: Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung) hanya dikirim 1 brigade saja, dipimpin oleh Jendral Christison. Bahkan untuk pendaratan di Semarang dibentuk suatu pasukan darurat yang diketuai oleh Brigadir Artileri (Nasution, 1982: 72).

Barangkali hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa pasukan Inggris tidak begitu memperhatikan perlakuan curang tentara NICA. Dengan ikut sertanya tentara NICA dalam pasukan Sekutu itu membuat hampir di semua kota yang didarati tentara Inggris selalu timbul kekacauan. Hal demikian memang disengaja oleh NICA, karena sebelum tentara Sekutu itu masuk ke suatu daerah, tentara KNIL, yang sudah dibebaskan dan dipersenjatai kembali, mengadakan teror dan kekacauan di dalam kota untuk memancing perlawanan dari pihak TKR dan barisan pejuang rakyat. Selanjutnya, setelah terjadi kekacauan-kekacauan pasukan Sekutu dan NICA tampil dengan ultimatum supaya TKR dan lasykar rakyat segera meninggalkan kota. Bahkan dengan adanya kekacauan itu -- NICA menuduh bahwa kekacauan itu dilakukan oleh tentara RI -- van Mook (yang tiba di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1945) mengusulkan kepada pimpinan pasukan Sekutu, Mountbatten dan Christison, untuk mengambil tindakan lebih keras kepada tentara Indonesia, yang katanya membuat rakyat menjadi sengsara (Sudirdjo, 1983: 315). Perlawanan rakyat di suatu daerah, dijadikan alasan oleh NICA untuk datang "mengamankan" daerah tersebut dan kemudian menguasainya.

Di kota Jakarta misalnya, hampir setiap hari pasukan KNIL mengadakan penculikan dan pembunuhan pada pemuda Indonesia; dan pasukan Sekutu tidak dapat berbuat banyak (Soeroyo, 1988:58 dan Sudirdjo, ed., 1985:39). Terjadilah kontak bersenjata dengan pemuda-pemuda Jakarta di daerah Jagamonyet, Senen, Tanah Tinggi, Capitol, Olimo Jatinegara, Tanah Abang, Kebayoran, dan sebagainya. Tetapi karena pihak NICA lebih kuat persenjataannya, dan pula di bawah lindungan pasukan Sekutu, maka pihak pemuda Jakarta tidak dapat berbuat banyak. Tentara NICA itu terang- terangan mengadakan teror terhadap penduduk, bahkan kemudian berhasil menembak dan melukai beberapa pemimpin negara, seperti Sutan Syahrir, Mohamad Roem, Mr. Amir Syarifuddin. Keadaan kota Jakarta yang kacau inilah yang mendorong dipindahkannya ibukota Republik Indonesia ke Jogjakarta pada tanggal 4 Januari 1946.

Pemuda-pemuda pejuang dari Jakarta, yang kemudian terdesak oleh serangan pasukan NICA, banyak yang pindah ke Tangerang. Dan, dengan alasan mengejar para perusuh, akhirnya pasukan NICA pun masuk ke kota Tangerang dan mengultimatum agar kota Tangerang dikosongkan; pejuang-pejuang harus mundur 4 km, sampai di sebelah barat Cisadane. Ultimatum Sekutu itu disebarkan melalui udara pada tanggal 14 Mei 1946, dengan disertai penjelasan bahwa pihak Pemerintah RI telah menyetujuinya. Tiga hari kemudian, 17 Mei 1946, pasukan NICA telah berhasil menduduki Serpong.

Dalam pada itu, untuk menghindari banyaknya korban rakyat, TRI Resimen 40 Divisi II Tangerang atas perintah komandan Divisi II, diintruksikan supaya segera meninggalkan kota Tangerang tanpa mengadakan perlawanan kepada tentara Sekutu. Sedangkan pemerintahan sipil Tangerang dipindahkan ke Balaraja, selanjutnya Balaraja dijadikan Ibukota Kabupaten Tangerang. Dengan mundurnya TRI dari kota Tangerang, maka dengan leluasa pasukan Sekutu dan NICA pada tanggal 28 Mei 1946 sepenuhnya menguasai kota (Madiyah, t.t.: 60).



1. Peristiwa Makam Pahlawan Seribu

Mundurnya tentara Tangerang tanpa memberi perlawanan terhadap musuh mendapat ejekan dari kalangan rakyat pejuang Banten -- bahkan pernah mereka dikirimi bedak, cermin dan lipstik. Dan, karena Tangerang merupakan pintu gerbang untuk masuk ke daerah Banten, maka pada tanggal 23 Mei 1946 laskar rakyat dari Banten berkekuatan 400 orang bergerak menuju Tangerang, dengan maksud menahan musuh jangan sampai memasuki daerah Banten. Pasukan rakyat itu dipimpin oleh K.H. Ibrahim dari desa Sampeureum, Maja, bertujuan untuk menyerang markas NICA di Serpong, Tangerang. Karena keadaan kekuatan dan kelemahan pasukan NICA -- yang baru tiba di Serpong -- belum diketahui, dan juga diperkirakan mereka masih dalam keadaan siap tempur, maka komandan TRI Divisi 1000/I yang berada di perbatasan melarang adanya penyerangan tersebut. Namun didorong oleh semangat Laskar Rakyat dan kebencian mereka kepada penjajah, tanpa mengindahkan larangan itu, mereka tetap hendak melanjutnya rencana penyerbuan.

Di perjalanan, rombongan bertambah dengan pemuda-pemuda dari desa Maja, Cibubur dan Cipinang yang ikut bergabung. Sampai di Tenjo pasukan K.H. Ibrahim bergabung dengan pasukan dari Tenjo yang dipimpin K.H. Harun dengan kekuatan sekitar 300 orang. Kedua pasukan itu berjalan kaki menuju Parung Panjang dan menginap di sana. Tanggal 25 Mei 1946, rombongan sampai di kampung Karanggan, Kademangan. Malamnya, K.H. Ibrahim dan K.H. Harun berunding untuk mengatur penyerangan yang akan dilaksanakan besok, tanggal 26 Mei 1946. Disepakati bahwa dalam penyerangan itu pasukan K.H. Harun akan menyerang dari arah belakang, melalui jalan Rawabuntu terus ke Cilenggang; sedangkan pasukan K.H. Ibrahim akan menyerang langsung dari depan, melalui jalan raya Serpong.

Pada tanggal 26 Mei 1946 sesuai dengan rencana, kedua pasukan pejuang bergerak menuju sasaran. Jumlah laskar rakyat bertambah besar karena di sepanjang jalan yang dilalui banyak rakyat yang menggabungkan diri; di antaranya rakyat dari Sengkol yang dipimpin Jaro Tiking. Sepanjang jalan rombongan ini mengumandangkan takbir "Allahu Akbar" sambil meng-acung-acungkan senjata yang dibawanya berupa golok, kelewang, tombak, panah dan bambu runcing.

Di depan kubu pertahanan NICA, seorang serdadu NICA dengan membawa bendera putih didampingi dua orang serdadu bersenjata bren-gun, menyetop dan mendekati rombongan rakyat, dengan maksud hendak menanyakan tentang kedatangan laskar rakyat itu. Namun, tanpa dapat dikendalikan dibarengi dengan semangat kebencian, pihak rakyat terus maju bahkan kemudian membacok serdadu NICA pembawa bendera. Melihat keadaan tersebut, dua orang serdadu NICA lainnya segera menembak, disusul dengan tembakan gencar dibarengi lemparan granat dan mortir dari arah markas NICA "menyapu" barisan laskar rakyat. Maka bergelimpanganlah pasukan rakyat, tumpang-tindih. Seruan takbir akhirnya tidak terdengar lagi tersapu dentuman montir dan granat. Serangan ke markas NICA di Serpong itu gagal, dan korban yang gugur -- berikut mayat K.H. Ibrahim dan Jaro Tiking -- diperkirakan lebih dari 189 orang. Jenazah para pahlawan bangsa itu semuanya dikubur secara massal dalam tiga lobang besar; karena itulah makam para syuhada ini dinamai "Taman Makam Pahlawan Seribu" yang letaknya di Serpong (Panitia ..., Naskah ).



2. Serangan NICA ke Perbatasan Banten

Dalam pada itu di Serang, dengan dikuasainya kota Tangerang yang merupakan pintu masuk ke daerah Banten, Komandan Brigade I Tirtayasa, Kolonel K.H. Suam'un, segera mengintruksikan beberapa batalyon TRI untuk memperkuat pasukan di daerah perbatasan. Di antara pasukan yang dikirim itu adalah Batalyon II Mayor Samanhudi, yang dipimpin langsung oleh Martono, ajudan komandan batalyon II, berkekuatan 3 kompi, yang masing- masing ditempatkan: Kompi I Sunaryo di Sarakan, Kompi II Akhmad Bakhri di Cimone dan Kompi III Abdullah Isa di Jenggot. Di samping itu dikirim pula Polisi Tentara (PT) Batalyon XI/GM/ Banten dipimpin oleh Yusuf, dengan komandan-komandan kompinya: Haer Kusuma, Djajamihardja, Salim Nonong, Ayip Rughbi dan Sinting. Mereka ditempatkan di Kedaung Barat, Karangserang, Gaga-Rawakopi, Sepatan -- di mana gerakan operasinya sampai melintasi Cisadane: ke Sanggego, Kedaung Timur, Batuceper dan Bojongrenged. Di daerah Balaraja, ditempatkan batalyon yang dipimpin oleh Supaat; di jurusan Curug, Pasargenjer dan di Binong ditempatkan Kompi Subki; sedangkan di Cijantra ditempatkan Kompi Sanusi -- yang kedua-duanya dari PT Batalyon XI Banten.[25]

Serangan serdadu NICA ke Jatiuwung memaksa TRI mundur ke Cikupa. Pada tanggal 16 Juni 1946, dengan menggunakan senjata dan perlengkapan perang modern, NICA mengadakan serangan mendadak ke Curug, Mawuk dan Balaraja, sehingga terpaksa pasukan Resimen 40 Tangerang kembali mundur sampai ke daerah Cikande.

Untuk membantu pertahanan Resimen 40 Tangerang, Komandan Brigade I Tirtayasa Banten pada tanggal 18 Juni 1946 segera mengirimkan tambahan pasukan TRI dari Batalyon III yang dipimpin oleh Mayor Tb. Syamsudin Noor -- di samping pasukan Banten yang sudah berada di Tangerang: Batalyon I yang dipimpin oleh Mayor H. Abdullah dan wakilnya Kapten Supaat, Batalyon II dipimpin Mayor Samanhudi, bersama dengan Kesatuan-kesatuan Laskar dan Badan-badan Perjuangan yang dipimpin oleh Ayip Juhri dan Ayip Samim dari Hizbullah, Supri Jamhari dari Sabilillah dan Haji Jamra dari Laskar Rakyat. Batalyon III ini terdiri dari 4 kompi, yang masing-masing dipimpin oleh Kapten Sape'i Sofyan, Kapten Sunaryo, Kapten Saleh Jaisan, dan Kapten Memed Hadi (Madiah, t.t.: 72).

Penguasaan daerah Balaraja oleh serdadu NICA itu tidak berlangsung lama, karena setelah itu, mereka pun kembali ke pangkalannya di Tangerang. Pemerintahan sipil Tangerang kembali berfungsi dari Balaraja.

Dalam pada itu, dengan dikuasainya daerah Tangerang oleh pasukan Belanda, blokade ekonomi oleh Angkatan Laut Belanda semakin ketat. Sembilan bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari semakin sulit didapat. Dalam situasi tersebut, peran para pedagang, yang menyelundupkan bahan kebutuhan sehari-hari sangatlah membantu rakyat. Komunikasi dengan peme-rintahan propinsi, yang sementara di Tasikmalaya, dan, apalagi dengan pemerintah pusat di Jogyakarta, terputus sama sekali. Untuk itu, segala kebutuhan rakyat haruslah dipenuhi oleh rakyat di daerah itu sendiri. Bahkan dalam mengatasi masalah keuangan, pemerintahan Karesidenan Banten mengeluarkan uang sendiri, yang dikenal dengan ORIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Banten) yang dicetak di Serang. Tetapi karena uang ORIDAB itu begitu sederhana, maka mudah sekali dipalsukan. Pemalsu-pemalsu ORIDAB diketahui terdiri dari orang-orang Cina yang berdomisili di Tangerang dengan dukungan Belanda. Karenanya dengan mudah mereka memasukkan uang palsu tersebut ke daerah Banten melalui pos-pos penjagaan Belanda di perbatasan. Akibatnya, terjadilah inflasi, dan yang lebih parah lagi rakyat tidak menaruh kepercayaan terhadap nilai ORIDAB.

Untuk menghadapi situasi moneter tersebut, pasukan penjaga perbatasan yang dipimpin oleh Mayor R.R. Jaelani diperintahkan untuk mengatasi keadaan itu. Dibentuklah pasukan khusus yang ditugaskan untuk mempelajari kode-kode rahasia dari ORIDAB dan mengadakan penelitian uang di pasar-pasar. Sebelum pasar dibuka, para petugas ini memeriksa uang yang akan dibelanjakan, dan apabila diketahui bahwa uangnya palsu maka uang tersebut segera dimusnahkan. Di samping itu juga dilakukan pemeriksaan ketat terhadap orang-orang yang datang dari daerah pendudukan, dan dilakukan penangkapan terhadap orang yang diketahui menyelundupkan ORIDAB palsu. Dengan cara semacam itu, akhirnya sedikit demi sedikit inflasi ORIDAB dapat diatasi.

Hal yang sama juga dilakukan pada pengadaan persenjataan. Untuk memenuhi kebutuhan akan senjata perang itu, di samping dengan cara merampas dari tentara Belanda juga beberapa jenis senjata dibuat sendiri. Misalnya mortir 3 inci yang larasnya dibuat dari pipa bekas tiang listrik. Mortir istimewa itu diproduksi oleh Pabrik Minyak Mexolie di Rangkasbitung. Karena senjata mortir ini tidak memiliki peralatan pengontrol, maka dalam pemakaiannya beberapa kali terjadi pelurunya tidak terlontar, tapi meletus di dalam tabung. Selain mortir "Mexolie" juga dibuat bom tarik, ranjau darat dan granat bambu.

Dengan adanya Perjanjian Linggarjati, tanggal 11-15 Nopember 1946, maka pemerintahan Karesidenan Banten -- termasuk juga pertahanan keamanan -- meliputi 5 kabupaten: Serang, Pandeglang, Lebak (Rangkasbitung), Tangerang dan Bogor Barat. Selanjutnya, Komandan Brigade I Tirtayasa, Kolonel K.H. Syam'un, yang sebelumnya digantikan oleh Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala; selanjutnya diganti oleh Letnan Kolonel Dr. Eri Sudewo.



3. Palagan di Sepatan

Aksi militer Belanda ke-1 dimulai pada tanggal 20 Juli 1947. Hal itu dimulai dengan peran Dr. H.J. Van Mook yang mendapat kuasa penuh dari pemerintah Belanda untuk mengadakan Politioneel Actied dan mengambil segala sesuatu yang dipandang perlu. Maka lewat tengah malam, secara sepihak, Belanda telah menyerang dan menduduki gedung-gedung pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Kemudian, keesokan harinya tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan serangan ke wilayah RI dari segala jurusan; dari darat, laut dan udara. Pertahanan tentara RI di Jakarta Timur, Bekasi dan Tambun diserang secara besar-besaran. Selanjutnya Belanda menyerang kota-kota di Jawa Barat, sehingga Divisi Siliwangi kekuatannya terpecah-pecah dalam kesatuan kecil di beberapa daerah.

Pada hari itu pula, tanggal 21 Juli 1947, perwira muda Mayor R.E. Jaelani, komandan batalyon dan komandan sektor garis depan, mendapat perintah dari Komandan Brigade I Tirtayasa untuk mendahului menyerang Belanda di sektor Jakarta Barat dengan sasaran utama kota Tangerang dan sekitarnya. Di bawah komando Jaelani diperbantukan 3 kompi pasukan dari kesatuan lain, yaitu Kompi Umar Syarif dari kesatuan Polisi Tentara (PT), Kompi Garuda dipimpin Kapten Sabit, dan Kompi Pioner dipimpin Kapten Umar Dipokusumo.

Kompi Umar Syarif ditempatkan di Mawuk menduduki sayap kiri; Kompi Sabit ditempatkan di jalan raya sekitar COP Batalyon, menduduki sayap tengah; sedangkan Kompi Pioner diserahi menghancurkan bangunan-bangunan dan jembatan-jembatan strategis, di samping tugas tempur [26]. Penyerangan yang dipimpin oleh Jaelani sebagai komandan sektor dilaksanakan menjelang fajar. Walaupun pasukan penyerang ini tidak berhasil melintasi Sungai Cisadane, tetapi pertempuran ini berjalan lama hampir sepanjang hari di sekitar Sepatan, Cimone dan Karawaci.

Pihak Belanda mengerahkan senjata-senjata berat dengan dukungan pasukan infantri, kendaraan lapis baja dan tembakan dari udara. Dalam pertempuran terbuka yang tidak seimbang dalam persenjataan dan perlengkapan perangnya ini, pasukan Jaelani memberikan perlawanan gigih hingga petang hari. Baru menjelang malam, Jaelani memerintahkan pasukannya untuk kembali ke tempat semula.

Dalam pertempuran itu beberapa prajurit gugur dan luka-luka; bagi yang luka diteruskan ke rumah sakit darurat batalyon Cikande. Dan untuk menghindari serangan balasan secara besar-besaran dari NICA, pasukan Jaelani mengambil teknik bumi ha-ngus; dengan menghancurkan jalan dan jembatan-jembatan penghubung. (Panitia ..., Naskah).



BAB VI

MASA AWAL KEMERDEKAAN





Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1942 dan tiga hari kemudian di kota Nagasaki, membuat kaisar Jepang, Hirohito, terpaksa menyerah tanpa syarat dan mengakui kekalahannya dalam Perang Dunia II, pada tanggal 14 Agustus 1945. Berita mengenai penyerahan Jepang ini segera menyebar ke seluruh dunia. Tetapi berita ini rupanya sengaja diperlambat penyiarannya bagi daerah pendudukan Jepang. Walau demikian, berita kekalahan dan bertekuk-lututnya Jepang atas Sekutu itu pun segera diketahui oleh pegawai kantor berita Jepang Domei, di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 1945, yang kemudian menyampaikannya kepada pimpinan pergerakan. Mendengar berita tersebut para pemuda mengambil inisiatif, mendesak para tokoh masyarakat supaya secepatnya merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang, sebelum Indonesia menjadi pampasan perang pihak Jepang kepada Sekutu. Ketika berita besar ini disampaikan oleh beberapa wartawan Indonesia kepada pemimpin Jawa Hoo-kookai, mereka tidak percaya bahwa Jepang akan menyerah begitu saja. Keadaan inilah yang menyebabkan para pemuda -- antara lain Khaerul Saleh, Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dll. -- terpaksa "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengas Dengklok untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia[1]. Karena ketidak-percayaan tentang menyerahnya Jepang dan "kehati-hatian" kedua pemimpin besar pergerakan itu, barulah dua hari kemudian, pada hari Jum'at, 17 Agustus 1945 jam 4.00 menjelang sahur, dengan disaksikan oleh Sukarni, Khairul Saleh, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sudiro, BM. Diah, Sayuti Melik dan Semaun Bakri, naskah proklamasi kemerdekaan ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia di Orange Nassau-boulevard, Jakarta, rumah Laksamana Maeda. Dan pada pukul 10.00 WIB Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dari jalan Pegangsaan Timur 56, tempat kediaman Bung Karno, dengan disaksikan oleh beribu-ribu masyarakat Jakarta (Malik, 1975: 66). Berita proklamasi kemerdekaan ini pun berhasil diselundupkan untuk disiarkan ke seluruh dunia melalui kantor berita Domei dan Hosho Kyoku (RRI sekarang).

Pada sidang pertama tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan: (1) mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara RI, (2) mengangkat/ menetapkan Ir. Sukarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden, dan (3) menetapkan bahwa, untuk sementara, pekerjaan presiden dibantu oleh Komite Nasional sampai terbentuknya MPR/DPR. Pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan untuk segera membentuk tentara kebangsaan, tapi karena alasan "kehati-hatian" pula, keputusan ini dibatalkan dengan hanya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada sidang ketiga tanggal 22 Agustus 1945 (Yamin, 1969: 339)[2]. Pada sidang yang ketiga ini pula berhasil dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI), yang kemudian dilantik pada sidang selanjutnya, pada tanggal 29 Agustus 1945. Dengan dibantu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada tanggal 4 September 1945, terbentuklah kabinet presidentil pertama terdiri dari 12 kementrian dan 5 orang mentri negara.

Rapat pertama KNIP pada tanggal 16-17 Oktober 1945, menetapkan Sutan Syahrir sebagai ketua KNIP. Dan melalui Maklumat Pemerintah No. 10/1945 ditetapkan pula bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi tugas untuk menyusun GBHN; dan berhubung situasi genting, maka pekerjaan KNIP sehari-hari dibantu oleh Badan Pekerja yang dipilih dari anggota KNIP itu sendiri dan juga bertanggung jawab pada KNIP. Dengan adanya kekuasaan besar tersebut, melalui keputusan KNIP pada tanggal 26 Nopember 1945, Sutan Syahrir mengajukan usulan untuk mengadakan perubahan dalam susunan pemerintahan. Hal ini berarti runtuhnya Kabinet pertama, dengan mengganti Kabinet Presidenter menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab. Akhirnya melalui Keputusan Presiden, Sutan Syahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Walaupun perubahan ini bertentangan dengan Undang Undang Dasar namun karena KNIP "dianggap" sebagai MPR (yang belum terbentuk) maka keputusan KNIP pun dianggap sah saja (Malik, 1984: 75-76).

Dalam pada itu, pasukan Sekutu, sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, sesuai dengan perjanjian Potsdam, Juli 1945, menugaskan pasukan Inggris untuk "menormalisasi" keadaan di Asia Tenggara.? Tugas-tugas South East Asia Command (SEAC) itu adalah: mengembalikan tentara Jepang -- yang di Indonesia berjumlah 283.000 orang -- ke tempat asalnya, membebaskan tawanan perang Sekutu, memulihkan keamanan di Asia Tenggara dan mengembalikan daerah tersebut kepada pemiliknya masing-masing. Dalam hal ini, Indonesia dikembalikan kepada Belanda; Indo-China kepada Perancis; Semenanjung Melayu, Singapura dan bagian utara Kalimantan kepada Inggris; dan Timor Timur kepada Portugis (Malik, 1984:30).

Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Inggris dengan panglimanya Letnan Jenderal Sir Philips Christison mendarat di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dari daerah-daerah ini mereka bergerak ke pemusatan tentara Jepang yang terletak di beberapa kota sekitar. Bersama dengan pasukan Inggris tersebut, pasukan Belanda -- yang menamakan diri Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Badan Urusan Sipil Hindia Belanda -- yang direncanakan akan menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris, dipimpin oleh Van Mooks dan Van der Plas. Masuknya tentara NICA ini hampir selalu menimbulkan kekacauan di semua kota yang didarati tentara Inggris. Hal ini disebabkan karena teror dan kekacauan yang sengaja ditimbulkan oleh tentara NICA. Di kota Jakarta misalnya hampir setiap hari pasukan NICA mengadakan penculikan dan pembunuhan pada pemuda Indonesia; dan pasukan Sekutu tidak dapat berbuat banyak (Soeroyo, 1988:58 dan Sudirdjo, ed., 1985:39).



A. PENYERANGAN MARKAS KEMPETAI DI SERANG

Berita tentang kekalahan Jepang dan disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, baru dapat diterima dan disebarkan kepada penduduk di kota Serang pada tanggal 20 Agustus 1945 oleh Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Ajiz. Mereka adalah pemuda dari Jakarta yang diutus oleh Chaerul Saleh untuk menyiarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia ke daerah Banten. Berita besar ini terutama disampaikan kepada tokoh masyarakat Serang seperti : K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Zulkarnain Surya, serta para tokoh pemuda seperti: Ali Amangku dan Ayip Dzuhri, dengan maksud agar mereka meneruskan berita itu secara berantai kepada seluruh masyarakat di karesidenan Banten (Sandjadirdja, Naskah).

Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh pemuda di Serang segera merebut kekuasaan dari penguasa militer Jepang. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945 beberapa pemuda, di antaranya pemudi Sri Sahuli, pegawai kantor sosial pemerintahan Jepang, berani memprakarsai penurunan bendera Jepang yang ada di Hotel Vos, Serang (sekarang kantor Kodim Serang). Peristiwa ini disusul dengan penurunan bendera di kantor-kantor pemerintah Jepang lainnya pada keesokan harinya.

Adanya gelagat penurunan bendera ini menunjukkan bahwa para pemuda semakin berani bertindak dan mulai giat menggerakkan kekuatan rakyat untuk melucuti serdadu Jepang dan merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan orang-orang Jepang. Melihat kejadian itu, maka banyak orang Jepang Sakura[3] mulai meninggalkan Serang menuju ke Jakarta. Syucokan (Residen) Banten Yuki Yoshii menyerahkan jabatannya kepada Fuku-syuchokan (Wakil residen) Raden Tirtasujatna. Sedangkan orang-orang Jepang militer masih tetap berada di pos-pos mereka di Gorda, Sajira dan Anyer untuk melaksanakan perintah Sekutu supaya tetap menjaga status quo.

Di samping orang-orang Jepang Sakura, beberapa pamongpraja yang berasal dari daerah Priyangan pun banyak yang pergi meninggalkan Banten. Kepergian mereka bukan berarti mereka setia kepada Jepang, akan tetapi ia merasa takut menjadi sasaran luapan kemarahan rakyat karena bekas pejabat kolonial yang tidak disenangi; termasuk juga Raden Tirtasujatna yang baru menerima penyerahan jabatan dari Yuki Yoshii pun melarikan diri ke Bogor, meskipun sebenarnya ia telah ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Residen Banten.

Sejak Residen Tirtasujatna melarikan diri dari Banten, jabatan Residen menjadi kosong, sedangkan waktu itu belum ada penunjukan sebagai gantinya. Semetara itu pemerintah pusat di Jakarta secara resmi telah mengumumkan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kedua badan tersebut dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 sebagai organisasi resmi yang membantu aparatur pemerintah dalam menangani bidang politik, militer dan keuangan negara. Kepada setiap daerah diintruksikan supaya segera membentuk KNI dan BKR (Nasution, 1970: 144-145). Di daerah Banten kedua badan tersebut belum dapat terbentuk, hal ini disebabkan antara lain karena pucuk pimpinan pemerintah yang resmi di daerah yakni Residen belum ada; sedangkan pejabat tinggi lain yaitu Bupati Raden Hilman Djajadiningrat, tidak berani mengambil alih tanggung jawab Residen (Sandjadirdja, Naskah).

Dalam situasi yang tidak menentu itu hanya kelompok pemudalah yang berani bergerak dan mengambil inisiatif untuk melucuti orang-orang Jepang yang berada di Serang dan sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh pemuda yang tergabung dalam suatu organisasi yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Organisasi ini dibentuk pada tanggal 1 September 1945 atas prakarsa Chaerul Saleh didukung oleh pemuda Menteng 31 yang tidak puas atas tindakan pemerintah karena dirasa lambat menangani pemindahan kekuasaan dari Jepang. Organisasi API di Serang didirikan oleh pemuda ex. Yugekitai yang diketuai oleh Ali Amangku, sedangkan pemimpin API putri adalah Sri Sahuli dan bermarkas di kampung Kaujon Kalimati.

Atas desakan pemuda API maka pada pertengahan bulan September 1945, diadakan perundingan dengan para tokoh masyarakat Kabupaten Serang, diantaranya: K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Zulkarnain Surya Kartalegawa. Perundingan ini dilaksanakan di tempat kediaman Zulkarnain Surya Kartalegawa, di dekat Rumah Sakit Serang. Dalam perundingan ini dibicarakan tentang pembagian tugas, khususnya dalam pemerintahan di Banten. Hasil perundingan itu adalah (Amangku dan Soendjojo, Naskah):

1) Pengambilalihan kekuasaan Jepang diserahkan kepada Zulkarnain Surya Kartalegawa.

2) Urusan keamanan diserahkan kepada K.H. Ahmad Khatib.

3) Urusan yang berhubungan dengan badan-badan atau organisasi perjuangan pemuda diserahkan kepada Ali Amangku.

Dalam perundingan itu pun para pemuda mengusulkan kepada pemerintah Republik Indonesia agar segera mengangkat K.H. Ahmad Khatib sebagai Residen Banten, yang menangani administrasi dan pemerintahan sipil di Banten; dan K.H. Syam'un menangani segala urusan militer.

Tokoh K.H. Ahmad Khatib adalah seorang ulama yang cukup disegani masyarakat. Ia alumni pesantren Kadupiring, yang kemudian melanjutkan ke pesantren Caringin, keduanya berada di Pandeglang. Semenjak remaja, putra Kiyai Waseh ini setelah berguru pada Kiyai Asnawi (atau dikenal Kiyai Caringin) di Caringin, aktif dalam kegiatan pergerakan pemuda, sehingga tahun 1920 menjadi ketua Syarikat Rakyat (SI) di Banten. Karena kepintaran dan kecerdasannya Ahmad Khatib menjadi murid kesayangan dan bahkan dijadikan mantu Kiyai Caringin. Yang paling menonjol pada K.H. Ahmad Khatib adalah sikapnya yang keras dan tegas terhadap penjajah. Seperti juga gurunya, Kiyai Caringin -- yang menjadi salah seorang pimpinan dalam pemberontakan komunis di Banten pada tahun 1926-1927 -- K.H. Ahmad Khatib dibuang ke Boven Digul (Tanah Merah), Irian. Lima belas tahun kemudian, setelah dibebaskan, ia kembali ke Serang dan aktif dalam bidang pendidikan agama, memimpin pesantren mertuanya di Caringin (Benda and Ruth MacVey, 1969:45).

Sedangkan K.H. Syam'un adalah seorang ulama yang cukup disegani rakyat di Banten. Tokoh kelahiran Citangkil, Cilegon, Serang ini adalah cucu dari K. H. Wasid, salah seorang tokoh dalam peristiwa Geger Cilegon, yang kemudian dihukum gantung oleh Belanda. Mencapai usia remaja, pemuda yatim piatu ini setelah tamat belajar di pesantren Teneng dan pesantren Kamasan ini kemudian melanjutkan belajar ke Mekah, Saudi Arabia. Setelah lima tahun (1905 - 1910) belajar di Mekah, kemudian Syam'un muda ini melanjutkan ke Al-Azhar University, Cairo, Mesir. Beberapa tahun kemudian ia pergi kembali ke Mekah dan mengajar di Masjidil-Haram. Belum genap satu tahun di Mekah, ia kembali pulang ke kampung halamannya di Citangkil, Serang, sebagai guru agama Islam di pesantren yang ia dirikan pada tahun 1925 (Rahmatullah, Wawancara, 4 Juni 1981).

Pada tanggal 19 September 1945, K.H. Ahmad Khatib resmi diangkat menjadi Residen Banten oleh Presiden Soekarno. Untuk membantu kelancaran pemerintahan, K.H. Ahmad Khatib menunjuk Zulkarnain Surja Kertalegawa sebagai Wakil Residen. Dan untuk jabatan bupati di daerah Serang, Pandeglang dan Lebak, K.H. Ahmad Khatib meminta agar para bupati lama, untuk sementara tetap dalam jabatannya dan meneruskan tugasnya sebagai Bupati; dengan pertimbangan, dalam masa transisi, para bupati lamalah yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan di daerahnya. Para bupati itu adalah: Raden Hilman Djajadiningrat (Bupati Serang), Mr. Djumhana (Bupati Pandeglang) dan Raden Hardiwinangun (Bupati Lebak). Sedangkan jabatan-jabatan dalam badan KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap kabupaten, masing-masing diserahkan kepada Ce Mamat untuk kabupaten Serang, Mohamad Ali untuk kabupaten Pandeglang, dan Raden Djajarukmantara untuk kabupaten Lebak (Nasution, 1977: 522- 523).

K.H. Syam'un yang ditunjuk menangani bidang militer segera merealisir pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Karesidenan Banten. Anggota BKR ini terdiri dari bekas anggota PETA, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API, dan lain-lain barisan kelasykaran. Susunan organisasi BKR masih menggunakan bentuk yang terdapat dalam Daidan (kesatuan batalion) pada PETA di masa pendudukan Jepang. Beberapa hari kemudian, terbentuk pula BKR-Laut Banten yang diketuai oleh Gatot; terdiri dari 2 bagian: Armada Perikanan dan Pasukan Marinir[4]. Pendirian BKR-Laut Banten disyahkan oleh K.H. Ahmad Khatib, Residen Banten, dan K.H. Syam'un, Kepala BKR Serang (Letkol Ngaliman, Wawancara.)

Dalam hal persenjataan, pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api saja untuk sekian banyak anggotanya, karena dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan RI para pemimpin PETA (orang Jepang) sudah melucuti senjata anak buahnya[5]. Oleh sebab untuk mendapatkan senjata yang diperlukan pasukan yang akan menjadi pasukan inti perjuangan rakyat Banten, K.H. Syam'un menyusun suatu rencana untuk "meminta" dari pasukan Jepang. Untuk keperluan itu K.H. Syam'un mengadakan perundingan dengan K.H. Ahmad Khatib, yang kemudian disepakati untuk mencoba berunding dengan Kempetai di Serang, agar pihak Jepang menyerahkan senjatanya kepada BKR. Perundingan dengan Kempetai ini dilakukan sampai 2 kali. Pertama dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1945 dengan mengutus Wakil Residen Zulkarnain Suria Kartalegawa, karena dia mengerti bahasa Jepang dan pernah menjadi fuku-syucokan (wakil residen) zaman Jepang. Perundingan pertama ini tidak memuaskan pihak BKR, karena pihak Jepang minta agar perundingan dilakukan secara resmi, yang langsung dihadiri Residen Banten. K.H. Khatib menyetujui usul ini. Karenanya perundingan dilakukan lagi pada keesokan harinya, kali ini dihadiri langsung oleh Residen didampingi Wakil residen.

Hasil perundingan itu adalah bahwa pihak kempetai menyetujui usul K.H. Chatib asalkan BKR dan residen bersedia menjamin keselamatan seluruh orang Jepang yang masih ada di Karesidenan Banten. Berdasarkan persetujuan ini, maka Residen mengumumkan agar semua orang Jepang yang masih berada di Karesidenan Banten segera berkumpul di kota Serang, di markas Kempetai, selambat-lambatnya sebelum tangggal 9 Oktober 1945 untuk diangkut ke Jakarta dengan pengawalan pasukan BKR (Amangku dan Soendjojo, Naskah).

Pada tanggal 7 Oktober 1945 pasukan marinir Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang bermarkas di Anyer tiba di Serang dengan selamat tanpa gangguan amarah rakyat, karena rakyat telah menerima pesan Ali Amangku agar mereka jangan mengganggu orang Jepang yang menuju ke Serang[6]. Untuk mengumpulkan pasukan Jepang yang berada di Gorda dan Sajira, pihak kempetai meminta bantuan BKR untuk mengawalnya, karena merasa khawatir atas keselamatan mereka dari serbuan rakyat. Maka untuk menjemput pasukan kidobutai (angkatan udara) Jepang di Gorda, diutuslah dua anggota BKR yaitu Sadheli dan Tb. Marzuki dengan dikawal 10 orang dengan berpakaian dinas polisi istimewa, mengendarai dua buah mobil yang masing-masing berisi 5 orang berangkat ke lapangan udara Gorda. Kedatangan mereka disambut dengan baik, dan tanpa kesulitan semua tentara Jepang dikawal sampai di markas kempetai; tetapi kendaraan truk yang memuat senjata dibelokkan ke markas BKR di jalan Pamelan (markas Korem sekarang)[7]

Pada hari yang sama pula, pimpinan BKR mengutus Abdul Mukti dan Juhdi untuk melakukan penjemputan pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun) di Sajira, Rangkasbitung. Untuk melaksanakan tugas itu, kedua utusan dikawal oleh 9 orang tentara Jepang. Sebelum mereka sampai di tujuan, rombongan ini dihadang oleh rakyat di lintasan jalan kereta api Warunggunung, Rangkasbitung. Dendam rakyat terhadap Jepang sudah tidak dapat dikendalikan, sehingga melihat adanya iring-iringan tentara Jepang, rakyat menyerbu ke dalam truk, dan, kesembilan serdadu Jepang ini semuanya dibunuh (Nasution, 1977:522). Abdul Mukti dan Juhdi melarikan diri dan melaporkan kejadian itu kepada pimpinan BKR di Serang. Keesokan harinya Tb. Kaking, seorang anggota BKR, dipanggil oleh perwira kempetai yang pernah menjadi gurunya sewaktu latihan PETA. Dia diminta pertolongannya untuk menjemput jenazah korban insiden Warunggunung. Tb. Kaking menyanggupi permintaan itu.[8] Maka bersama dengan Emon dan beberapa orang pengawal, jenazah orang-orang Jepang itu dapat diangkut ke Serang yang kemudian -- atas permintaan kempetai -- diperabukan secara massal di Kuburan Cina, Kampung Kaloran, Serang (Panitia ..., Naskah; Djajamihardja, Wawancara, 9 Nopember 1992; Tb. Kaking, Wawancara, 30 Mei 1983; Ali Amangku, Wawancara, 2 Juni 1983).

Peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Jepang di Warunggung telah mengecewakan kedua pihak, baik kempetai maupun BKR. Semuanya menyesalkan kecerobohan tindakan pemuda Warunggunung itu. Dengan alasan terjadinya peristiwa Warunggunung ini, pihak kempetai membatalkan persetujuannya untuk menyerahkan senjata kepada BKR. Ali Amangku mencoba berunding lagi dengan perwira kempetai, tetapi kedatangannya tidak dihiraukan oleh mereka. Bahkan Ali Amangku melihat kesibukan tentara Jepang membuat barikade-barikade di sekeliling markas sebagai persiapan menghadapi suatu serangan. Menyaksikan hal ini Ali Amangku menemui wakil residen, yang pada hari itu juga dilaporkan kepada K.H. Sam'un, sebagai pimpinan BKR. Ketiga tokoh itu berunding, dan diambil keputusan untuk segera menggempur markas kempetai yang terletak di sebelah barat alun-alun kota Serang. Keputusan demikian mengandung resiko yang sangat mengkhawatirkan, yaitu akan banyaknya korban yang jatuh dari pihak republik, mengingat persenjataan BKR yang sangat sedikit. Hari itu juga, keputusan hasil rapat kilat tersebut disebarkan kepada pimpinan pemuda, masyarakat dan para ulama sekabupaten Serang. Sore harinya para pemimpin pasukan dari kecamatan-kecamatan Ciomas, Pabuaran, Baros, Taktakan, Padarincang, Kramatwatu, Cilegon dan Ciruas datang ke kota Serang untuk membicarakan rencana rinci penyerangan itu. Dan malam harinya diadakan perundingan di markas BKR/API di Kaujon Kalimati, Serang.

Sebagai gambaran, markas kempetai di kota Serang terletak di sebelah selatan gedung kabupaten, terdiri dari tiga gedung besar (sekarang dipergunakan sebagai Kantor Angkatan 45, kantor kepolisian dan kantor Dokabu), dikelilingi oleh pohon-pohon karet besar. Sekitar halaman, dipasangi kawat berduri tiga lapis dan pagar bambu gelondongan sehingga tidak tembus oleh peluru karaben. Pintu masuk ke halaman markas hanya satu yang juga dihalang barikade kawat berduri. Di beranda depan gedung yang tengah, ditempatkan satu regu tentara penjaga bersenjata brengun, standgun dan karabeyn mitalyur. Di samping kiri pintu masuk ditempatkan dua mitalyur yang dilindungi tumpukan karung pasir. Walaupun pasukan Jepang yang ada di markas itu hanya sekitar 3 kompi, namun mereka memiliki persenjataan lengkap, di samping kuatnya pertahanan.

Pertemuan para pemimpin ini berlangsung sampai pukul 3.00 dini hari, yang akhirnya diputuskan bahwa penyerbuan ke markas kempetai akan dimulai setelah adzan subuh, yaitu sekitar pukul 4.30, hari Kamis, tanggal 10 Oktober 1945. Untuk mengadakan serbuan ke markas kempetai itu, disusunlah siasat dan strategi penyerangan sebagai berikut: Medan pertempuran (palagan) dibagi menjadi 4 sektor yang masing-masing sektor dipimpin oleh pemuda-pemuda bekas syudanco PETA; Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah memimpin sektor timur (samping kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat (samping kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan (belakang). Sedangkan pasukan rakyat dari luar kota Serang akan menempati daerah-daerah di sekitar markas kempetai, yaitu di Kampung Dalung, Benggala, Kaujon dan Lontar. Penyerangan akan dimulai pada hari Kamis, 10 Oktober 1945/ 5 Zulkaidah 1365 H pukul 05.00 pagi; kode penyerangan akan dimulai dengan pemadaman listrik di seluruh kota Serang dan diawali dengan tembakan keiki kanju (karaben steyer berkaki dua) oleh Iski. Komando penyerangan dipegang oleh Ali Amangku.

Pada hari Rabu, 9 Oktober 1945, beberapa pemimpin pejuang rakyat yang bersenjata dari seluruh peloksok Banten berdatangan ke markas BKR di kota Serang untuk meminta intruksi penyerangan; diperkirakan massa rakyat dari beberapa daerah itu akan masuk kota pada malam harinya. Penampungan para pejuang disiapkan; massa dari daerah Pandeglang dan Lebak ditampung di Kampung Benggala, dari daerah Cilegon, Merak dan Anyer ditampung di Lontar dan Kaloran, sedang massa yang datang dari Tangerang ditampung di sekitar daerah Pegantungan. Ibu-ibu dan para remaja putri yang bertempat tinggal di kampung-kampung sekitar markas kempetai, spontan ikut menyibukkan diri bergotong-royong membantu dengan menyediakan makanan dan minuman bagi para pejuang. Di lokasi-lokasi strategis dan yang dianggap aman di sekitar lokasi penyerbuan, mereka membuat beberapa dapur umum. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya pun tidak ketinggalan menyumbangkan bahan-bahan makanan ke dapur umum. Penduduk yang tinggal di sekitar markas kempetai diperintahkan untuk segera menyingkir dan mengosongkan rumahnya demi keselamatan mereka.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00 tanggal 9 Oktober 1945, berturut-turut datang rombongan BKR serta pemuda-pemuda dari Kecamatan Ciomas, Pabuaran, Baros, Cilegon, Padarincang, Ciruas, Mancak, Taktakan, dan Kramatwatu. Mereka semua berkumpul di asrama Sekolah Guru di jalan Pamelan, Serang, yang sementara menjadi markas BKR (sekarang markas Korem 064 Maulana Yusuf).

Sekitar pukul 4.30 pagi hari tanggal 10 Oktober 1945, seluruh pasukan telah siap di tempat yang direncanakan. Pasukan yang berada di sektor utara dipimpin oleh Iski menjadi barisan penyerang. Pasukan ini mengambil lokasi mulai dari perempatan Jalan Kantin (sekarang Jalan Juhdi) sampai ke halaman gedung kabupaten Serang. Pasukan ini terdiri dari anggota pilihan yang dipersenjatai dengan karaben Jepang, pistol dan granat tangan. Satu-satunya keiki kanju yang dimiliki oleh BKR, ditempatkan pada sektor ini dan dipegang oleh bekas budanco Juhdi, sebagai pendamping Iski. Sedangkan barisan-barisan pada ketiga sektor lainnya berfungsi sebagai barisan pengepung dan penghadang musuh. Sektor barat mulai dari halaman gedung karesidenan dan di sepanjang Kali Banten dipimpin oleh eks shodanco Nunung Bakri dengan membawahi pasukan rakyat. Sektor selatan di sekitar kampung Benggala, sepanjang sisi selatan alun-alun sampai ke batas Rumah Sakit Serang, dipimpin oleh eks shodanco Salim Nonong; sektor barat dan selatan ini terdiri dari massa rakyat yang kebanyakan bersenjatakan golok dan bambu runcing. Sedangkan barisan yang ada di sektor timur dipimpin oleh bekas syudancho Zainal Falah dengan anggotanya terdiri dari para pemuda eks bintara PETA, tetapi mereka pun hanya memiliki beberapa pucuk senjata api.

Setelah terdengar suara adzan subuh dari beberapa masjid, dan disusul dengan pemadaman lampu-lampu di dalam kota, terdengar tembakan kode penyerangan oleh Iski, maka dimulailah penyerangan ke markas kempetai. Dengan pekikan takbir "Allahu Akbar", para pejuang sebelah timur mulai menembaki markas kempetai sambil maju menyerang. Dari arah markas kempetai terdengar pula tembakan beruntun yang mengarah ke posisi penyerang, maka terjadilah tembak-menembak berbalasan antara dua kubu yang berlawanan, dalam suasana gelap. Karena pertahanan tentara Jepang yang begitu kuat, maka sulitlah bagi para pejuang Banten untuk merebut markas kempetai ini. Sampai pukul 6.30 pertempuran berlangsung tanpa henti, dan pihak pejuang belum berhasil mendekati gedung sasaran; karena di sekitar markas kempetai itu dikelilingi lapangan terbuka -- sehingga apabila ada penyerang, dengan mudah tentara Jepang menembakinya baik yang berusaha menyeberangi jembatan atau yang merayap dari arah belakang gedung. Sekitar pukul 07.00, tersiar berita bahwa pemuda Nunung Bakri, pemimpin sektor barat dan Juhdi dari sektor selatan telah gugur. Mendengar berita gugurnya dua pemuda itu para pejuang baik dari BKR, lasykar rakyat dan pemuda, semakin beringas dan menjadi "nekad", mereka hendak menyerang kubu musuh dari jarak dekat, walau harus menebusnya dengan nyawa. Beberapa pemuda yang tidak tahan menahan amarahnya lalu meninggalkan pasukan dan menyerang markas kempetai dalam jarak dekat. Namun belum mencapai jarak 100 meter, peluru kempetai yang bersembunyi di atas pohon di sekitar markas menewaskan mereka. Di antara yang meninggal ini adalah Kudsi dan Thalib, pemuda dari laskar Ciomas. Sampai sekitar pukul 10 pagi pertempuran belum mereda.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, para sesepuh BKR: K.H. Ahmad Khatib, K.H. Sam'un, H. Abdullah dan K.H. Djunaedi segera memanggil para pemimpin pejuang. Dinasehatkan bahwa berjihad yang dikehendaki Islam bukanlah berarti bunuh diri, tapi mati sahid dalam membela agama dan negara dengan strategi yang sewajarnya. Sebaliknya cara berperang yang akan mereka lakukan itu cenderung kepada bunuh diri yang mengorbankan ratusan bahkan ribuan pemuda dengan sia-sia. Oleh karena itu musuh cukup dikurung terus sampai kehabisan perbekalan, nanti baru diserbu. Mendengar nasehat itu, para pemimpin pejuang berjanji akan menuruti nasehat itu dan baru akan mengadakan penyerangan apabila dikomandokan oleh Ali Amangku sebagai Komandan Pertempuran.

Sampai menjelang sore, tembak-menembak tidak terdengar lagi dari kedua belah pihak, pasukan rakyat tetap berjaga-jaga dan mengepung markas kempetai. Dalam pada itu. K.H. Ahmad Khatib mengajak para pemimpin penyerangan itu untuk bersama-sama mengerjakan shalat berjamaah di Masjid Agung Serang.

Sekitar pukul 20.00, tiba-tiba terdengar tembakan gencar dari markas kempetai yang diarahkan ke Kampung Benggala. Setengah jam kemudian, tembakan pun berhenti, sehingga suasana menjadi hening sampai matahari terbit. Hal ini menimbulkan kecurigaan para pemuda, sehingga beberapa di antara mereka mengintip keadaan di dalam markas kempetai yang ternyata telah kosong, kecuali dua mayat tentara Jepang. Rupanya tembakan gencar yang dilakukan pada malam itu merupakan pengalihperhatian pasukan rakyat dari gerakan pasukan Jepang yang sebenarnya, yaitu meloloskan diri. Dengan menggunakan 4 buah truk mereka meloloskan diri dari belakang, jalan Rumah Sakit, ke Jakarta dari arah timur dengan melalui jalan Cijawa, Cipete dan Ciceri. Sedangkan kedua mayat Jepang yang tertinggal itu diduga adalah tentara yang mendapat tugas melakukan tembakan perlindungan, yang kemudian (mungkin) melakukan harakiri (bunuh diri) setelah merasa tugasnya berhasil baik. Jumlah korban dalam pertempuran ini dari pihak kempetai hanya 2 orang dan dari pihak republik 5 orang (Panitia ..., Naskah; Djadjamihardja, Wawancara, 11 Nopember 1992).

Tiga hari setelah pertempuran perebutan markas kempetai, yaitu pada tanggal 14 Oktober 1945 K.H. Syam'un membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai Divisi I Komandemen Jawa Barat dengan nama Divisi 1000/I (dibaca: divisi seribu satu); sesuai dengan maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945.



B. PENGHIANATAN DEWAN RAKYAT

Setelah penyerbuan ke markas kempetai pada tanggal 10 Oktober 1945, situasi kota kembali dalam keadaan semula. Pemerintahan sipil sudah berjalan seperti apa adanya. Namun, sebenarnya, sejak K.H.Ahmad Khatib resmi menjabat sebagai Residen Banten, tanggal 19 September 1945, dan mengangkat kembali pejabat lama -- semasa pemerintahan Hindia Belanda ataupun Jepang -- menjadi aparat-aparat di bawahnya, terjadi intrik-intrik ketidakpuasan di antara sebagian pemuda pergerakan. Para pemuda itu menginginkan adanya "pembaharuan total", dan mencap "orang-orang lama" ini sebagai "warisan kolonial", "penghianat bangsa", menak dan, bahkan dikhawatirkan nanti membantu Belanda yang akan datang dengan pasukan Sekutu. Tuntutan beberapa pemuda ini oleh K.H. Ahmad Khatib tidak dikabulkan, dengan alasan bahwa untuk menangani administrasi pemerintahan daerah haruslah dipilih orang yang cakap dan biasa menanganinya; karena pemerintahan Republik Indonesia masih muda maka sangat sulit mencari "orang baru" yang memenuhi syarat. Rasa ketidak-puasan "kelompok muda" ini akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok lain untuk maksud yang lain pula.

Pada tanggal 27 Oktober, sekitar jam 10.00 pagi, saat itu di karesidenan sedang berkumpul K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Abdulhadi, datang serombongan orang yang menamakan dirinya “Dewan Rakyat”. Dengan ancaman kasar mereka memaksa Residen Banten untuk membatalkan surat pengangkatan aparat-aparat pemerintahan di seluruh karesidenan Banten, dan menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat. Pembatalan dan pengangkatan pejabat-pejabat baru itu harus dibacakan di depan umum besok tanggal 28 Oktober 1945. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan melenyapkan orang-orang "yang tidak disenangi rakyat".

Karena sergapan yang tiba-tiba dan ancaman pembunuhan kepada semua yang hadir, K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam'un dan Abdulhadi tidak dapat berbuat selain "terpaksa" menyetujui keinginan Dewan Rakyat. Keesokan harinya, tanggal 28 Oktober 1945 sekitar jam 10.00 pagi, di hadapan beberapa pejabat yang sudah berkumpul di halaman karesidenan, diumumkan bahwa mulai hari itu kekuasaan di seluruh Karesidenan Banten diambil alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin Ce Mamat,? walaupun jabatan resmi Residen dan Bupati Serang masih tetap.

Residen Banten, K.H. Ahmad Khatib, "terpaksa" menyusun aparat pemerintah daerah yang "disesuaikan" dengan tuntutan Dewan Rakyat, sebagai berikut: K.H. Ahmad Khatib tetap sebagai Residen; K.H. Syam'un diangkat sebagai Bupati Serang, merangkap sebagai pimpinan tertinggi TKR; Haji Hilman (bukan R. Hilman Djajadiningrat) diangkat sebagai Bupati Pandeglang dan Haji Hasan sebagai Bupati Lebak. Untuk jabatan wedana, camat bahkan sampai lurah diserahkan kepada kaum ulama. Di samping itu juga dibentuk semacam "Majlis Ulama" yang berfungsi sebagai badan penasehat residen dan juga mengawasi residen. Anggota majlis ini terdiri dari 40 orang kiyai yang berpengaruh di karesidenan Banten.[9]. Komite Nasional Indonesia (KNI) dibubarkan.

Perubahan personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan Rakyat itu akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Hal ini terutama disebabkan oleh aksi teror yang dilakukan oleh "pasukan" Dewan Rakyat, yang menamakan diri Laskar Gulkut atau Laskar Gutgut[10]. Mereka sering berkeliaran di peloksok-peloksok kota Serang menakut-nakuti penduduk, bahkan tidak jarang merampas, merampok harta dan membunuh penduduk, terutama keluarga pamongpraja banyak yang "di-56".[11]

Setelah paginya berhasil "merebut kekuasaan" residen di hadapan rakyat, pada malam harinya Laskar Gulkut menculik Bupati Raden Hilman Djajadiningrat, yang kemudian dipenjarakan di Serang -- penculikan ini dilakukan oleh anggota TKR yang menyeberang ke Dewan Rakyat. Kejadian penculikan ini baru diketahui keesokan harinya oleh K.H. Syam'un dan Ali Amangku, yang selanjutnya mereka mengumpulkan anggota TKR untuk merencanakan penyerbuan ke markas Dewan Rakyat di daerah Ciomas. Rencana penyerbuan ini pun mendapat dukungan dari Oscar Kusumadiningrat, kepala polisi Serang, yang kemudian menyerahkan senjata-senjata yang ada di pasukannya kepada pimpinan TKR. Pertimbangan Oscar, di samping untuk membantu TKR juga supaya senjata-senjata itu jangan jatuh ke tangan Dewan Rakyat; menurut firasatnya, dia pribadi, termasuk "orang asing" yang berasal dari Priyangan dan juga "warisan kolonial", karena ia pernah menjadi aparat pemerintahan Hindia Belanda dan pendudukan Jepang, karenanya Laskar gulkut tentu akan datang ke tempatnya, sekaligus merampas senjata-senjata itu. Ternyata tidak lama kemudian, Oscar Kusumadiningrat pun didatangi oleh lima pemuda laskar gulkut dan diculik dari rumahnya, yang kemudian ditahan di penjara Serang bersama dengan R. Hilman; sehari kemudian dia dibawa ke daerah Ciomas, yang di sana pun telah ditangkap Entol Ternaya, Kepala Kejaksaan Serang. Sementara itu, Wakil Residen Zulkarnain Surja Kertalegawa, yang juga mempunyai latar belakang sama dengan Oscar, lebih dahulu melarikan diri ke Sukabumi. Memang dalam aksi Dewan Rakyat itu beberapa pejabat di daerah seperti Camat Baros, Mantri Polisi Pabuaran dibunuh Laskar Gulkut, terutama yang perlakuannya kejam terhadap rakyat.

Melihat adanya penculikan-penculikan pejabat dan perampokan itu, Residen K.H. Ahmad Khatib mengintruksikan kepada Bupati Serang K.H. Sam'un untuk secepatnya menumpas gerakan Dewan Rakyat ini. K.H. Syam'un segera memanggil Ali Amangku dan Tb. Kaking, sebagai pimpinan TKR, untuk menyusun siasat penumpasan. Langkah pertama adalah membebaskan R. Hilman Djajadiningrat dari penjara Serang. Usaha ini tidak mengalami banyak kesulitan, karena penjagaan laskar gulkut di tempat itu tidak begitu kuat. Langkah berikutnya adalah menyerang "markas besar" Dewan Rakyat di daerah Ciomas.

Sewaktu pasukan TKR bergerak dari Serang ke Ciomas, di perjalanan mendapat perlawanan dari Laskar Gulkut yang meng-akibatkan dua orang anggota TKR terbunuh. Tapi akhirnya, pasukan TKR dapat mendesak "pasukan jawara" sampai di dekat kantor Kawedanaan Ciomas (Nasution, 1970: 125). Rupanya kantor Kawedanaan Ciomas itu dijadikan markas dan juga pertahanan Dewan Rakyat. Ali Amangku memerintahkan pasukan TKR untuk mengepung kantor kawedanaan itu sambil menyerang dengan tembakan-tembakan gencar. Dengan demikian pertahanan Laskar Gulkut dapat dipatahkan, dan sebagian besar anggotanya dapat ditawan sedangkan sisanya dapat melarikan diri ke daerah Lebak. Di halaman belakang kantor kawedanaan itu pasukan TKR juga dapat membebaskan Oscar Kusumaningrat dan Entol Ternaya, yang terikat di sebuah pohon besar.

Pada tanggal 9 Desember 1945, Presiden Soekarno beserta wakilnya, Mohamad Hatta, datang mengadakan peninjauan ke Serang guna melihat situasi politik di Karesidenan Banten. Dalam pidatonya di alun-alun Serang, presiden merasa prihatin dengan adanya aksi Dewan Rakyat dan menghimbau agar fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara/ pemerintahan setempat, seperti Komite Nasional Indonesia (KNI) diaktifkan kembali. Selanjutnya, presiden juga mengintruksikan agar Dewan Rakyat dibubarkan. Ali Amangku, yang ditugaskan menjaga keamanan kedua tokoh besar itu, harus mengerahkan seluruh anggota TKR untuk menjaga tempat- tempat yang akan dikunjungi presiden; karena adanya khabar bahwa Dewan Rakyat akan menculik presiden dan wakilnya.

Penculikan kedua tokoh nasional ini tidak pernah terlaksana, tetapi di tempat lain, waktu itu, bekas Bupati Lebak, R. Hardjawinangun, diculik oleh beberapa orang pemuda tak dikenal. Di jambatan Cisiih, R. Hardjawinangun diturunkan dengan tangan terikat, lalu ditembak mati. Mayatnya dilemparkan ke dalam sungai, yang dua hari kemudian barulah mayatnya ditemukan penduduk setempat (Sin Po, 11 Desember 1945).

Pada bulan itu juga, tanpa diduga, markas polisi di Serang diserbu oleh pasukan "tak dikenal", yang kemudian diketahui simpatisan gerakan Dewan Rakyat dari Ciomas. Namun serbuan itu dapat diatasi oleh TKR; bahkan akhirnya pasukan TKR Serang berhasil menghancurkan markas Dewan Rakyat di Rangkasbitung. Tachril, ketua Dewan Rakyat di Rangkasbitung, dapat ditangkap.



C. DARI TKR SAMPAI TNI

Pada tanggal 22 Agustus 1945, dalam sidang PPKI ke-3 diputuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan tersebut kemudian disusul pula dengan seruan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1945 yang ditujukan kepada para pemuda Indonesia, antara lain berbunyi:

"... Saya harap kepada kamu sekalian hai prajurit PETA, Heiho dan Pelaut-pelaut serta pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu masuklah dan bekerjalah dalam Badan-badan Keamanan Rakyat. Percayalah nanti akan datang saatnya kamu dipanggil menjadi Prajurit Tentara Kebangsaan Indonesia. . . ." (Disjarah, 1973: 93).

Sejalan dengan seruan itu, maka dalam waktu yang tidak begitu lama seluruh lapisan pemuda segera membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai barisan perjuangan bersenjata. Karena kepentingan perjuangan, BKR yang berfungsi sebagai unsur pertahanan keamanan nasional, pemerintah memandang perlu untuk menjadikan BKR sebagai satuan tentara yang teratur, bersifat nasional dan langsung di bawah komando Kementerian Pertahanan. Maka pada tanggal 5 Oktober 1945 keluarlah Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Maklumat tersebut disusul dengan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945 sbb:

"Ini hari telah dilakukan pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah dekat Jakarta dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik Indonesia.

Pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Kaigun Heiho, dan pemuda-pemuda dari Barisan Pelopor telah menyiapkan tenaganya, agar setiap waktu dapat membangkitkan tenaganya untuk menentang kembalinya penjajah Belanda.

Pemuda-pemuda dan Tentara Kebangsaan ini segera diperlengkapi dengan persenjataan agar dengan demikian dapat mempertahankan keamanan umum." (Soeara Asia, 12 September 1945).

Maka disusunlah personalia Kementrian Keamanan Rakyat sebagai berikut (Surjohadiprodjo, 1971:13):

Menteri Keamanan Rakyat : Mr. Amir Syarifuddin

Pimpinan Tertinggi TKR : Supriyadi

Kepala Staf Umum TKR : Urip Sumoharjo



Selanjutnya dibentuk divisi-divisi, yaitu di Sumatra (6 divisi) dan di Jawa (10 divisi). Kesepuluh divisi di Jawa itu terbagi dalam 3 komandeman, yang masing-masing dikomandani seorang Mayor Jenderal. Divisi-divisi itu adalah:

Divisi I : di Serang pimpinan Kolonel K.H. Syam'un.

Divisi II : di Cirebon pimpinan Kolonel Asikin.

Divisi III : di Tasikmalaya pimpinan Kolonel Aruji Kartawinata.

Divisi IV : meliputi wilayah Pekalongan timur, Semarang dan Pati pimpinan Mayjen. G.P.H. Jatikusumo dengan komando di Salatiga.

Divisi V : meliputi wilayah Banyumas dan Kedu pimpinan Kolonel Sudirman.

Divisi VI : di Kediri pimpinan Mayjen. Sudiro, wilayahnya meliputi Kediri dan Madiun.

Divisi VII : di Selorejo Mojokerto pimpinan Mayjen Yonosewoyo.

Divisi VIII : di Malang pimpinan Mayjen Imam Suja'i.

Divisi IX : di Yogyakarta pimpinan Mayjen Sudarsono.

Divisi X : di Surakarta pimpinan Kolonel Sutarto.



Karena ex. sjodancho Supriadi, yang diangkat sebagai Pimpinan Tertinggi TKR, tidak pernah tampil menduduki posnya,[12] maka pada tanggal 12 Nopember 1945 diadakan rapat yang dihadiri pimpinan senior TKR di Markas Tinggi (MT) TKR di Yogjakarta. Hasil keputusan rapat dikuatkan dengan Keputusan Pemerintah, yaitu dengan dilantiknya Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal dan Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal, tanggal 18 Desember 1945 (TKR, No. 1/1, 10 Januari 1946).



1. Berdirinya Divisi 1000/I Banten

Dalam pada itu, di Serang, empat hari setelah penyerbuan ke markas tentara Jepang, pada tanggal 14 Oktober 1945 diadakan rapat pembentukan Divisi I Komandemen Jawa Barat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempat di markas BKR di Jalan Palem, Serang. Pembentukan Divisi I Komandemen Jawa Barat itu didasarkan surat Komandan Komandemen Jawa Barat, Mayor Jendral Abdulkadir, yang dibawa oleh Mayor Soeroto Koento, 12 Oktober 1945. Dalam surat perintah Komandemen Jawa Barat itu juga dilampirkan Maklumat Pemerintah No. 5 (tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat) dan Pola Organisasi Devisi.

Dalam rapat pimpinan BKR itu diputuskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi I Banten, sebagai berikut:

1) Divisi I Komandemen I Jawa Barat yang dibentuk itu diberi nama Divisi 1000/I (dibaca: divisi seribu satu) dengan wilayah meliputi seluruh Karesidenan Banten dan sebelah barat Sungai Cisadane, dari pantai utara sampai pantai laut selatan.

2) Personalia Slagorde Organik Divisi 1000/I, sbb.:

Panglima Divisi :Kolonel K.H. Syam'un

Ajudan :Mayor Sukahardja

Kepala Bagian Penyelidik :Mayor Salim Satiadinata[13]

Kepala Bagian Siasat :Mayor Tb. Syamsuddin Nur[14]

Kepala Bagian Organisasi :Mayor Kusendidjaja.

Kepala Bagian Perbekalan :Mayor Hamdani.



Pada permulaan terbentuknya Divisi 1000/I terdiri dari 2 resimen infantri yang masing-masing berkekuatan 3 batalyon. Setiap batalyon membawahi 4 kompi dan setiap kompi mempunyai 4 seksi; tiap seksi membawahi 4 regu yang masing-masing regu terdiri dari 14 orang prajurit. Resimen-resimen itu adalah (Panitia ..., Naskah):

1) Resimen I di Serang dengan kekuatan 4 batalyon:

Batalyon I : di Serang, di bawah pimpinan Mayor H. Abdullah

Batalyon II : di Cilegon, di bawah pimpinan Mayor Samanhudi

Batalyon III : di Serang di bawah pimpinan Mayor Tb. Syamsudin Nur.

Batalyon IV : di Menes di bawah pimpinan Mayor Tb. Soehadisastra. Batalyon ini masih meru-pakan Batalyon persiapan.

2) Resimen II di Rangkasbitung dengan kekuatan 2 batalyon:

Batalyon I : di Rangkasbitung, di bawah pimpinan Mayor Doedoeng Padmasoekarta.

Batalyon II : di Cikadu, Rangkasbitung, di bawah pimpinan Kapten Ukon. Batalyon ini pun masih merupakan batalyon persiapan.

Selanjutnya, dibentuk lagi Batalyon III di Pandeglang, di bawah pimpinan Mayor Soleman.



Susunan personalia Resimen I Divisi 1000/I, yang berkedudukan di Serang:

Komandan Resimen : Letkol K.H. Djoenaedi

Kepala Staf : Mayor Tb. Soehadisastra

Kepala Bag. Organisasi : Kapten Edi Soemantri

Kepala Bag. 1 (Penyelidik) : Letnan I Ending

Kepala Bag. Sekretariat : Letnan II Tituler Hidayat

Kepala Bag. Persenjataan : Letnan I Memed Hadi

Kepala Bag. Perlengkapan : Kapten M. Sani

Kepala Dinas Kesehatan : Mayor Dr. Soeparsono



Batalyon I/Serang

Komandan Batalyon : Mayor K.H. Abdullah

Komandan Kompi I : Kapten Tb. Syapei

Komandan Kompi II : Kapten Tb. Muh. Hasan Sutawinangun

Komandan Kompi III : Kapten Widagdo

Komandan Kompi IV : Kapten O. Soepaat



Batalyon II/Cilegon

Komandan Batalyon : Mayor Samanhudi

Komandan Kompi I : Kapten Soenarjo, kemudian diganti oleh Kapten Chaerani Soma.

Komandan Kompi II : Kapten Bachri

Komandan Kompi III : Kapten Abdullah Isa

Komandan Kompi IV : Kapten Sapta



Batalyon III/Serang

Komandan Batalyon : Mayor Tb. Syamsuddin Nur (eks. Kepala Bag. Siasat Divisi 1000/I)

Komandan Kompi I : Kapten Sofyan Syafe'i

Komandan Kompi II : Kapten Soenarjo

Komandan Kompi III : Kapten Saleh Syamsuddin

Komandan Kompi IV : Kapten Memed Hadi



Personalia slagorde organik Resimen II Divisi 1000/I, yang kedudukan di Rangkasbitung:

Komandan Resimen : Letkol Djajaroekmantara

Kepala Staf : Mayor Sutisna Mihardja

Kepala Bag. Organisasi : Kapten Oeka Soerjadi

Kepala Bag. Sekretariat : Letnan Kombali Nitipradja

Kepala Bag. Keuangan : Letnan I Atmadikusuma

Kepala Bag. Persenjataan : Kapten Supardi

Kepala Bag. Perlengkapan : Letnan I Entjon

Kepala Dinas Kesehatan : Letkol. Dr. Satrio



Batalyon I/Rangkasbitung

Komandan Batalyon : Mayor Doedoeng Padmasoe-karta

Kepala Staf : Kapten Chalik Hasan

Komandan Kompi I : Kapten Endang Danoeat-madja

Komandan Kompi II : Kapten Basyah Soetman

Komandan Kompi III : Kapten Ahim

Komandan Kompi IV : Kapten Soepardi



Batalyon II/Rangkasbitung

Komandan Batalyon : Mayor Djatmika

Komandan Kompi I : -

Komandan Kompi II : -

Komandan Kompi III : -

Komandan Kompi IV : -

Komando Keamanan Kota : Kapten Rahajoe

Komandan Yon Cadangan : Kapten Oekon



Batalyon III/Pandeglang

Komandan Batalyon : Mayor Soleman

Komandan Kompi I : Kapten Abdulhalim

Komandan Kompi II : Letnan I M.A. Hasan

Komandan Kompi III : Letnan I Djakasoendang

Komandan Kompi IV : -





Kecuali pasukan Infantri juga terdapat Pasukan Khusus yang terdiri dari eks yugekitai dipimpin oleh eks syodanco yugeki Ali Amangku. Pasukan yang terakhir ini merupakan pasukan pengintai langsung di bawah komando Divisi -- pasukan pengintai inilah yang kemudian menjadi Polisi Tentara Batalyon XI Divisi 1000/I yang susunan personalianya sebagai berikut:

Panglima Batalyon : Mayor Ali Amangku

Ajudan : Letnan II Tb. Mardjuki (kemudian diganti oleh Letnan Muda R. Soebagyo).

Kepala Staf : Kapten Rd. Achmad (kemudian diganti oleh Kapten B.A. Hariri).

Sekretariat : Letnan I Achmad Bahar (kemudian diganti Letnan II Enggung)

Tata Usaha : Letnan II Soma Atmadja

Perlengkapan : Letnan Muda Mansyur

Persenjataan : Kapten Tb. Arsyad

Kepolisian/Intel : Letnan I Tb. Sanusi

Polisi Kampemen : Letnan II Sukimin



Kompi I Batalyon XI di Serang, merupakan Kompi Markas.

Komandan Kompi : Kapten M. Isky

Kepala Staf : Letnan Muda Reksowongso

Kepolisian : -

Sekretariat : -

Komandan Seksi I : Letnan II Syadeli kemudian diganti Letnan II M. Djanawi.

Komandan Seksi II : Letnan II Ahdi Syadeli

Komandan Seksi III : Letnan II Moh. Zen

Komandan Seksi IV : Letnan II Nafeng

Kompi II, berkedudukan di Pandeglang.

Komandan Kompi : Kapten Umar Sarie

Kepala Staf : Letnan II Tb. Suwandi

Kepolisian : -

Sekretariat : -

Komandan Seksi I : Letnan II Ayip Rughby

Komandan Seksi II : Letnan II Tb. Chaerkusuma

Komandan Seksi III : Letnan Muda Hikmat



Kompi III berkedudukan di Rangkasbitung.

Komandan Kompi : Kapten Rd. Achmad (kemudian diganti Kapten Tb. Arsyad).

Kepala Staf : Letnan II Soewarno

Kepolisian : Letnan Muda Chudori

Sekretariat : Letnan Muda S.M. Ali

Komandan Seksi I : Letnan II Djadjamihardja

Komandan Seksi II : Letnan II Moh. Ishak , kemudian diganti oleh Letnan Muda Ito K.

Komandan Seksi III : Letnan II Saryono

Komandan Seksi IV : Letnan Muda Syayuti



Kompi IV; yang berkedudukan di Balaraja; kompi ini merupakan kompi mobile khususnya dalam penguasaan teritorial, kompi yang selalu di Sektor I, yang terdiri dari:

Komandan Kompi : Kapten R. Mahdi Winatapradja

Kepala Staf : Letnan II Tb. Mardjuki

Kepolisian : Letnan Muda M. Djidun

Sekretariat : Letnan Muda Herman

Seksi khusus di Curug : Letnan I Siswoyo

Komandan Seksi I : Serma M. Mursyid

Komandan Seksi II : Serma Karmail

Komandan Seksi III : Serma Chaidir

Komandan Seksi IV : Serma Tb. Subli



Bersamaan dengan pembentukan Divisi 1000/I, Letnan Kolonel Harsono mendapat tugas khusus dari Markas Tertinggi TKR untuk membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC), yang kemudian menjadi Fild Paraparation (FP). Sebagai samaran dibentuklah Badan Pemuda Pendidikan Militer Rakyat (BPPMR) pada tanggal 20 Oktober 1945 di Rangkasbitung. Tugas pokok dari satuan khusus ini adalah: (1) menyelidiki medan palagan, (2) menyelidiki formasi dan kekuatan musuh, (3) melakukan sabotase, (4) mengadakan perang urat syaraf, (5) spionase dan contra-spionase, dan (6) lain-lain gerakan rahasia untuk kepentingan militer.

Di samping tugas pokok yang disebutkan di atas, juga mengadakan pendidikan Kader Bintara Teritorial guna menghadapi perang semesta jangka panjang. Para pendidik dan instruktur pelatihan itu diambil dari eks anggota yugekitai. Badan ini disebut juga Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) yang berada langsung di bawah Komando Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, yang tidak harus diketahui oleh Staf Divisi, kecuali Komandan Divisi.

Susunan personalia badan rahasia itu adalah:

Komandan : Letkol Harsono

Kepala Staf : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Kabag. Administrasi : Kapten Kamaruzzaman

Personalia : Letnan II Halimi

Keuangan : Letnan II Nadelan

Kabag. Logistik : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Perlengkapan : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Pendidikan : Letnan II Soedibyo

Kutai I (Kompi I) : Kapten Tb. Kaking Achirramdani

Kumi I/I : M. Djadjamihardja

Kumi II/I : Sihabuddin

Kumi III/I : M. Djanawi

Kumi IV/I : Moh. Yusuf

Kutai II : Kapten Kamaruzzaman

Kumi I/II : Soekarman

Kumi II/II : Asnawi

Kumi III/II : Moh. Ishak

Kumi IV/II : Moh. Hasan.

Setiap Kumi (Regu) beranggotakan 10 siswa. Hasil pendidikan pertama menghasilkan 50 orang kader/bintara. Sebagian dari mereka mendapatkan pendidikan lanjutan di bidang intelejen di Pingit, Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis; dan sebagian lagi ditugaskan di Polisi Tentara (PT) Batalyon XI sebagai kader, dan sebagian lagi dikirim ke Pandeglang untuk mengikuti pendidikan periode ke-2.

Pendidikan keintelejenan ini di samping diselenggarakan di Rangkasbitung dan Pandeglang juga dibuka di Serang pendidikan militer khusus untuk putri di bawah pimpinan Letkol Harsono. Lulusan pendidikan ini disalurkan pada PMI Serang, staf polisi dan (nanti) Biro Perjuangan XXXV Banten (Panitia Sejarah Perjuangan Divisi 1000/I, Naskah).

Lima hari setelah terbentuknya Divisi 1000/I Banten, pada tanggal 19 Oktober 1945, BKR dari unsur armada dan tentara laut mengadakan rapat di Cimuncang, Serang, dipimpin oleh Gatot (sebagai ketua rapat) dan Samsudin (sebagai sekretaris rapat). Pada hari itu dibentuklah Pangkalan I Tentara Laut, disingkat Pangkalan I/TL[15]. Pangkalan I/TL ini (pada mulanya) hanya berkekuatan 4 batalyon Polisi Tentara Laut dan Armada Tentara Laut, yang bertugas sebagai tentara pertahanan dan keamanan pantai, mulai dari Mawuk sampai pantai Pelabuhan Ratu (yang panjang pantainya diperkirakan ±400 km); dengan pos pangkalan berada di Mawuk, Labuan, Bayah, Pelabuhan Ratu, Merak dan Pontang. Secara taktis, Pangkalan I Banten itu berada tetap di bawah komando Divisi 1000/I Banten (Panitia ..., Naskah).



Untuk melaksanakan tugas pengamanan pantai yang begitu luas, seharusnya, paling sedikit, diperlukan 6 batalyon Tentara Laut dan 1 detasemen Polisi Tentara Laut (PTL). Maka untuk memenuhi tuntutan tugas tersebut, diadakanlah pendaftaran bagi anggota TKR-Laut Pangkalan I Banten.



Bergabung dalam Divisi I Siliwangi

Pasukan NICA (Nederlands Indies Civil Administration) -- yang datang bersama dengan pasukan Sekutu -- banyak mengadakan teror, kekacauan, penculikan dan pembunuhan di beberapa daerah, terutama di ibukota negara, Jakarta. Dengan dalih "mengamankan" kerusuhan-kerusuhan yang ditimbul-kannya itu, pasukan NICA mengadakan serangan mendadak untuk menguasai kota. Kecurangan-kecurangan tentara NICA itu tidak begitu diperhatikan oleh tentara Inggris (sebagai tentara Sekutu), karena di samping jumlah personil yang kurang juga menganggap bahwa Belanda memang sudah disiapkan untuk menerima kembali Indonesia (Nasution, 1977: 30). Karena ketidakamanan di Jakarta ini maka pada tanggal 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden pindah ke Jogjakarta, dan kemudian dijadikan ibukota negara, demikian juga beberapa kementrian -- kecuali Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berkedudukan di Surakarta. Sedangkan Perdana Mentri Sutan Syahrir tetap di Jakarta.

Karena kepentingan Hankamnas yang mendesak, maka pada tanggal 7 Januari 1946 berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 2/S.D./1946, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dengan singkatan yang tidak berubah TKR. Tiga minggu kemudian, tanggal 25 Januari 1946, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang antara lain mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), sebagai satu-satunya organisasi militer negara. Pada tanggal yang sama, dimana TKR menjadi TRI, maka Tentara Laut (TL) pun berubah nama menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Dan pada hari pula dibentuk Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Pangkalan Udara Gorda.

Untuk tujuan efektivitas kerja, pada tanggal 23 Pebruari 1946 diadakan pengurangan divisi; Divisi yang semula 16, diperkecil menjadi 10; di Jawa - Madura 7 divisi dan di Sumatra 3 divisi, ditambah 3 brigade langsung di bawah Panglima Besar sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI (APRI). Mengikuti keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia (PT APRI), maka sejak tanggal 25 Mei 1946, susunan divisi Angkatan Darat adalah sebagai berikut:

Divisi I : bernama Siliwangi di Tasikmalaya di bawah pimpinan Mayjen A.H. Nasution.

Divisi II : bernama Sunan Gunungjati di Cirebon, di bawah pimpinan Mayjen Abdul Kadir.

Divisi III : bernama Diponegoro di Yogyakarta, di bawah pimpinan Mayjen Sudarsono.

Divisi IV : bernama Panembahan Senopati di Surapati, di bawah pimpinan Mayjen Sudiro.

Divisi V : bernama Ronggolawe di Mantingan, di bawah pimpinan Mayjen GPH. Jatikusumo.

Divisi VI : bernama Narotama di Kediri, di bawah pimpinan Mayjen Sungkono.

Divisi VII : bernama Suropati di Malang, di bawah pimpinan Mayjen Imam Suja'i.



Dengan penciutan organisasi TRI ini, Komandemen Jawa Barat, yang tadinya terdiri dari 3 divisi, dihapuskan dan dilebur menjadi 1 divisi, yang bernama Divisi Siliwangi -- terdiri dari 5 brigade -- yang berkedudukan di Tasikmalaya Karena itulah maka Divisi I Banten (Divisi 1000/I Banten) pada tanggal 25 Mei 1946, diubah menjadi sebuah Brigade dengan nama Brigade I Tirtayasa. Staf Komando Resimen I dan Resimen II dihapuskan, dan digabung menjadi 5 batalyon:

Balayon I : berkedudukan di Serang, dipimpin Mayor K.H. Abdullah

Batalyon II : berkedudukan di Cilegon, dipimpin Mayor Samanhudi

Batalyon III : berkedudukan di Serang, dipimpin Mayor Tb. Syamsudin Nur.

Batalyon IV : berkedudukan di Rangkasbitung, dipim-pin Mayor Doedoeng Padmasoekarta.

Batalyon V : berkedudukan di Pandeglang, dipimpin Mayor H. Djoenaedi.

Ada pun kesatuan-kesatuan lain yang taktis komando Brigade I Tirtayasa Divisi I Siliwangi yaitu: Pangkalan I ALRI, Pangkalan Udara AURI di Gorda dan Batalyon XI Polisi Tentara (walau pun secara administratif berada langsung di bawah Markas Besar Polisi Tentara (MBPT) (Panitia …, Naskah)[16].



Pembentukan Resimen Singandaru

Pada bulan Mei 1946 itu pula diputuskan bahwa badan perjuangan dan lasykar-lasykar bentukan partai-partai politik yang tidak mau bergabung kepada TRI diberi tempat dalam Biro Perjuangan, di bawah komando Kementrian Pertahanan -- saat itu Mr. Amir Syarifuddin.[17] Sesuai dengan Undang-undang Pertahanan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 19/1946, pada tanggal 27 Desember 1946 dibentuk Biro Perjuangan Daerah untuk wilayah Karesidenan Banten yang berkedudukan di Serang dengan nama Biro Perjuangan (BP) XXXV[18]. Biro Perjuangan ini dibentuk sebagai wadah persatuan bagi laskar-laskar perjuangan rakyat, seperti Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Lasykar Rakyat, Barisan Banteng, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pesindo, yang tadinya dibentuk oleh partai-partai politik (Notosusanto, 1985: 45). Adapun personalia pimpinan staf BP XXXV Banten adalah:

Kepala : Letkol Adi Soendjojo

Inspektorat : Kapten Abang Usman

Perlengkapan : Letnan I Asyhari

Humas : Letnan I Hasan Suleman

Sekretariat : Letnan I Tetuler Khusnun

Keuangan : Letnan II Tetuler M. Arif

Inspektorat Wanita : Sri Sahuli

Inspektorat Kab. Serang : Kapten Abang Usman

Inspektorat Kab. Pandeglang : Letnan II Suntara

Inspektorat Kab. Lebak : Letnan II Gozali

Inspektorat Kab. Tangerang : Letnan I Saleh Saisyam



Bekerjasama dengan Batalyon XI/GM/ Polisi Tentara, Penyelidik Militer Chusus (PMC), pamongpraja, pimpinan badan-badan kelasykaran, tokoh-tokoh masyarakat dan instansi lainnya maka hingga tanggal 17 Maret 1947 Biro Perjuangan XXXV (BP XXXV) berhasil membentuk Resimen dari kelasykaran yang dibinanya berkekuatan 3 batalyon. Resimen BP XXXV ini kemudian dinamai Resimen Singandaru, dengan susunan personalia sebagai berikut:

Komandan Resimen : Letkol Adi Sundjojo

Wkl. Komandan : Mayor Saleh Iskandar

Kepala Staf : Mayor Syamsudin Nur

Kabag. Organisasi : Letnan I Sufri Djamhari

Kabag. Perlengkapan : Letnan I Asmawi

Ajudan : Letnan Muda Zainal Arifin Billah


Komandan Batalyon I : Mayor Soleh Iskandar, bermar-kas di Nanggung, Jasinga

Komandan Batalyon II : Kapten Ayip Samin Salsufi, ber-markas di Serang

Komandan Batalyon III : Kapten Abdurahman Abdullah, bermarkas di Pandeglang.



Untuk menjadikan satunya kekuatan angkatan bersenjata RI, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang menyatakan pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan penyatuan dari TRI dan lasykar perjuangan rakyat. Pimpinan dipegang oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, dibantu oleh beberapa anggota yaitu Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, Laksamana Muda Nazir, Komandan Muda Udara S. Suryadharma, Ir. Sukirman, Djokosuyono dan Sutomo (ed. Sudirjo, 1985:65). Sejak itulah segala macam biro perjuangan bersenjata, baik yang berafiliasi kepada partai politik maupun bukan, dilebur ke dalam wadah TNI. Dan atas keputusan Panglima Divisi Siliwangi, pada akhir bulan Agustus 1947 Resimen Singandaru dimasukkan dalam Brigade Tirtayasa. Komandan Resimen Singandaru dan perwira stafnya berstatus Perwira Brigade Tirtayasa dan bertugas dalam Bagian V yang kemudian menjadi Perwira Staf Territorial Brigade Tirtayasa (Panitia …, Naskah).



2. Terbentuknya ALRI di Banten

Sesuai dengan Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 dan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945, yaitu tentang dibentuknya satu badan ketentaraan nasional, maka BKR-Laut punyang terdiri dari bekas anggota Heiho Kaigun, Koninklijke Marine (KM), Jawa Unko Kaisha, Akabutsi Butai, pemuda-pemuda yang bekerja pada jawatan pelayaran dan lain-lain bergabung dalam TKR-Laut. Di Serang, pada tanggal 19 Oktober 1945 dibentuklah Pangkalan I Tentara Laut dengan markas komando di Cimuncang, Serang (sekarang dipakai Dinas Kesehatan Tentara /DKT). Tugas Pangkalan I/Tentara Laut (TL) adalah sebagai tentara pertahanan dan keamanan pantai mulai dari Mauk sampai ke Pelabuhan Ratu, sepanjang ±400 km. Untuk itu paling sedikit diperlukan 6 batalyon Tentara Laut dan 1 detasemen Polisi Tentara Laut (PTL) yang berkedudukan di Merak, Labuan, Bayah, Pelabuhan Ratu, Mauk dan Pontang.



Susunan Personalia Pangkalan I/TL

Panglima Pangkalan I : Kolonel Gatot

Wakil Panglima : Letkol. JH. Tombing

Sekretaris : Letnan Laut (Letnl) Udjer

Personalia : Letnl. Sutoyo

Keuangan : SK. Effendi, Letnl.

Peralatan : Letnl. Rusli Miskat

Komandan Armada : Mayor Laut Arga

Kompi Markas : Letnan I M. Samsudin

Batalyon I Merak : Kapten Atuk Mansur

Kompi Bojonegara : Letnan Sujadi

Batalyon II/Labuan : Kapten Said Sutawijaya

Batalyon III/Mauk : Kapten Ajirahmat

Kompi Pontang : Letnan Atori.



Pada bulan Nopember 1945 diadakan rapat di Markas TKR-Laut Serang yang dihadiri pula oleh utusan Markas Besar TKR Yogyakarta. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengangkat Kolonel Misbah sebagai pimpinan TKR-Laut Banten menggantikan Kolonel Gatot[19]. Susunan organisasi TKR-Laut Banten sebagai berikut:

Komandan TKR Laut : Kolonel Misbah

Wakil Komandan : Mayor Tombing.

Bagian Keuangan : Letnan II Abas Syamsudin

Bagian Persenjataan : Letnan I Jatmiko

Bagian Perwira Siasat : Letnan I Ngaliman

Bagian Perkapalan : Letnan I Ahmad Hadi

Bagian Polisi Tentara Laut (PTL) :

Letnan I Sukarno Wirejo.

Komandan Pasukan Batalion : Letnan Karso

Kompi Anyer : Letnan Sepong

Kompi Merak : Letnan Bunsaman

Kompi Serang : (belum ditemukan data outentik)



TKR-Laut Banten dalam waktu singkat telah memiliki pasukan sebanyak dua batalyon, yaitu Batalyon Serang di bawah pimpinan Kapten Margolan dan Batalyon Malingping di bawah pimpinan Letnan I Darmo Sudiskam. Di Malimping, Darmo Sudiskam berhasil membentuk satu batalyon pasukan yang terdiri dari 450 personil. Pasukan ini ditempatkan di Binuangeun, Malimping, Cihara dan Bayah (Cikotok), sebagai pertahanan di Banten Selatan, dengan susunan organisasi sebagai berikut:

Komandan Batalyon : Letnan I Darmo Sudiskam

Wakil Komandan : Letnan II Wibowo Sumantri

Bagian Tata Usaha : Sersan Toha

Bagian Intenden : Kopral Ahmad Ilyas

Dalam masa berlangsungnya pembinaan dan penyusunan organisasi TKR Laut Banten, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Yogyakarta mengeluarkan ketetapan bahwa kekuatan diperbesar dari Batalyon menjadi Devisi. Berdasarkan keputusan bulan September 1945 tentang pembentukan Devisi ini, maka seluruh pasukan TKR-Laut di Pulau Jawa dibagi atas tiga devisi. Devisi I meliputi Jawa Barat di bawah pimpinan Laksamana III Adam yang berkedudukan di Cirebon. Devisi I ini terdiri atas tiga Resimen yaitu :

1) Resimen I berpangkalan di Serang

2) Resimen II berpangkalan di Karawang

3) Resimen III berpangkalan di Cirebon

Dengan adanya ketentuan itu, maka TKR-Laut Banten di Serang menjadi Resimen I/ Divisi I yang terdiri dari dua batalyon yaitu:

1) Batalyon I di Serang di bawah pimpinan Margolan,

2) Batalyon II di Malimping dibawah pimpinan Darmo Sudiskam.

Jumlah personil kedua Batalyon TKR Laut Banten seluruhnya 800 orang dengan perincian 350 orang anggota Batalyon I termasuk anggota Staf Resimen dan 450 orang anggota Batalyon II.



Pengembangan organisasi dari Batalyon menjadi Resimen menyebabkan tugas TKR-Laut di bidang pertahanan dan keamanan semakin bertambah luas dan memerlukan tambahan personil. Kekurangan personil itu diatasi dengan mengadakan penerimaan anggota baru. Dengan bertambahnya personil itu, maka kekuatan pasukan TKR-Laut Banten menjadi lima Batalyon, yang masing-masing beranggotakan antara 350 sampai 450 orang. Kelima Batalyon itu adalah :

Batalyon I : di Merak, dipimpinan Letnan I Sutoyo Condrowinoto

Batalyon II : di Pontang, dipimpinan Abas Syamsudin

Batalyon III : di Labuan, dipimpin oleh Mayor Rachmat.

Batalyon IV : di Malimping, dipimpin Letnan I Darmo Sudiskam -- kemudian diganti oleh Letnan Wibowo sejak bulan Juni 1946.

Batalyon V : di Pelabuhan Ratu, dipimpin Sersan Mayor Samsudin.

Dengan bertambah besarnya jumlah anggota, maka sistem pengamanan di wilayah pantai diperkuat, yaitu dengan menambah pos-pos penjagaan pantai; sebelumnya, pos penjagaan pantai ini hanya ada di lima tempat, yaitu: Merak, Pontang, Labuhan dan Anyer. Kemudian dibuka pos-pos baru yaitu di Pelabuhan Ratu, Karangantu, Sangiang, Bojonegara, Mauk, Citeurep dan Pandeglang.

Diperkuatnya daerah pantai ini karena kapal selam dan kapal peronda pantai Belanda semakin giat mengadakan pengintaian di Selat Sunda. Tiap-tiap batalyon menempatkan anggota pasukannya pada pada pos-pos keamanan pantai yang menjadi wilayah operasinya. Pasukan yang ditempatkan pasa tiap pos dibagi dalam kompi, seksi, peleton, regu dan juga pembagian sampai 3 atau 5 orang anggota. Pos pengintaian didirikan hampir sepanjang pantai Banten mulai dari Mauk sampai Pelabuhan Ratu.

Walaupun dalam hal personil bertambah, namun persenjataannya sangatlah memprihatinkan. Persenjataan di tiap-tiap Kompi hanya terdiri dari 5 pucuk senjata ringan dan selebihnya senjata tajam, setiap Peleton hanya mempunyai 2 pucuk senjata ringan dan senjata tajam, sedangkan Regu hanya memiki senjata tajam. Batalyon Malimping hanya mempunyai 11 pucuk senjata karabejn dan tiga bayonet yang diperoleh dari front Mauk (Letkol. Purn. Darmo Sudiskam, Wawancara). Karena kurangnya persenjataan ini maka Komandan Devisi I, Laksamana III Adam, di Cirebon, memberikan bantuan berupa 1 pucuk bren, 1 pucuk senjata 12,7 dan 2 pucuk karabejn (Letkol Ngaliman, Wawancara).

Masih dalam usaha pengadaan senjata, pimpinan TKR Laut Banten mengirim utusan,yang terdiri dari Letnan Ngaliman, Moh Karsowidjaja, Udjer, Dulman dan Sersan Mayor Samsudin, ke MBU Yogyakarta dan MBT Lawang untuk meminta biaya pasukan, perlengkapan dan senjata. Utusan ini berhasil memperoleh uang dari MBU Yogyakarta dan sepucuk senjata anti tank (volstein) kaliber 20 mm dengan satu peti pelurunya dari MBT (Letkol (Pur) I C. Souhaka, Wawancara, Ciawi, 16 Januari 1979)[20]. Kapal yang dimiliki TKR-laut Banten hanya ada dua, yaitu Pulo Merak I dan Pulo Merak II, yang keduanya berukuran 20/25 ton. Kedua kapal ini sebenarnya milik Jawatan Pelabuhan, dalam keadaan rusak, kemudian diambil alih dan diperbaiki oleh TKR. Setelah Mayor Achmad Hadi menyelesaikan pendidikan Latihan Opsir di Serang, maka dibentuk Armada baru dengan susunan sebagai berikut :

Kepala Bagian Armada : Mayor Achmad Hadi.

Bagian Perkapalan : Kapten S. Abdullah.

Staf Perkapalan : -

Mualim I Bagian Dek : Letnan Muda Tb. Hari Achmadi

Perwira Kepala Mesin : Letnan II Sukiran

Operasionalnya, bagian Armada berada di bawah Batalyon I Merak. Tugas utama dari kapal Pulo Merak I adalah melakukan penyeberangan anggota Angkatan Laut, Angkatan Darat dan Pegawai pemerintah. Sedangkan kegiatan Kapal Pulo Merak II adalah mengangkut pasukan dan suplai bagi yang bertugas di pos pulau-pulau di sekitar Banten.



Sekolah Kelautan di Serang

Keputusan pimpinan MBU TKR Laut di bidang penambahan personil pasukan juga harus diimbangi dengan pengadaan pendidikan profesional kelautan. Pendidikan kelautan tersebut dilaksanakan di beberapa kota yaitu Tegal, Banten, Lampung, Malang, Tanjung Balai dan Pariaman.

Di Banten, pendidikan kelautan ini dilaksanakan di Serang dengan Kolonel Misbah sebagai penanggung jawabnya; sesuai dengan instruksi Panglima Devisi I TKR Laut Jawa Barat, Laksamana III Adam. Maka disusunlah Staf Pendidikan Latihan Opsir TKR Laut (LO TKRL) di Serang sebagai berikut: -

Komandan Latihan Opsir : Mayor Kun Djelani

Wakil : Letnan Margolan

Ajudan Sekretaris : Letnan I Djatmiko

Instruktur pengajar :

Pelatih Teori Ketentaraan : Ajudan Ahmad Kletskop

Pelatih Kemiliteran : Aji Rachmat.

Pelatih Pelayaran Praktis : Letnan Djatmiko

Ilmu Navigasi Cosmograf : Mayor Kun Djelani

Ilmu Kemasyarakatan : Letnan Margolan

Bahasa Inggris : Letnan Supardi

Ilmu Praktek Senjata : Letnan Supardi

Organisasi Angkatan Laut : Mayor Kun Djelani

Tiup Trompet, Fluit Anggar: instruktur gabungan.

Persyaratan untuk menjadi siswa Latihan Opsir TKR Laut (LO TKRL) di Serang ini adalah para pemuda yang mempunyai pendidikan paling tinggi siswa MULO (SMP) dan terendah lulusan HIS (SD) (Tb. Hari Achmad, Wawancara, Cikirai, Pandenglang, 20 Mei 1980). Pendidikan dilaksanakan di gedung bekas Asisten Residen Banten yang terletak di Cipare (sekarang Dinas Kesehatan Tentara) Serang, berlangsung selama tiga bulan (1 Januari - 31 Maret 1946). Siswa yang mengikuti pendidikan dibagi dalam dua tingkat kepangkatan disesuaikan dengan pendidikan umum yang dimilikinya, yaitu Cadet I dengan pangkat calon Letnan dan Cadet II dengan pangkat calon Sersan Mayor dan Sersan.

Pada malam penutupan Latihan Opsir ALRI[21] di Serang, yang dihadiri oleh pimpinan pemerintahan sipil dan militer, dilakukan pemberian tanda lulus kepada setiap siswa. Siswa yang lulus dengan nilai terbaik diangkat sebagai Letnan Muda dan yang nilainya lebih rendah diangkat sebagi Sersan Mayor atau Sersan (Laks. Purn. Atung Sudibyo, Wawancara, Jakarta, 25 Maret 1975). Selanjutnya, siswa latihan Opsir ALRI di Serang yang mempunyai nilai terbaik diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Tegal. Dalam kesempatan itu dikirimkan 5 orang siswa, tetapi yang lulus testing hanya satu orang yaitu Atung Sudibyo.

Pendidikan latihan Opsir TKR Laut Serang hanya berlangsung satu angkatan saja. Hal ini disebabkan karena Mayor Kun Djelani dan tenaga pengajar lainnya, pada bulan April 1946, dimutasikan untuk mengajar di Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Tegal.

Organisasi TKR Laut yang baru tumbuh itu lebih menitik beratkan kepada pengembangan pasukan tempur dan belum berorientasi ke laut. Hal itu terjadi karena terdapat dua Markas Tinggi Laut yaitu di Lawang dan Yogyakarta. Pimpinan TKR Laut Lawang lebih menitik beratkan pada pengembangan pasukan darat (korps marinir), sedangkan pimpinan TKR Laut Lawang lebih menitik beratkan pada pengembangan armada. Untuk menyatukan perbedaan pendapat ini, pada tanggal 24 Desember 1945 diadakan pertemuan antara kedua pimpinan TKR Laut di Yogyakarta, yang dihadiri oleh Wakil Presiden dan Panglima Besar Sudirman. Karena tidak ada kesepakatan, maka pada bulan Januari 1946 Pimpinan Markas Tinggi Angkatan Laut kembali mengadakan pertemuan di Yogyakarta untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas melakukan perbaikan dalam organisasi TKR Laut. Diputuskan nama TKR Laut diganti menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 7 Januari 1946 (Berdjoeang, II/65, 20 Maret 1946).

Komisi tersebut mengusulkan kepada pemerintah tentang susunan organisasi baru Angkatan Laut Republik Indonesia, dengan Atmaji terpilih sebagai pimpinan umum ALRI dan M. Nazir menjadi Staf Umum (Kedaoelatan Rakjat, 30 Januari 1946).

Pada tanggal 16 Pebruari 1946 dikeluarkan penetapan Presiden tentang pengangkatan Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia yaitu :

a. Pimpinan Tertinggi : Jendral Sudirman

Pembantu Kepala Staf Umum : Laksamana Muda M. Nazir

Pembantu Kepala Staf Umum : Laksamana Muda Pardi dan Laksamana Muda Gunadi.

b. Mengangkat Atmaji sebagai Kepala Urusan Angkatan Laut pada Kementerian Pertahanan (Soeloeh Merdeka, 11 Pebruari 1946).

Atmaji di samping menjabat Kepala Urusan Angkatan Laut pada Kementerian Pertahanan juga merangkap sebagai Pimpinan Umum di Markas Besar Tinggi, Lawang. Kedua markas tinggi itu masih tetap mengembangkan apa yang menjadi rencana mereka semula, walaupun keduanya dilandasi semangat dan kesadaran yang sama yaitu tekad perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sementara dualisme pimpinan dalam lingkungan Angkatan Laut Republik Indonesia belum teratasi, keadaan negara bertambah genting; dimana Belanda mendatangkan pasukan yang baru untuk memperkuat pertahanannya, untuk menggantikan kedudukan pasukan Inggris di Indonesia.

Pasukan Belanda melancarkan serangan-serangan ke wilayah Republik untuk memperluas wilayah pendudukannya, sehingga timbullah pertempuran-pertempuran seperti di Medan Area, Palembang, Padang Area, Surabaya serta Jakarta dan sekitarnya. Untuk meng-antisipasi hal itu, pada tanggal 17 Juni 1946 Presiden Republik Indonesia menyatakan negara dalam keadaan bahaya perang. Pada tanggal 26 Juni 1946 dibentuk Dewan Militer yang diketuai oleh Presiden, sebagai anggota adalah Panglima Besar, Pimpinan Umum Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Republik Indonesia, Kepala Staf Angkatan Laut dan Direktur Jenderal Kementerian Pertahanan (Nasution, 1977: 327).

Pada tanggal 26 Juni 1946 Presiden mengangkat Laksamana Muda M. Nazir menjadi Pimpinan Umum Angkatan Laut Republik Indonesia, dengan tugas penting mengatasi dualisme yang terjadi dalam tubuh ALRI (Nasution, 1977: 328). Untuk tujuan itu diadakan pendekatan pada pimpinan ALRI di Lawang dan Yogyakarta, yang selanjutnya pada tanggal 19 Juli 1946 dilangsungkan Komperensi Angkatan Laut Republik Indonesia di Lawang, yang hasilnya menetapkan antara lain (Disjarah, 1973: 173 dan 183-188):

1) Nama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diresmikan, sehingga nama Tentara Republik Indonesia Laut atau Marine Keamanan dan sebagainya tidak berlaku lagi.

2) Markas Tertinggi ALRI berkedudukan di Lawang dan Sub Markas Tertinggi berkedudukan di Yogyakarta.

3) Pembentukan 12 pangkalan ALRI di Pulau Jawa.

Pimpinan ALRI MBU Yogyakarta yang lebih menekankan fungsi ALRI sebagai alat negara yang bertugas di laut, sehingga dalam pembinaan organisasi banyak meniru Koninglijke Mariane (KM) dan mengutamakan pembinaan kebaharian melalui pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, maka tiap-tiap Resimen ALRI di Pulau Jawa diresmikan menjadi pangkalan, yang merupakan eselon kedua dalam struktur organisasi ALRI.

Karenanya, Resimen ALRI Banten ditetapkan menjadi Pangkalan I; dan statusnya -- sebelumnya berada di bawah Cirebon -- langsung di bawah Markas Besar ALRI di Yogyakarta. Resimen ALRI Banten berubah menjadi Pangkalan ALRI Banten, dengan struktur organisasi sebagai berikut (Disjarah, 1977: 164)[22]:

1) Unsur Staf :

Panglima Pangkalan : Kolonel Misbah

Wakil Panglima : Mayor Tombing

Kepala Administrasi : Kapten Darmo Sudiskam

Kepala Personalia : Letnan I Sutoyo Condro-winoto

Kepala Keuangan/Intenden : Mayor Ashari

Kepala Operasi : Mayor Hasan Acang

Perwira Siasat : Letnan I Ngaliman

Kepala Persenjataan : Letnan I Supardi

2) Unsur Tempur

Komandan Pasukan : Kapten Margolan

Dan Yon II Pontang : Kapten Atuk Mansur

Dan Yon III Labuan : Letnan I Rahmat

Dan Yon IV Malimping : Letnan I Wibowo Sumanto

Dan Yon V Pelab. Ratu : Letnan M. Samsudin

3) Armada/Perkapalan dan Establismen

Komandan : Mayor Ahmad Hadi

Ka Bagian Elektro/Teknik : Letnan II Maskalir dibantu oleh Letnan Muda Mursid dan Letnan Muda Agus Rubayah serta Letnan Muda Basuni.

Bagian Perkapalan : Kapten S. Abdullah.

Persenjataan Armada : Serma M. Sulaiman dibantu oleh Sersan Nurdin dan Sersan Intan Iskandar

4) Unsur Pembinaan

Pendidikan : Letnan I Jatmiko

Pembantu : Letnan II Aji Rahmat dan Ajudan Ahmad

Kesehatan : Manteri Kesehatan Emon, dibantu oleh Zuster Suhaima.



Markas Pangkalan I Banten terletak di gedung bekas Asisten Residen di Cipare, Serang, dengan jumlah personil lebih dari 3000 orang, yang sebagian besar terdiri dari anggota Pasukan Tempur/Corp Marinir (CM); tetapi jumlah pelaut sangat terbatas, hanya terdiri dari para eks perwira Koninglijke Mariene (KM), Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulusan Latihan Opsir (LO) TKR Laut Serang.

Personil Pangkalan I tersebar di lima kota pantai dan sebagian kecil di markas Serang. Tiap-tiap batalyon menye-barkan anggotanya untuk mengadakan pengawasan pantai dan pulau-pulau yang ada di sekitar perairan Banten. Setiap ada hal yang mencurigakan dengan segera mereka memberi laporan kepada pos terdekat yang kemudian diteruskan ke Markas Pangkalan di Serang. Kegiatan Pangkalan di samping melakukan tugas pengawasan, juga untuk bagian perkapalan bertugas mengoperasikan kapal Pulo Merak I dan Pulo Merak II.

Menjelang akhir tahun 1946 kegiatan operasi laut dari kapal-kapal perang Belanda di Selat Sunda semakin meningkat, sehingga kegiatan kapal Pulo Merak I dalam melakukan penyeberangan dihentikan, karena khawatir diserang patroli Belanda. Tetapi akhirnya Pulo Merak I jatuh juga ke tangan Belanda, menjelang akhir tahun 1947. Usaha penyelamatan kapal oleh pasukan Letnan II Tb. Hari Ahmad -- memerintahkan anggotanya untuk melepaskan kran pipa air agar kapal bisa tenggelam -- tidak berhasil karena kapal Belanda yang bernomor lambung B. 251 sudah hampir merapat ke Kapal Pulo Merak I. Kapal Pulo Merak I kemudian diseret oleh kapal Belanda keluar dari pelabuhan Merak. Ketika pasukan bantuan dari Batalyon I Merak datang, kapal Belanda tersebut telah berada di tengah laut bergabung dengan kapal Belanda yang lain (Tb. Hari Ahmad, Wawancara).

Di samping menjaga pantai -- secara bergiliran antara anggota Corp Marinir dan Pasukan Tempur Laut -- dan mengadakan latihan, juga ikut dalam operasi tempur ke front Mauk sebelum dan sesudah Aksi Militer Belanda I. Selain itu Pangkalan I Banten pun mengadakan kerja sama dengan Pangkalan I Lampung; juga mempunyai gagasan supaya Pos ALRI di Pelabuhan Ratu dikembangkan dan ditingkatkan menjadi Pangkalan ALRI XIII di bawah pimpinan Kapten Saleh, karena sulitnya hubungan antara pos-pos pengintai di pantai Selatan dengan Markas di Serang. Untuk mewujudkan gagasan ini, Kolonel Misbah, Panglima Pangkalan I Banten, setelah mengadakan inspeksi ke pelabuhan Ratu kemudian mengirimkan utusan ke Yogyakarta untuk meminta pengesahan dari Markas Besar ALRI di Yogyakarta. Karena persetujuan dari Markas Besar ALRI lama tidak kunjung datang, maka Kolonel Misbah pergi ke Yogyakarta.

Begitu lamanya Kolonel Misbah meninggalkan Markas Pangkalan, sehingga perkembangan Pangkalan I ALRI Banten menjadi terganggu. Hal ini disebabkan timbulnya perpecahan di kalangan Perwira Staf. Keadaan itu menimbulkan kekacauan dalam organisasi dan garis komando, sehinggga pada awal tahun 1947 Mayor Ashari perwira keuangan mengambil alih pimpinan, yang disetujui dan didukung oleh Perwira Staf lainnya. Kejadian di Serang ini segera dilaporkan oleh Mayor Tobing, Wakil Panglima Pangkalan I Banten, kepada Kolonel Misbah di Pelabuhan Ratu dan ke MBU ALRI di Yogyakarta.[23] Kolonel Misbah berhasil mengatasi kemelut dan kembali memegang pimpinan di Pangkalan I Banten. Untuk menghindari timbulnya masalah baru dalam organisasi, Mayor Ashari diberi tugas untuk mengurus keuangan dan perlengkapan ALRI ke Markas Besar Yogyakarta. Sejak pimpinan berada kembali di tangan Kolonel Misbah dengan dukungan dari para Perwira Staf, maka disiplin kerja berhasil ditegakkan kembali

Pada awal kemerdekaan, masalah paling sulit diatasi adalah masalah keuangan dan perlengkapan personil ALRI Banten, karena memang dukungan dari pemerintah daerah dan Markas Besar tidak mencukupi. Untuk mengatasi hal ini, terpaksa Kolonel Misbah sering mengadakan perjalanan dinas ke daerah lain untuk mencari dukungan keuangan dan perlengkapan; misalnya ke Tegal, Garut, dan Tasikmalaya. Dari Tegal diperoleh bantuan berupa beberapa pucuk senjata (antara lain 12,7 dan karaben), kain (blaco), sepatu dan gula. Selama Kolonel Misbah ke luar kota, pimpinan sementara dipegang oleh Mayor Hasan Acang. Kekosongan pimpinan ini menimbulkan kekompakan kerja tidak seperti semula; perasaan saling curiga mencurigai antara Perwira Staf dan Komandan Batalyon tumbuh dengan subur, yang berkembang ke arah terbentuknya sistem kelompok.

Dalam pada itu untuk mengatasi keruwetan yang sedang berkembang dalam organisasi ALRI, diadakan pertemuan di Yogyakarta pada bulan Januari 1947 yang dihadiri oleh pimpinan MBU Yogyakarta dan MBT Lawang. Pada pertemuan tanggal 21 Januari 1947 diputuskan untuk membentuk Dewan Angkatan Laut, yang tugasnya di samping mengawasi MBU ALRI juga mengawasi tugas Departemen Pertahanan ALRI dalam menyusun suatu rencana reorganisasi yang dapat memenuhi aspirasi anggota ALRI (Disjarah, 1977: 175).

Dewan Angkatan Laut memutuskan untuk mengurangi 12 pangkalan Angkatan Laut yang sudah ada menjadi 3 pangkalan. Berdasarkan keputusan itu Panglima ABRI Laksamana Muda M. Nazir, pada bulan Pebruari 1947, menginstruksi agar para Panglima Pangkalan melaksanakan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan organisasi.[24]

Perubahan itu adalah sebagai berikut :

1) Probolinggo menjadi Pangkalan I: gabungan Pangkalan VII, Pangkalan IX Probolinggo, dan Pangkalan X Banyuwangi.

2) Cilacap menjadi Pangkalan II.

3) Cirebon menjadi pangkalan III: gabungan Pangkalan I Banten, Pangkalan II Karawang, Pangkalan III Cirebon dan Pangkalan IV Tegal.



Instruksi Panglima ALRI tersebut mengubah kembali Pangkalan I Banten menjadi Sub Pangkalan yang berada di bawah Pangkalan III Cirebon. Perubahan itu tidak mempengaruhi struktur organisasi, yang terjadi hanya penyesuaian organisasi dengan bentuk baru dan pergeseran personalia serta memindahkan markas dari Serang ke Cilegon, dengan tujuan agar dekat dengan pasukan dan laut. Di samping itu, Pasukan Corp Marinir (CM) berada dalam satu komando Komandan Panglima ALRI. Sedangkan organisasi Bagian Armada Perkapalan di bawah pimpinan Mayor Ahmad Hadi diperbantukan ke Lampung untuk mengembangkan organisasi Armada di bawah pimpinan Letnan I Hotma Harahap.

Dengan demikian organisasi ALRI Banten pada pertengahan tahun 1947 adalah sebagai berikut :

Komandan Panglima : Kolonel Misbah

Wakil Komandan : Kapten Margolan

Bagian Tata Usaha : Letnan I Darmo Sudiskam dan M. Ujer

Bagian Personalia : Kapten Sutowo Condrowinoto

Bagian Keuangan : Letnan I Kairupan

Bagian Perbekalan/Suplay : Letnan I Supomo

Bagian Pendidikan : Letnan I Jatmiko



Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Aksi Militer ke-I. Maka pada tanggal 28 Juli 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan No. 97-A-47, tentang Pembentukan Pucuk Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia (PP. ALRI). Dalam organisasi ALRI, PP. ALRI adalah suatu organisasi pusat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang mempunyai tanggung jawab penuh baik secara taktis operasi, organisasi maupun administrasi. Pimpinan yang duduk dalam organisasi Pucuk Pimpinan Angkatan Laut Republik Indonesia adalah terdiri dari tokoh pimpinan Lawang dan Yogyakarta, dengan tujuan untuk menghilangkan dualisme dalam Pimpinan ALRI.



D. PERANG MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK

Dengan masuknya tentara Sekutu yang diwakili oleh Inggris ke Indonesia, masuk pulalah tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Badan Urusan Sipil Hindia Belanda -- yang direncanakan akan menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris, dipimpin oleh Van Mooks dan Van der Plas -- pada tanggal 29 September 1945. Pasukan Sekutu yang ditugaskan untuk melucuti semua tentara Jepang di Asia Tenggara hanya tersedia lebih kurang 8 atau 9 divisi. Dan yang ke Indonesia terdiri dari 2 divisi, yaitu divisi 23 dan 26, untuk Jawa dan Sumatra. Sehingga untuk menduduki beberapa pelabuhan penting seperti: Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung) hanya dikirim 1 brigade saja, dipimpin oleh Jendral Christison. Bahkan untuk pendaratan di Semarang dibentuk suatu pasukan darurat yang diketuai oleh Brigadir Artileri (Nasution, 1982: 72).

Barangkali hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa pasukan Inggris tidak begitu memperhatikan perlakuan curang tentara NICA. Dengan ikut sertanya tentara NICA dalam pasukan Sekutu itu membuat hampir di semua kota yang didarati tentara Inggris selalu timbul kekacauan. Hal demikian memang disengaja oleh NICA, karena sebelum tentara Sekutu itu masuk ke suatu daerah, tentara KNIL, yang sudah dibebaskan dan dipersenjatai kembali, mengadakan teror dan kekacauan di dalam kota untuk memancing perlawanan dari pihak TKR dan barisan pejuang rakyat. Selanjutnya, setelah terjadi kekacauan-kekacauan pasukan Sekutu dan NICA tampil dengan ultimatum supaya TKR dan lasykar rakyat segera meninggalkan kota. Bahkan dengan adanya kekacauan itu -- NICA menuduh bahwa kekacauan itu dilakukan oleh tentara RI -- van Mook (yang tiba di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1945) mengusulkan kepada pimpinan pasukan Sekutu, Mountbatten dan Christison, untuk mengambil tindakan lebih keras kepada tentara Indonesia, yang katanya membuat rakyat menjadi sengsara (Sudirdjo, 1983: 315). Perlawanan rakyat di suatu daerah, dijadikan alasan oleh NICA untuk datang "mengamankan" daerah tersebut dan kemudian menguasainya.

Di kota Jakarta misalnya, hampir setiap hari pasukan KNIL mengadakan penculikan dan pembunuhan pada pemuda Indonesia; dan pasukan Sekutu tidak dapat berbuat banyak (Soeroyo, 1988:58 dan Sudirdjo, ed., 1985:39). Terjadilah kontak bersenjata dengan pemuda-pemuda Jakarta di daerah Jagamonyet, Senen, Tanah Tinggi, Capitol, Olimo Jatinegara, Tanah Abang, Kebayoran, dan sebagainya. Tetapi karena pihak NICA lebih kuat persenjataannya, dan pula di bawah lindungan pasukan Sekutu, maka pihak pemuda Jakarta tidak dapat berbuat banyak. Tentara NICA itu terang- terangan mengadakan teror terhadap penduduk, bahkan kemudian berhasil menembak dan melukai beberapa pemimpin negara, seperti Sutan Syahrir, Mohamad Roem, Mr. Amir Syarifuddin. Keadaan kota Jakarta yang kacau inilah yang mendorong dipindahkannya ibukota Republik Indonesia ke Jogjakarta pada tanggal 4 Januari 1946.

Pemuda-pemuda pejuang dari Jakarta, yang kemudian terdesak oleh serangan pasukan NICA, banyak yang pindah ke Tangerang. Dan, dengan alasan mengejar para perusuh, akhirnya pasukan NICA pun masuk ke kota Tangerang dan mengultimatum agar kota Tangerang dikosongkan; pejuang-pejuang harus mundur 4 km, sampai di sebelah barat Cisadane. Ultimatum Sekutu itu disebarkan melalui udara pada tanggal 14 Mei 1946, dengan disertai penjelasan bahwa pihak Pemerintah RI telah menyetujuinya. Tiga hari kemudian, 17 Mei 1946, pasukan NICA telah berhasil menduduki Serpong.

Dalam pada itu, untuk menghindari banyaknya korban rakyat, TRI Resimen 40 Divisi II Tangerang atas perintah komandan Divisi II, diintruksikan supaya segera meninggalkan kota Tangerang tanpa mengadakan perlawanan kepada tentara Sekutu. Sedangkan pemerintahan sipil Tangerang dipindahkan ke Balaraja, selanjutnya Balaraja dijadikan Ibukota Kabupaten Tangerang. Dengan mundurnya TRI dari kota Tangerang, maka dengan leluasa pasukan Sekutu dan NICA pada tanggal 28 Mei 1946 sepenuhnya menguasai kota (Madiyah, t.t.: 60).



1. Peristiwa Makam Pahlawan Seribu

Mundurnya tentara Tangerang tanpa memberi perlawanan terhadap musuh mendapat ejekan dari kalangan rakyat pejuang Banten -- bahkan pernah mereka dikirimi bedak, cermin dan lipstik. Dan, karena Tangerang merupakan pintu gerbang untuk masuk ke daerah Banten, maka pada tanggal 23 Mei 1946 laskar rakyat dari Banten berkekuatan 400 orang bergerak menuju Tangerang, dengan maksud menahan musuh jangan sampai memasuki daerah Banten. Pasukan rakyat itu dipimpin oleh K.H. Ibrahim dari desa Sampeureum, Maja, bertujuan untuk menyerang markas NICA di Serpong, Tangerang. Karena keadaan kekuatan dan kelemahan pasukan NICA -- yang baru tiba di Serpong -- belum diketahui, dan juga diperkirakan mereka masih dalam keadaan siap tempur, maka komandan TRI Divisi 1000/I yang berada di perbatasan melarang adanya penyerangan tersebut. Namun didorong oleh semangat Laskar Rakyat dan kebencian mereka kepada penjajah, tanpa mengindahkan larangan itu, mereka tetap hendak melanjutnya rencana penyerbuan.

Di perjalanan, rombongan bertambah dengan pemuda-pemuda dari desa Maja, Cibubur dan Cipinang yang ikut bergabung. Sampai di Tenjo pasukan K.H. Ibrahim bergabung dengan pasukan dari Tenjo yang dipimpin K.H. Harun dengan kekuatan sekitar 300 orang. Kedua pasukan itu berjalan kaki menuju Parung Panjang dan menginap di sana. Tanggal 25 Mei 1946, rombongan sampai di kampung Karanggan, Kademangan. Malamnya, K.H. Ibrahim dan K.H. Harun berunding untuk mengatur penyerangan yang akan dilaksanakan besok, tanggal 26 Mei 1946. Disepakati bahwa dalam penyerangan itu pasukan K.H. Harun akan menyerang dari arah belakang, melalui jalan Rawabuntu terus ke Cilenggang; sedangkan pasukan K.H. Ibrahim akan menyerang langsung dari depan, melalui jalan raya Serpong.

Pada tanggal 26 Mei 1946 sesuai dengan rencana, kedua pasukan pejuang bergerak menuju sasaran. Jumlah laskar rakyat bertambah besar karena di sepanjang jalan yang dilalui banyak rakyat yang menggabungkan diri; di antaranya rakyat dari Sengkol yang dipimpin Jaro Tiking. Sepanjang jalan rombongan ini mengumandangkan takbir "Allahu Akbar" sambil meng-acung-acungkan senjata yang dibawanya berupa golok, kelewang, tombak, panah dan bambu runcing.

Di depan kubu pertahanan NICA, seorang serdadu NICA dengan membawa bendera putih didampingi dua orang serdadu bersenjata bren-gun, menyetop dan mendekati rombongan rakyat, dengan maksud hendak menanyakan tentang kedatangan laskar rakyat itu. Namun, tanpa dapat dikendalikan dibarengi dengan semangat kebencian, pihak rakyat terus maju bahkan kemudian membacok serdadu NICA pembawa bendera. Melihat keadaan tersebut, dua orang serdadu NICA lainnya segera menembak, disusul dengan tembakan gencar dibarengi lemparan granat dan mortir dari arah markas NICA "menyapu" barisan laskar rakyat. Maka bergelimpanganlah pasukan rakyat, tumpang-tindih. Seruan takbir akhirnya tidak terdengar lagi tersapu dentuman montir dan granat. Serangan ke markas NICA di Serpong itu gagal, dan korban yang gugur -- berikut mayat K.H. Ibrahim dan Jaro Tiking -- diperkirakan lebih dari 189 orang. Jenazah para pahlawan bangsa itu semuanya dikubur secara massal dalam tiga lobang besar; karena itulah makam para syuhada ini dinamai "Taman Makam Pahlawan Seribu" yang letaknya di Serpong (Panitia ..., Naskah ).



2. Serangan NICA ke Perbatasan Banten

Dalam pada itu di Serang, dengan dikuasainya kota Tangerang yang merupakan pintu masuk ke daerah Banten, Komandan Brigade I Tirtayasa, Kolonel K.H. Suam'un, segera mengintruksikan beberapa batalyon TRI untuk memperkuat pasukan di daerah perbatasan. Di antara pasukan yang dikirim itu adalah Batalyon II Mayor Samanhudi, yang dipimpin langsung oleh Martono, ajudan komandan batalyon II, berkekuatan 3 kompi, yang masing- masing ditempatkan: Kompi I Sunaryo di Sarakan, Kompi II Akhmad Bakhri di Cimone dan Kompi III Abdullah Isa di Jenggot. Di samping itu dikirim pula Polisi Tentara (PT) Batalyon XI/GM/ Banten dipimpin oleh Yusuf, dengan komandan-komandan kompinya: Haer Kusuma, Djajamihardja, Salim Nonong, Ayip Rughbi dan Sinting. Mereka ditempatkan di Kedaung Barat, Karangserang, Gaga-Rawakopi, Sepatan -- di mana gerakan operasinya sampai melintasi Cisadane: ke Sanggego, Kedaung Timur, Batuceper dan Bojongrenged. Di daerah Balaraja, ditempatkan batalyon yang dipimpin oleh Supaat; di jurusan Curug, Pasargenjer dan di Binong ditempatkan Kompi Subki; sedangkan di Cijantra ditempatkan Kompi Sanusi -- yang kedua-duanya dari PT Batalyon XI Banten.[25]

Serangan serdadu NICA ke Jatiuwung memaksa TRI mundur ke Cikupa. Pada tanggal 16 Juni 1946, dengan menggunakan senjata dan perlengkapan perang modern, NICA mengadakan serangan mendadak ke Curug, Mawuk dan Balaraja, sehingga terpaksa pasukan Resimen 40 Tangerang kembali mundur sampai ke daerah Cikande.

Untuk membantu pertahanan Resimen 40 Tangerang, Komandan Brigade I Tirtayasa Banten pada tanggal 18 Juni 1946 segera mengirimkan tambahan pasukan TRI dari Batalyon III yang dipimpin oleh Mayor Tb. Syamsudin Noor -- di samping pasukan Banten yang sudah berada di Tangerang: Batalyon I yang dipimpin oleh Mayor H. Abdullah dan wakilnya Kapten Supaat, Batalyon II dipimpin Mayor Samanhudi, bersama dengan Kesatuan-kesatuan Laskar dan Badan-badan Perjuangan yang dipimpin oleh Ayip Juhri dan Ayip Samim dari Hizbullah, Supri Jamhari dari Sabilillah dan Haji Jamra dari Laskar Rakyat. Batalyon III ini terdiri dari 4 kompi, yang masing-masing dipimpin oleh Kapten Sape'i Sofyan, Kapten Sunaryo, Kapten Saleh Jaisan, dan Kapten Memed Hadi (Madiah, t.t.: 72).

Penguasaan daerah Balaraja oleh serdadu NICA itu tidak berlangsung lama, karena setelah itu, mereka pun kembali ke pangkalannya di Tangerang. Pemerintahan sipil Tangerang kembali berfungsi dari Balaraja.

Dalam pada itu, dengan dikuasainya daerah Tangerang oleh pasukan Belanda, blokade ekonomi oleh Angkatan Laut Belanda semakin ketat. Sembilan bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari semakin sulit didapat. Dalam situasi tersebut, peran para pedagang, yang menyelundupkan bahan kebutuhan sehari-hari sangatlah membantu rakyat. Komunikasi dengan peme-rintahan propinsi, yang sementara di Tasikmalaya, dan, apalagi dengan pemerintah pusat di Jogyakarta, terputus sama sekali. Untuk itu, segala kebutuhan rakyat haruslah dipenuhi oleh rakyat di daerah itu sendiri. Bahkan dalam mengatasi masalah keuangan, pemerintahan Karesidenan Banten mengeluarkan uang sendiri, yang dikenal dengan ORIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Banten) yang dicetak di Serang. Tetapi karena uang ORIDAB itu begitu sederhana, maka mudah sekali dipalsukan. Pemalsu-pemalsu ORIDAB diketahui terdiri dari orang-orang Cina yang berdomisili di Tangerang dengan dukungan Belanda. Karenanya dengan mudah mereka memasukkan uang palsu tersebut ke daerah Banten melalui pos-pos penjagaan Belanda di perbatasan. Akibatnya, terjadilah inflasi, dan yang lebih parah lagi rakyat tidak menaruh kepercayaan terhadap nilai ORIDAB.

Untuk menghadapi situasi moneter tersebut, pasukan penjaga perbatasan yang dipimpin oleh Mayor R.R. Jaelani diperintahkan untuk mengatasi keadaan itu. Dibentuklah pasukan khusus yang ditugaskan untuk mempelajari kode-kode rahasia dari ORIDAB dan mengadakan penelitian uang di pasar-pasar. Sebelum pasar dibuka, para petugas ini memeriksa uang yang akan dibelanjakan, dan apabila diketahui bahwa uangnya palsu maka uang tersebut segera dimusnahkan. Di samping itu juga dilakukan pemeriksaan ketat terhadap orang-orang yang datang dari daerah pendudukan, dan dilakukan penangkapan terhadap orang yang diketahui menyelundupkan ORIDAB palsu. Dengan cara semacam itu, akhirnya sedikit demi sedikit inflasi ORIDAB dapat diatasi.

Hal yang sama juga dilakukan pada pengadaan persenjataan. Untuk memenuhi kebutuhan akan senjata perang itu, di samping dengan cara merampas dari tentara Belanda juga beberapa jenis senjata dibuat sendiri. Misalnya mortir 3 inci yang larasnya dibuat dari pipa bekas tiang listrik. Mortir istimewa itu diproduksi oleh Pabrik Minyak Mexolie di Rangkasbitung. Karena senjata mortir ini tidak memiliki peralatan pengontrol, maka dalam pemakaiannya beberapa kali terjadi pelurunya tidak terlontar, tapi meletus di dalam tabung. Selain mortir "Mexolie" juga dibuat bom tarik, ranjau darat dan granat bambu.

Dengan adanya Perjanjian Linggarjati, tanggal 11-15 Nopember 1946, maka pemerintahan Karesidenan Banten -- termasuk juga pertahanan keamanan -- meliputi 5 kabupaten: Serang, Pandeglang, Lebak (Rangkasbitung), Tangerang dan Bogor Barat. Selanjutnya, Komandan Brigade I Tirtayasa, Kolonel K.H. Syam'un, yang sebelumnya digantikan oleh Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala; selanjutnya diganti oleh Letnan Kolonel Dr. Eri Sudewo.



3. Palagan di Sepatan

Aksi militer Belanda ke-1 dimulai pada tanggal 20 Juli 1947. Hal itu dimulai dengan peran Dr. H.J. Van Mook yang mendapat kuasa penuh dari pemerintah Belanda untuk mengadakan Politioneel Actied dan mengambil segala sesuatu yang dipandang perlu. Maka lewat tengah malam, secara sepihak, Belanda telah menyerang dan menduduki gedung-gedung pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Kemudian, keesokan harinya tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan serangan ke wilayah RI dari segala jurusan; dari darat, laut dan udara. Pertahanan tentara RI di Jakarta Timur, Bekasi dan Tambun diserang secara besar-besaran. Selanjutnya Belanda menyerang kota-kota di Jawa Barat, sehingga Divisi Siliwangi kekuatannya terpecah-pecah dalam kesatuan kecil di beberapa daerah.

Pada hari itu pula, tanggal 21 Juli 1947, perwira muda Mayor R.E. Jaelani, komandan batalyon dan komandan sektor garis depan, mendapat perintah dari Komandan Brigade I Tirtayasa untuk mendahului menyerang Belanda di sektor Jakarta Barat dengan sasaran utama kota Tangerang dan sekitarnya. Di bawah komando Jaelani diperbantukan 3 kompi pasukan dari kesatuan lain, yaitu Kompi Umar Syarif dari kesatuan Polisi Tentara (PT), Kompi Garuda dipimpin Kapten Sabit, dan Kompi Pioner dipimpin Kapten Umar Dipokusumo.

Kompi Umar Syarif ditempatkan di Mawuk menduduki sayap kiri; Kompi Sabit ditempatkan di jalan raya sekitar COP Batalyon, menduduki sayap tengah; sedangkan Kompi Pioner diserahi menghancurkan bangunan-bangunan dan jembatan-jembatan strategis, di samping tugas tempur [26]. Penyerangan yang dipimpin oleh Jaelani sebagai komandan sektor dilaksanakan menjelang fajar. Walaupun pasukan penyerang ini tidak berhasil melintasi Sungai Cisadane, tetapi pertempuran ini berjalan lama hampir sepanjang hari di sekitar Sepatan, Cimone dan Karawaci.

Pihak Belanda mengerahkan senjata-senjata berat dengan dukungan pasukan infantri, kendaraan lapis baja dan tembakan dari udara. Dalam pertempuran terbuka yang tidak seimbang dalam persenjataan dan perlengkapan perangnya ini, pasukan Jaelani memberikan perlawanan gigih hingga petang hari. Baru menjelang malam, Jaelani memerintahkan pasukannya untuk kembali ke tempat semula.

Dalam pertempuran itu beberapa prajurit gugur dan luka-luka; bagi yang luka diteruskan ke rumah sakit darurat batalyon Cikande. Dan untuk menghindari serangan balasan secara besar-besaran dari NICA, pasukan Jaelani mengambil teknik bumi ha-ngus; dengan menghancurkan jalan dan jembatan-jembatan penghubung. (Panitia ..., Naskah).

Tidak ada komentar:

AKSI NYATA MODUL 3.3 GURU PENGGERAK

AKSI NYATA MODUL 3.3 GURU PENGGERAK